BAB I
PENGETAHUAN DENGAN ILMU PENGETAHUAN
TELAAH FILOSOFIS
1. Filsafat
dan Filsafat Ilmu Pengetahuan
Sebelum
Metode Penelitian dengan pendekatan Kualitatif atau Metode Penelitian
Kualitatif, akan diuraikan terlebih dahulu apa Perbedaan Ilmu Pengetahuan
Ilmiah (Science) dengan Pengetahuan (Knowledge). Mengapa demikian ? Kedua
metode Penelitian baik kuantitatif maupun kualitatif digunakan untuk
mengembangkan Ilmu Pengetahuan Ilmiah (Science).
Oleh karena itu perlu diketahui terlebih dahulu apa itu Ilmu Pengetahuan Ilmiah
dan perbedaanya dengan Pengetahuan. Dengan dipahaminya Ilmu Pengetahuan Ilmiah
akan mempermudah memahami Metode Penelitian Ilmiah dan kaitan antara keduanya.
Berikut ini akan disinggung sedikit tentang Filsafat dan perbedaannya dengan
Filsafat Ilmu Pengetahuan.
Secara
singkat dapat dikatakan Filsafat adalah
refleksi kritis yang radikal. Refleksi adalah upaya memperoleh pengetahuan
yang mendasar atau unsur-unsur yang hakiki atau inti. Apabila ilmu pengetahuan
mengumpulkan data empiris atau data fisis melalui observasi atau eksperimen,
kemudian dianalisis agar dapat ditemukan hukum-hukumnya yang bersifat
universal. Oleh filsafat hukum-hukum yang bersifat universal tersebut direfleksikan atau dipikir secara kritis dengan tujuan untuk mendapatkan unsur-unsur
yang hakiki, sehingga dihasilkan pemahaman yang mendalam. Kemudian apa
perbedaan Ilmu Pengetahuan dengan Filsafat. Apabila ilmu pengetahuan sifatnya taat fakta, objektif dan
ilmiah, maka filsafat sifatnya mempertemukan berbagai aspek kehidupan di
samping membuka dan memperdalam pengetahuan. Apabila ilmu pengetahuan objeknya dibatasi, misalnya Psikologi
objeknya dibatasi pada perilaku manusia saja, filsafat objeknya tidak dibatasi
pada satu bidang kajian saja dan objeknya dibahas secara filosofis atau
reflektif rasional, karena filsafat mencari apa yang hakikat. Apabila ilmu
pengetahuan tujuannya memperoleh data
secara rinci untuk menemukan pola-polanya, maka filsafat tujuannya mencari
hakiki, untuk itu perlu pembahasan yang mendalam. Apabila ilmu pengetahuannya
datanya mendetail dan akurat tetapi tidak mendalam, maka filsafat datanya tidak
perlu mendetail dan akurat, karena yang dicari adalah hakekatnya, yang penting
data itu dianalisis secara mendalam.
Persamaan dan
perbedaan antara Filsafat dan Agama adalah sebagai berikut. Persamaan antara
Filsafat dan Agama adalah semuanya mencari kebenaran. Sedang perbedaannya
Filsafat bersifat rasional yaitu sejauh kemampuan akal budi, sehingga kebenaran
yang dicapai bersifat relatif. Agama berdasarkan iman atau kepercayaan terhadap
kebenaran agama, karena merupakan wahyu dari Tuhan YME, dengan demikian
kebenaran agama bersifat mutlak.
Kajian
filsafat meliputi ruang lingkup yang disusun berdasarkan pertanyaan filsuf
terkenal Immanuel Kant sebagai berikut:
1) Apa yang dapat saya ketahui
(Was kan ich wiesen)
Pertanyaan ini
mempunyai makna tentang batas mana yang dapat dan mana yang tidak dapat
diketahui. Jawaban terhadap pertanyaan ini adalah suatu fenomena. Fenomena selalu dibatasi oleh ruang dan waktu. Hal ini
menjadi dasar bagi Epistomologi.
Eksistensi Tuhan bukan merupakan kajian Epistomologi karena berada di luar
jangkauan indera. Bahan kajian Epistomologi adalah yang berada dalam jangkauan
indera. Kajian Epistomologi adalah fenomena sedang eksistensi Tuhan merupakan
objek kajian Metafisika. Epistomologi meliputi: Logika Pengetahuan (Knowledge), Ilmu Pengetahuan Ilmiah (Science) dan Metodologi.
2) Apa yang harus saya lakukan
(Was soll ich tun)
Pertanyaan ini
mempersoalkan nilai (values), dan
disebut Axiologi, yaitu nilai-nilai
apa yang digunakan sebagai dasar dari perilaku. Kajian Axiologi meliputi Etika atau nilai-nilai keutamaan atau
kebaikan dan Estetika atau
nilai-nilai keindahan.
3) Apa yang dapat saya harapkan
(Was kan ich hoffen)
Pengetahuan
manusia ada batasnya. Apabila manusia sudah sampai batas pengetahuannya,
manusia hanya bisa mengharapkan. Hal ini berkaitan dengan being, yaitu hal yang ”ada”, misalnya permasalahan tentang apakah
jiwa manusia itu abadi atau tidak, apakah Tuhan itu ada atau tidak.
Pertanyaan-pertanyaan tersebut tidak terjawab oleh Ilmu Pengetahuan Ilmiah,
tetapi oleh Religi. Refleksi tentang Being
terbagi lagi menjadi dua, yaitu Ontologi
yaitu struktur segala yang ada, realitas, keseluruhan objek-objek yang ada, dan
Metafisika yaitu hal-hal yang berada
di luar jangkauan indera, misalnya jiwa dan Tuhan.
Bidang-bidang
kajian Filsafat, apabila digambarkan adalah sebagaimana bagan berikut:
BEING
EPISTOMOLOGI
AXIOLOGI
Gambar 1: Bidang Kajian Filsafat
Sumber: Noerhadi T. H. (1998) Diktat Kuliah Filsafat Ilmu Pengetahuan.
Pascasarjana Universitas Indonesia.
Selanjutnya
akan dibahas salah satu bidang kajian Filsafat, yaitu Filsafat Ilmu
Pengetahuan, karena bidang ini membahas hakekat ilmu pengetahuan ilmiah (science). Hakekat ilmu pengetahuan dapat
ditelusuri dari 4 (empat) hal, yaitu:
1) Sumber ilmu pengetahuan itu
dari mana.
Sumber ilmu
pengetahuan mempertanyakan dari mana ilmu pengetahuan itu diperoleh. Ilmu
pengetahuan diperoleh dari pengalaman (emperi) dan dari akal (ratio).
Sehingga timbul faham atau aliran yang disebut empirisme dan rasionalisme.
Aliran empirisme yaitu faham yang menyusun teorinya berdasarkan pada empiri
atau pengalaman. Tokoh-tokoh aliran ini misalnya David Hume (1711-1776), John
Locke (1632-1704), Berkley. Sedang rasionalisme menyusun teorinya berdasarkan
ratio. Tokoh-tokoh aliran ini misalya Spinoza, Rene Descartes. Metode yang
digunakan aliran emperisme adalah induksi, sedang rasionalisme menggunakan metode
deduksi. Immanuel Kant adalah tokoh yang mensintesakan faham empirisme dan
rasionalisme.
Gambar 2 : David Hume, John Locke , dan
George Berkeley
Gambar 3 : Immanuel Kant
2) Batas-batas Ilmu
Pengetahuan.
Menurut Immanuel
Kant apa yang dapat kita tangkap dengan panca indera itu hanya terbatas pada
gejala atau fenomena, sedang
substansi yang ada di dalamnya tidak dapat kita tangkap dengan panca indera
disebut nomenon. Apa yang dapat kita
tangkap dengan panca indera itu adalah penting, pengetahuan tidak sampai disitu
saja tetapi harus lebih dari sekedar yang dapat ditangkap panca indera.
Yang dapat kita
ketahui atau dengan kata lain dapat kita tangkap dengan panca indera adalah
hal-hal yang berada di dalam ruang dan waktu. Yang berada di luar ruang dan
waktu adalah di luar jangkauan panca indera kita, itu terdiri dari 3 (tiga) ide
regulatif: 1) ide kosmologis yaitu tentang semesta alam (kosmos), yang tidak
dapat kita jangkau dengan panca indera, 2) ide psikologis yaitu tentang psiche atau jiwa manusia, yang tidak
dapat kita tangkap dengan panca indera, yang dapat kita tangkap dengan panca
indera kita adalah manifestasinya misalnya perilakunya, emosinya, kemampuan
berpikirnya, dan lain-lain, 3) ide teologis yaitu tentang Tuhan Sang Pencipta
Semesta Alam.
3) Strukturnya.
Yang ingin
mengetahui adalah subjek yang memiliki kesadaran. Yang ingin kita ketahui
adalah objek, diantara kedua hal tersebut seakan-akan terdapat garis demarkasi
yang tajam. Namun demikian sebenarnya dapat dijembatani dengan mengadakan dialektika. Jadi sebenarnya garis
demarkasi tidak tajam, karena apabila dikatakan subjek menghadapi objek itu
salah, karena objek itu adalah subjek juga, sehingga dapat terjadi dialektika.
4) Keabsahan.
Keabsahan ilmu
pengetahuan membahas tentang kriteria bahwa ilmu pengetahuan itu sah berarti
membahas kebenaran. Tetapi kebenaran itu nilai (axiologi), dan kebenaran itu
adalah suatu relasi. Kebenaran adalah kesamaan antara gagasan dan kenyataan.
Misalnya ada korespondensi yaitu persesuaian antara gagasan yang terlihat dari
pernyataan yang diungkapkan dengan realita.
Terdapat 3 (tiga)
macam teori untuk mengungkapkan kebenaran, yaitu:
a) Teori Korespondensi,
terdapat persamaan atau persesuaian antara gagasan dengan kenyataan atau
realita.
b) Teori Koherensi, terdapat
keterpaduan antara gagasan yang satu dengan yang lain. Tidak boleh terdapat
kontradiksi antara rumus yang satu dengan yang lain.
c) Teori Pragmatis, yang
dianggap benar adalah yang berguna. Pragmatisme adalah tradisi dalam pemikiran
filsafat yang berhadapan dengan idealisme, dan realisme. Aliran Pragmatisme
timbul di Amerika Serikat. Kebenaran diartikan berdasarkan teori kebenaran
pragmatisme.
Untuk mengetahui penerapan 3
(tiga) macam teori tersebut pada bidang apa, periksa skema berikut ini.
Ilmu-ilmu Formal
|
Ilmu-ilmu Empiris Induktif
|
Ilmu-ilmu Terapan
|
|||
Deduktif:
Logika
Matematika
|
Alam
unorganik:
karang, batu, air.
|
Hayati:
Kehidupan
|
Sosial:
Manusia ber masyarakat
|
Budaya:
Manusia dengan ekspresinya
|
|
Ukuran kebenaran Koherensi
menghadapi rumusan-rumusan yang tidak boleh
kontradiksi satu sama lain
|
Ukuran kebenaran Korespondensi
kesesuaian antara gagasan dengan realita/antara gagasan dengan fakta.
|
Pragmatis
apa yang bermanfaat itu benar.
|
|||
Gambar 4: Penerapan Teori Korespondensi, Koherensi
dan Pragmatis.
Sumber: Noerhadi T. H. (1998) Diktat Kuliah Filsafat Ilmu Pengetahuan.
Pascasarjana Universitas Indonesia.
Ciri-ciri
Ilmu Pengetahuan Ilmiah
Filsafat Ilmu
Pengetahuan merupakan cabang filsafat yang menelaah baik ciri-ciri ilmu
pengetahuan ilmiah maupun cara-cara memperoleh ilmu pengetahuan ilmiah.
Ciri-ciri Ilmu Pengetahuan Ilmiah adalah sebagai berikut:
1) Sistematis.
Ilmu pengetahuan
ilmiah bersifat sistematis artinya ilmu pengetahuan ilmiah dalam upaya
menjelaskan setiap gejala selalu berlandaskan suatu teori. Atau dapat dikatakan
bahwa teori dipergunakan sebagai sarana untuk menjelaskan gejala dari kehidupan
sehari-hari. Tetapi teori itu sendiri bersifat abstrak dan merupakan puncak
piramida dari susunan tahap-tahap proses mulai dari persepsi sehari-hari/
bahasa sehari-hari, observasi/konsep ilmiah, hipotesis, hukum dan puncaknya
adalah teori.
Ciri-ciri yang
sistematis dari ilmu pengetahuan ilmiah tersebut dapat digambarkan sebagai
berikut:
Gambar 5: Piramida
Ilmu Pengetahuan Ilmiah
Sumber: Noerhadi T. H. (1998) Diktat Kuliah Filsafat Ilmu Pengetahuan.
Pascasarjana Universitas Indonesia.
a) Persepsi sehari-hari (bahasa
sehari-hari).
Dari
persepsi sehari-hari terhadap fenomena atau fakta yang biasanya disampaikan
dalam bahasa sehari-hari diobservasi agar dihasilkan makna. Dari observasi ini
akan dihasilkan konsep ilmiah.
b) Observasi (konsep ilmiah).
Untuk
memperoleh konsep ilmiah atau
menyusun konsep ilmiah perlu ada definisi. Dalam menyusun definisi perlu
diperhatikan bahwa dalam definisi tidak boleh terdapat kata yang didefinisikan.
Terdapat 2 (dua) jenis definisi, yaitu: 1) definisi sejati, 2) definisi
nir-sejati.
Definisi
sejati dapat diklasifikasikan dalam:
1) Definisi Leksikal. Definisi ini dapat ditemukan dalam kamus, yang biasanya bersifat
deskriptif.
2) Definisi Stipulatif. Definisi ini disusun berkaitan dengan tujuan tertentu. Dengan demikian
tidak dapat dinyatakan apakah definisi tersebut benar atau salah. Benar atau
salah tidak menjadi masalah, tetapi yang penting adalah konsisten (taat asas).
Contoh adalah pernyataan dalam Akta Notaris: Dalam Perjanjian ini si A disebut
sebagai Pihak Pertama, si B disebut sebagai Pihak Kedua.
3) Definisi Operasional. Definisi ini biasanya berkaitan dengan pengukuran (assessment) yang banyak dipergunakan oleh ilmu pengetahuan ilmiah.
Definisi ini memiliki kekurangan karena seringkali apa yang didefinisikan
terdapat atau disebut dalam definisi, sehingga terjadi pengulangan. Contoh:
”Yang dimaksud inteligensi dalam penelitian ini adalah kemampuan seseorang yang
dinyatakan dengan skor tes inteligensi”.
4) Definisi Teoritis. Definisi ini menjelaskan sesuatu fakta atau fenomena atau istilah
berdasarkan teori tertentu. Contoh: Untuk mendefinisikan Superego, lalu
menggunakan teori Psikoanalisa dari Sigmund Freud.
Definisi
nir-sejati dibedakan menjadi 2 (dua), yaitu:
1) Definisi Ostensif. Definisi ini menjelaskan sesuatu dengan menunjuk barangnya. Contoh: Ini
gunting.
2) Definisi Persuasif. Definisi yang mengandung pada anjuran (persuasif). Dalam definisi ini
terkandung anjuran agar orang melakukan atau tidak melakukan sesuatu. Contoh:
”Membunuh adalah tindakan menghabisi nyawa secara tidak terpuji”. Dalam
definisi tersebut secara implisit terkandung anjuran agar orang tidak membunuh,
karena tidak baik (berdosa menurut Agama apapun).
c) Hipotesis
Dari konsep ilmiah yang merupakan
pernyataan-pernyataan yang mengandung informasi, 2 (dua) pernyataan digabung
menjadi proposisi. Proposisi yang
perlu diuji kebenarannya disebut hipotesis.
d) Hukum
Hipotesis
yang sudah diuji kebenarannya disebut dalil atau hukum.
e) Teori
Keseluruhan
dalil-dalil atau hukum-hukum yang tidak bertentangan satu sama lain serta dapat
menjelaskan fenomena disebut teori.
2) Dapat dipertanggungjawabkan.
Ilmu pengetahuan
ilmiah dapat dipertanggungjawabkan melalui 3 (tiga) macam sistem, yaitu:
a) Sistem axiomatis
Sistem ini
berusaha membuktikan kebenaran suatu fenomena atau gejala sehari-hari mulai
dari kaidah atau rumus umum menuju rumus khusus atau konkret. Atau mulai teori
umum menuju fenomena/gejala konkret. Cara ini disebut deduktif-nomologis. Umumnya yang menggunakan metode ini adalah
ilmu-ilmu formal, misalnya matematika.
b) Sistem empiris
Sistem ini
berusaha membuktikan kebenaran suatu teori mulai dari gejala/ fenomena khusus
menuju rumus umum atau teori. Jadi bersifat induktif dan untuk menghasilkan
rumus umum digunakan alat bantu statistik. Umumnya yang menggunakan metode ini
adalah ilmu pengetahuan alam dan sosial.
c) Sistem semantik/linguistik
Dalam sistem
ini kebenaran didapatkan dengan cara menyusun proposisi-proposisi secara ketat.
Umumnya yang menggunakan metode ini adalah ilmu bahasa (linguistik).
3) Objektif atau intersubjektif
Ilmu pengetahuan
ilmiah itu bersifat mandiri atau milik orang banyak (intersubjektif). Ilmu
pengetahuan ilmiah itu bersifat otonom dan mandiri, bukan milik perorangan
(subjektif) tetapi merupakan konsensus antar subjek (pelaku) kegiatan ilmiah.
Dengan kata lain ilmu pengetahuan ilmiah itu harus ditopang oleh komunitas
ilmiah.
Cara
Kerja Ilmu Pengetahuan Ilmiah
Cara kerja Ilmu
Pengetahuan Ilmiah untuk mendapatkan kebenaran oleh Karl Popper disebut Siklus
Empiris, yang dapat digambarkan sebagai berikut:
Gambar 6: Siklus
Empiris
Sumber: Noerhadi T. H. (1998) Diktat Kuliah Filsafat Ilmu Pengetahuan.
Pascasarjana Universitas Indonesia.
Keterangan Gambar:
Gambar dapat dibedakan menjadi 2 (dua) komponen,
yaitu:
1) Komponen Informasi, yang
terdiri dari:
a. Problem
b. Teori
c. Hipotesis
d. Observasi
e. Generalisasi Empiris
Komponen Informasi digambarkan dengan kotak.
2) Komponen langkah-langkah
Metodologis, yang terdiri 6 (enam) langkah metodologis, yaitu:
a. Inferensi logis
b. Deduksi logis
c. Interpretasi, instrumentasi,
penetapan sampel, penyusun skala.
d. Pengukuran, penyimpulan
sampel, estimasi parameter.
e. Pengujian hipotesis.
f. Pembentukan konsep,
pembentukan dan penyusunan proposisi.
Langkah Metodologis digambarkan dengan elips.
Penjelasan tentang langkah-langkah
Metodologis adalah sebagai berikut:
- Langkah pertama. Ada masalah yang harus dipecahkan. Seluruh
langkah ini (5 langkah) oleh Popper disebut Epistomology Problem Solving. Untuk pemecahan masalah tersebut
diperlukan kajian pustaka (inferensi logis) guna mendapatkan teori-teori
yang dapat digunakan untuk pemecahan masalah.
- Langkah kedua. Selanjutnya dari teori disusun hipotesis.
Untuk menyusun hipotesis diperlukan metode deduksi logis.
- Langkah ketiga. Untuk membuktikan benar tidaknya hipotesis
perlu adanya observasi. Sebelum melakukan observasi perlu melakukan
interpretasi teori yang digunakan sebagai landasan penyusunan hipotesis
dalam penelitian adalah penyusunan kisi-kisi/dimensi-dimensi, kemudian
penyusunan instrumen pengumpulan data, penetapan sampel dan penyusunan
skala.
- Langkah keempat. Setelah observasi, selanjutnya melakukan
pengukuran (assessment),
penetapan sampel, estimasi kriteria (parameter
estimation). Langkah tersebut dilakukan guna mendapatkan generalisasi
empiris (empirical generalization).
- Langkah kelima. Generalisasi emperis tersebut pada
hakekatnya merupakan hasil pembuktian hipotesis. Apabila hipotesis benar
akan memperkuat teori (verifikasi). Apabila hipotesis tidak terbukti akan
memperlemah teori (falsifikasi).
- Langkah keenam. Hasil dari generalisasi empiris tersebut
dipergunakan sebagai bahan untuk pembentukan konsep, pembentukan
proposisi. Pembentukan atau penyusunan proposisi ini dipergunakan untuk
memperkuat atau memantapkan teori, atau menyusun teori baru apabila
hipotesis tidak terbukti.
Gambar 7 : Karl Popper
2. Beda Ilmu
Pengetahuan dan Pengetahuan
a. Pendahuluan
Ilmu pengetahuan (science)
mempunyai pengertian yang berbeda dengan pengetahuan (knowledge atau
dapat juga disebut common sense). Orang awam tidak memahami atau tidak
menyadari bahwa ilmu pengetahuan itu berbeda dengan pengetahuan. Bahkan mugkin
mereka menyamakan dua pengertian tersebut. Tentang perbedaan antara ilmu pengetahuan
dan pengetahuan akan dicoba dibahas disini.
Mempelajari apa
itu ilmu pengetahuan itu berarti mempelajari atau membahas esensi atau hakekat
ilmu pengetahuan. Demikian pula membahas pengetahuan itu juga berarti membahas
hakekat pengetahuan. Untuk itu kita perlu memahami serba sedikit Filsafat Ilmu
Pengetahuan. Dengan mempelajari Filsafat Ilmu Pengetahuan di samping akan
diketahui hakekat ilmu pengetahuan dan hakekat pengetahuan, kita tidak akan
terbenam dalam suatu ilmu yang spesifik sehingga makin menyempit dan eksklusif.
Dengan mempelajari filsafat ilmu pengetahuan akan membuka perspektif (wawasan)
yang luas, sehingga kita dapat menghargai ilmu-ilmu lain, dapat berkomunikasi
dengan ilmu-ilmu lain. Dengan demikian kita dapat mengembangkan ilmu pengetahuan
secara interdisipliner. Sebelum kita membahas hakekat ilmu pengetahuan dan
perbedaannya dengan pengetahuan, terlebih dahulu akan dikemukakan serba sedikit
tentang sejarah perkembangan ilmu pengetahuan.
b.
Perkembangan Ilmu Pengetahuan
Mempelajari sejarah ilmu pengetahuan itu penting,
karena dengan mempelajari hal tersebut kita dapat mengetahui tahap-tahap
perkembangannya. Ilmu pengetahuan tidak langsung terbentuk begitu saja, tetapi
melalui proses, melalui tahap-tahap atau periode-periode perkembangan.
a)
Periode Pertama (abad 4 sebelum Masehi)
Perintisan “Ilmu pengetahuan” dianggap dimulai pada
abad 4 sebelum Masehi, karena peninggalan-peninggalan yang menggambarkan ilmu
pengetahuan diketemukan mulai abad 4 sebelum Masehi. Abad 4 sebelum Masehi merupakan abad terjadinya
pergeseran dari persepsi mitos ke persepsi logos, dari dongeng-dongeng ke
analisis rasional. Contoh persepsi mitos adalah pandangan yang beranggapan
bahwa kejadian-kejadian misalnya adanya penyakit atau gempa bumi disebabkan
perbuatan dewa-dewa. Jadi pandangan tersebut tidak bersifat rasional,
sebaliknya persepsi logos adalah pandangan yang bersifat rasional. Dalam
persepsi mitos, dunia atau kosmos dikendalikan oleh kekuatan-kekuatan magis,
mistis. Atau dengan kata lain, dunia dijelaskan oleh faktor-faktor luar
(eksternal). Sedang dalam persepsi rasional, dunia dianalisis dari
faktor-faktor dalam (internal). Atau dengan kata lain, dunia dianalisis dengan
argumentasi yang dapat diterima secara rasional atau akal sehat. Analisis
rasional ini merupakan perintisan analisis secara ilmiah, tetapi belum dapat
dikatakan ilmiah.
Pada
periode ini tokoh yang terkenal adalah Aristoteles. Persepsi Aristoteles
tentang dunia adalah sebagai berikut: dunia adalah ontologis atau ada (eksis).
Sebelum Aristoteles dunia dipersepsikan tidak eksis, dunia hanya menumpang
keberadaan dewa-dewa. Dunia bukan dunia riil, yang riil adalah dunia ide.
Menurut Aristoteles, dunia merupakan substansi, dan ada hirarki
substansi-substansi. Substansi adalah sesuatu yang mandiri, dengan demikian
dunia itu mandiri. Setiap substansi mempunyai struktur ontologis. Dalam
struktur terdapat 2 prinsip, yaitu: 1) Akt: menunjukkan prinsip
kesempurnaan (realis); 2) Potensi:
menunjukkan prinsip kemampuannya, kemungkinannya (relatif). Setiap benda
sempurna dalam dirinya dan mempunyai kemungkinan untuk mempunyai kesempurnaan
lain. Perubahan terjadi bila potensi berubah, dan perubahan tersebut
direalisasikan.
Gambar 8 : Aristoteles
Pandangan
Aristoteles yang dapat dikatakan sebagai awal dari perintisan “ilmu
pengetahuan” adalah hal-hal sebagai berikut:
1)
Hal Pengenalan
Menurut
Aristoteles terdapat dua macam pengenalan, yaitu: (1) pengenalan inderawi; (2)
pengenalan rasional. Menurut Aristoteles, pengenalan inderawi memberi
pengetahuan tentang hal-hal yang kongkrit dari suatu benda. Sedang
pengenalan rasional dapat mencapai hakekat sesuatu, melalui jalan abstraksi.
2)
Hal Metode
Selanjutnya, menurut Aristoteles, “ilmu pengetahuan”
adalah pengetahuan tentang prinsip-prinsip atau hukum-hukum
bukan objek-objek eksternal atau fakta. Penggunaan prinsip atau hukum berarti berargumentasi (reasoning).
Menurut Aristoteles, mengembangkan “ilmu pengetahuan” berarti mengembangkan
prinsip-prinsip, mengembangkan “ilmu pengetahuan” (teori) tidak terletak pada
akumulasi data tetapi peningkatan kualitas teori dan metode.
Selanjutnya, menurut Aristoteles, metode untuk mengembangkan “ilmu pengetahuan”
ada dua, yaitu: (1) induksi intuitif yaitu mulai dari fakta untuk
menyusun hukum (pengetahuan universal); (2) deduksi (silogisme)
yaitu mulai dari pengetahuan universal menuju fakta-fakta.
b)
Periode Kedua (abad 17 sesudah Masehi)
Pada periode yang kedua ini terjadi
revolusi ilmu pengetahuan karena adanya perombakan total dalam cara berpikir.
Perombakan total tersebut adalah sebagai berikut:
Apabila Aristoteles cara berpikirnya
bersifat ontologis rasional, Gallileo Gallilei (tokoh pada awal abad 17
sesudah Masehi) cara berpikirnya bersifat analisis yang dituangkan dalam
bentuk kuantitatif atau matematis. Yang dimunculkan dalam
berfikir ilmiah Aristoteles adalah berpikir tentang hakekat, jadi
berpikir metafisis (apa yang berada di balik yang nampak atau apa yang
berada di balik fenomena).
Gambar
9 : Gallileo Gallilei
Abad 17
meninggalkan cara berpikir metafisi dan beralih ke elemen-elemen yang
terdapat pada sutau benda, jadi tidak mempersoalkan hakikat. Dengan demikian
bukan substansi tetapi elemen-elemen yang merupakan kesatuan sistem. Cara
berpikir abad 17 mengkonstruksi suatu model yaitu memasukkan unsur makro
menjadi mikro, mengkonstruksi suatu model yang dapat diuji coba secara
empiris, sehingga memerlukan adanya laboratorium. Uji coba penting, untuk
itu harus membuat eksperimen. Ini berarti mempergunakan pendekatan matematis
dan pendekatan eksperimental. Selanjutnya apabila pada jaman Aristoteles ilmu
pengetahuan bersifat ontologis, maka sejak abad 17, ilmu pengetahuan berpijak
pada prinsip-prinsip yang kuat yaitu jelas dan terpilah-pilah (clearly
and distinctly) serta disatu pihak berpikir pada kesadaran, dan pihak
lain berpihak pada materi. Prinsip jelas dan terpilah-pilah dapat dilihat dari
pandangan Rene Descartes (1596-1650) dengan ungkapan yang terkenal, yaitu Cogito Ergo Sum, yang artinya karena
aku berpikir maka aku ada. Ungkapan Cogito
Ergo Sum adalah sesuatu yang pasti, karena berpikir bukan merupakan
khayalan. Suatu yang pasti adalah jelas dan terpilah-pilah. Menurut Descartes
pengetahuan tentang sesuatu bukan hasil pengamatan melainkan hasil pemeriksaan
rasio (dalam Hadiwijono, 1981). Pengamatan merupakan hasil kerja dari indera
(mata, telinga, hidung, dan lain sebagainya), oleh karena itu hasilnya kabur,
karena ini sama dengan pengamatan binatang. Untuk mencapai sesuatu yang pasti
menurut Descartes kita harus meragukan apa yang kita amati dan kita ketahui
sehari-hari. Pangkal pemikiran yang pasti menurut Descartes dikemukakan melalui
keragu-raguan. Keragu-raguan menimbulkan kesadaran, kesadaran ini berada di
samping materi. Prinsip ilmu pengetahuan satu pihak berpikir pada kesadaran dan
pihak lain berpijak pada materi juga dapat dilihat dari pandangan Immanuel Kant
(1724-1808). Menurut Immanuel Kant ilmu pengetahuan itu bukan merupakan
pangalaman terhadap fakta, tetapi merupakan hasil konstruksi oleh rasio.
Gambar 10 : Rene Descartes
Agar dapat
memahami pandangan Immanuel Kant tersebut perlu terlebih dahulu mengenal
pandangan rasionalisme dan empirisme. Rasionalisme mementingkan unsur-unsur
apriori dalam pengenalan, berarti unsur-unsur yang terlepas dari segala
pengalaman. Sedangkan empirisme menekankan unsur-unsur aposteriori,
berarti unsur-unsur yang berasal dari pengalaman. Menurut Immanuel Kant, baik
rasionalisme maupun empirisme dua-duanya berat sebelah. Ia berusaha menjelaskan
bahwa pengenalan manusia merupakan keterpaduan atau sintesa antara unsur-unsur
apriori dengan unsur-unsur aposteriori (dalam Bertens, 1975). Oleh karena itu
Kant berpendapat bahwa pengenalan berpusat pada subjek dan bukan pada
objek. Sehingga dapat dikatakan menurut Kant ilmu pengetahuan bukan
hasil pengalaman, tetapi hasil konstruksi oleh rasio.
Inilah pandangan Rene Descartes dan
Immanuel Kant yang menolak pandangan Aristoteles yang bersifat ontologis dan
metafisis. Banyak tokoh lain yang meninggalkan pandangan Aristoteles, namun
dalam makalah ini cukup mengajukan dua tokoh tersebut, kiranya cukup untuk
menggambarkan adanya pemikiran yang revolusioner dalam perkembangan ilmu
pengetahuan.
c. Perbedaan
Ilmu Pengetahuan dengan Pengetahuan
Terdapat beberapa
definisi ilmu pengetahuan, di antaranya adalah:
a) Ilmu pengetahuan adalah
penguasaan lingkungan hidup manusia.
Definisi ini tidak diterima
karena mencampuradukkan ilmu pengetahuan dan teknologi.
b) Ilmu pengetahuan adalah
kajian tentang dunia material.
Definisi ini tidak dapat
diterima karena ilmu pengetahuan tidak terbatas pada hal-hal yang bersifat
materi.
c) Ilmu pengetahuan adalah
definisi eksperimental.
Definisi ini tidak dapat
diterima karena ilmu pengetahuan tidak hanya hasil/metode eksperimental semata,
tetapi juga hasil pengamatan, wawancara. Atau dapat dikatakan definisi ini
tidak memberikan tali pengikat yang kuat untuk menyatukan hasil eksperimen
dan hasil pengamatan (Ziman J. dalam Qadir C.A., 1995).
d) Ilmu pengetahuan dapat
sampai pada kebenaran melalui kesimpulan logis dari pengamatan empiris.
Definisi
mempergunakan metode induksi yaitu membangun prinsip-prinsip umum berdasarkan
berbagai hasil pengamatan. Definisi ini memberikan tempat adanya hipotesa,
sebagai ramalan akan hasil pengamatan yang akan datang. Definisi ini juga
mengakui pentingnya pemikiran spekulatif atau metafisik selama
ada kesesuaian dengan hasil pengamatan. Namun demikian, definisi ini tidak
bersifat hitam atau putih. Definisi ini tidak memberi tempat pada
pengujian pengamatan dengan penelitian lebih lanjut.
Kebenaran yang
disimpulkan dari hasil pengamatan empiris hanya berdasarkan kesimpulan logis
berarti hanya berdasarkan kesimpulan akal sehat. Apabila kesimpulan tersebut
hanya merupakan akal sehat, walaupun itu berdasarkan pengamatan empiris, tetap
belum dapat dikatakan sebagai ilmu pengetahuan tetapi masih pada taraf
pengetahuan. Ilmu pengetahuan bukanlah hasil dari kesimpulan logis dari
hasil pengamatan, namun haruslah merupakan kerangka konseptual atau teori
yang memberi tempat bagi pengkajian dan pengujian secara kritis oleh ahli-ahli
lain dalam bidang yang sama, dengan demikian diterima secara universal. Ini
berarti terdapat adanya kesepakatan di antara para ahli terhadap
kerangka konseptual yang telah dikaji dan diuji secara kritis atau telah
dilakukan penelitian akan percobaan terhadap kerangka konseptual tersebut.
Berdasarkan
pemahaman tersebut maka pandangan yang bersifat statis ekstrim, maupun yang
bersifat dinamis ekstrim harus kita tolak. Pandangan yang bersifat
statis ekstrim menyatakan bahwa ilmu pengetahuan merupakan cara menjelaskan
alam semesta di mana kita hidup. Ini berarti ilmu pengetahuan dianggap sebagai
pabrik pengetahuan. Sementara pandangan yang bersifat dinamis ekstrim
menyatakan ilmu pengetahuan merupakan kegiatan yang menjadi dasar munculnya
kegiatan lebih lanjut. Jadi ilmu pengetahuan dapat diibaratkan dengan suatu
laboratorium. Bila kedua pandangan ekstrim tersebut diterima, maka ilmu
pengetahuan akan hilang musnah, ketika pabrik dan laboratorium tersebut
ditutup.
Ilmu pengetahuan
bukanlah kumpulan pengetahuan semesta alam atau kegiatan yang dapat dijadikan
dasar bagi kegiatan yang lain, tetapi merupakan teori, prinsip, atau dalil yang
berguna bagi pengembangan teori, prinsip, atau dalil lebih lanjut, atau dengan
kata lain untuk menemukan teori, prinsip, atau dalil baru. Oleh karena itu,
ilmu pengetahuan dapat didefinisikan sebagai berikut:
Ilmu
pengetahuan adalah rangkaian konsep dan kerangka konseptual yang saling
berkaitan dan telah berkembang sebagai hasil percobaan dan pengamatan yang
bermanfaat untuk percobaan lebih lanjut (Ziman J. dalam Qadir C.A., 1995). Pengertian
percobaan di sini adalah pengkajian atau pengujian terhadap kerangka
konseptual, ini dapat dilakukan dengan penelitian (pengamatan dan wawancara)
atau dengan percobaan (eksperimen).
Selanjutnya John
Ziman menjelaskan bahwa definisi tersebut memberi tekanan pada makna manfaat,
mengapa? Kesahihan gagasan baru dan makna penemuan eksperimen baru atau juga
penemuan penelitian baru (menurut penulis) akan diukur hasilnya yaitu hasil
dalam kaitan dengan gagasan lain dan eksperimen lain. Dengan demikian ilmu
pengetahuan tidak dipahami sebagai pencarian kepastian, melainkan
sebagai penyelidikan yang berhasil hanya sampai pada tingkat yang
bersinambungan (Ziman J. dalam Qadir C.A., 1995).
Bila kita
analisis lebih lanjut perlu dipertanyakan mengapa definisi ilmu pengetahuan di
atas menekankan kemampuannya untuk menghasilkan percobaan baru, berarti juga
menghasilkan penelitian baru yang pada gilirannya menghasilkan teori baru dan
seterusnya – berlangsung tanpa berhenti. Mengapa ilmu pengetahuan tidak
menekankan penerapannya? Seperti yang dilakukan para ahli fisika dan kimia yang
hanya menekankan pada penerapannya yaitu dengan mempertanyakan bagaimana alam
semesta dibentuk dan berfungsi? Bila hanya itu yang menjadi penekanan ilmu
pengetahuan, maka apabila pertanyaan itu sudah terjawab, ilmu pengetahuan itu
akan berhenti. Oleh karena itu, definisi ilmu pengetahuan tidak berorientasi
pada penerapannya melainkan pada kemampuannya untuk menghasilkan percobaan
baru atau penelitian baru, dan pada gilirannya menghasilkan teori baru.
Para ahli fisika
dan kimia yang menekankan penerapannya pada hakikatnya bukan merupakan ilmu
pengetahuan, tetapi merupakan akal sehat (common sense). Selanjutnya
untuk membedakan hasil akal sehat dengan ilmu pengetahuan William James yang
menyatakan hasil akal sehat adalah sistem perseptual, sedang hasil ilmu
pengetahuan adalah sistem konseptual (Conant J. B. dalam Qadir C. A.,
1995). Kemudian bagaimana cara untuk memantapkan atau mengembangkan ilmu pengetahuan?
Berdasarkan definisi ilmu pengetahuan tersebut di atas maka pemantapan
dilakukan dengan penelitian-penelitian dan percobaan-percobaan.
Perlu
dipertanyakan pula bagaimana hubungan antara akal sehat yang menghasilkan
perseptual dengan ilmu pengetahuan sebagai konseptual. Jawabannya adalah akal
sehat yang menghasilkan pengetahuan merupakan premis bagi pengetahuan
eksperimental (Conant, J.B. dalam Qadir C.A., 1995). Ini berarti pengetahuan
merupakan masukan bagi ilmu pengetahuan, masukan tersebut selanjutnya diterima
sebagai masalah untuk diteliti lebih lanjut. Hasil penelitian dapat berbentuk
teori baru.
Sedangkan Ernest
Nagel secara rinci membedakan pengetahuan (common sense) dengan ilmu
pengetahuan (science).
Perbedaan tersebut
adalah sebagai berikut:
1) Dalam common sense
informasi tentang suatu fakta jarang disertai penjelasan tentang mengapa dan
bagaimana. Common sense tidak melakukan pengujian kritis
hubungan sebab-akibat antara fakta yang satu dengan fakta lain. Sedang dalam science
di samping diperlukan uraian yang sistematik, juga dapat dikontrol
dengan sejumlah fakta sehingga dapat dilakukan pengorganisasian dan
pengklarifikasian berdasarkan prinsip-prinsip atau dalil-dalil yang berlaku.
2) Ilmu pengetahuan menekankan
ciri sistematik.
Penelitian ilmiah bertujuan
untuk mendapatkan prinsip-prinsip yang mendasar dan berlaku umum tentang suatu
hal. Artinya dengan berpedoman pada teori-teori yang dihasilkan dalam
penelitian-penelitian terdahulu, penelitian baru bertujuan untuk menyempurnakan
teori yang telah ada yang berkaitan dengan masalah yang diteliti. Sedang common
sense tidak memberikan penjelasan (eksplanasi) yang sistematis dari
berbagai fakta yang terjalin. Di samping itu, dalam common sense cara
pengumpulan data bersifat subjektif,
karena common sense sarat dengan muatan-muatan emosi dan perasaan.
3) Dalam menghadapi konflik
dalam kehidupan, ilmu pengetahuan menjadikan konflik sebagai pendorong untuk
kemajuan ilmu pengetahuan.
Ilmu pengetahuan berusaha
untuk mencari, dan mengintroduksi pola-pola eksplanasi sistematik sejumlah
fakta untuk mempertegas aturan-aturan. Dengan menunjukkan hubungan logis dari
proposisi yang satu dengan lainnya, ilmu pengetahuan tampil mengatasi konflik.
4) Kebenaran yang diakui oleh common
sense bersifat tetap, sedang kebenaran dalam ilmu pengetahuan selalu diusik
oleh pengujian kritis. Kebenaran dalam ilmu pengetahuan selalu dihadapkan pada
pengujian melalui observasi maupun eksperimen dan sewaktu-waktu dapat
diperbaharui atau diganti.
5) Perbedaan selanjutnya
terletak pada segi bahasa yang digunakan untuk memberikan penjelasan
pengungkapan fakta. Istilah dalam common sense biasanya mengandung
pengertian ganda dan samar-samar. Sedang ilmu pengetahuan merupakan
konsep-konsep yang tajam yang harus dapat diverifikasi secara empirik.
6) Perbedaan yang mendasar
terletak pada prosedur.
Ilmu pengetahuan berdasar pada metode ilmiah.
Dalam ilmu pengetahuan alam (sains), metoda yang dipergunakan adalah
metoda pengamatan, eksperimen, generalisasi, dan verifikasi. Sedang ilmu sosial
dan budaya juga menggunakan metode pengamatan, wawancara, eksperimen,
generalisasi, dan verifikasi. Dalam common sense cara mendapatkan
pengetahuan hanya melalui pengamatan dengan panca indera.
Gambar 11 :
Ernest Nagel
Dari berbagai uraian berdasarkan pandangan
tokoh-tokoh tersebut dapatlah dikatakan: ilmu pengetahuan adalah kerangka
konseptual atau teori uang saling berkaitan yang memberi tempat pengkajian dan
pengujian secara kritis dengan metode ilmiah oleh ahli-ahli lain dalam bidang
yang sama, dengan demikian bersifat sistematik, objektif, dan universal.
Sedang pengetahuan adalah hasil pengamatan
yang bersifat tetap, karena tidak memberikan tempat bagi pengkajian dan
pengujian secara kritis oleh orang lain, dengan demikian tidak bersifat
sistematik dan tidak objektif serta tidak universal.
d. Proses Terbentuknya Ilmu
Pengetahuan
a) Syarat-syarat Ilmu
Pengetahuan Ilmiah
Agar dapat diuraikan proses terbentuknya
ilmu pengetahuan ilmiah, perlu terlebih dahulu diuraikan syarat-syarat ilmu
pengetahuan ilmiah.
Menurut Karlina Supeli Laksono dalam
Filsafat Ilmu Pengetahuan (Epsitomologi) pada Pascasarjana Universitas
Indonesia tahun 1998/1999, ilmu pengetahuan ilmiah harus memenuhi tiga syarat,
yaitu:
1) Sistematik; yaitu merupakan
kesatuan teori-teori yang tersusun sebagai suatu sistem.
2) Objektif; atau dikatakan
pula sebagai intersubjektif, yaitu teori tersebut terbuka untuk diteliti oleh
orang lain/ahli lain, sehingga hasil penelitian bersifat universal.
3) Dapat dipertanggungjawabkan;
yaitu mengandung kebenaran yang bersifat universal, dengan kata lain dapat
diterima oleh orang-orang lain/ahli-ahli lain. Tiga syarat ilmu pengetahuan
tersebut telah diuraikan secara lengkap pada sub bab di atas.
Pandangan ini sejalan dengan pandangan
Parsudi Suparlan yang menyatakan bahwa Metode Ilmiah adalah suatu kerangka
landasan bagi terciptanya pengetahuan ilmiah. Selanjutnya dinyatakan bahwa
penelitian ilmiah dilakukan dengan berlandaskan pada metode ilmiah. Sedangkan
penelitian ilmiah harus dilakukan secara sistematik dan objektif
(Suparlan P., 1994). Penelitian ilmiah sebagai pelaksanaan metode ilmiah harus
sestematik dan objektif, sedang metode ilmiah merupakan suatu kerangka bagi
terciptanya ilmu pengetahuan ilmiah. Maka jelaslah bahwa ilmu pengetahuan
juga mempersyaratkan sistematik dan objektif.
Sebuah teori pada dasarnya merupakan
bagian utama dari metode ilmiah. Suatu kerangka teori menyajikan cara-cara
mengorganisasikan dan menginterpretasi-kan hasil-hasil penelitian, dan
menghubungkannya dengan hasil-hasil penelitian yang dibuat sebelumnya. Jadi
peranan metode ilmiah adalah untuk menghubungkan penemuan-penemuan ilmiah dari
waktu dan tempat yang berbeda. Ini berarti peranan metode ilmiah melandasi
corak pengetahuan ilmiah yang sifatnya akumulatif. Dari uraian tersebut
di atas dapatlah dikatakan bahwa proses terbentuknya ilmu pengetahuan ilmiah
melalui metode ilmiah yang dilakukan dengan penelitian-penelitian ilmiah.
Pembentukan ilmu pengetahuan ilmiah pada
dasarnya merupakan bagian yang penting dari metode ilmiah. Suatu ilmu
pengetahuan ilmiah menyajikan cara-cara pengorganisasian dan penginterpretasian
hasil-hasil penelitian, dan menghubungkannya dengan hasil-hasil penelitian yang
dibuat sebelumnya oleh peneliti lain. Ini berarti bahwa ilmu pengetahuan ilmiah
merupakan suatu proses akumulasi dari pengetahuan. Di sini peranan metode
ilmiah penting yaitu menghubungkan pengetahuan-pengetahuan ilmiah dari waktu
dan tempat yang berbeda. Walaupun dalam ilmu pengetahuan alam (sains) metode ilmiah menekankan metode
induktif guna mengadakan generalisasi atas fakta-fakta khusus, dalam rangka
penelitian, penciptaan teori dan verifikasi, tetapi dalam ilmu-ilmu sosial,
baik metode induktif maupun deduktif sama-sama penting. Walaupun fakta-fakta
empirik itu penting peranannya dalam metode ilmiah namun kumpulan fakta itu
sendiri tidak menciptakan teori atau ilmu pengetahuan (Suparlan P., 1994). Jadi
jelaslah bahwa ilmu pengetahuan bukan merupakan kumpulan pengetahuan atau
kumpulan fakta-fakta empirik. Mengapa demikian? Hal ini disebabkan karena
fakta-fakta empirik itu sendiri agar mempunyai makna, fakta-fakta tersebut
harus ditata, diklasifikasi, dianalisis, digeneralisasi berdasarkan metode yang
berlaku serta dikaitkan dengan fakta yang satu dengan yang lain.
Dalam ilmu-ilmu sosial prinsip objektivitas
merupakan prinsip utama dalam metode ilmiahnya. Hal ini disebabkan ilmu
sosial berhubungan dengan kegiatan manusia sebagai mahluk sosial dan budaya
sehingga tidak terlepas adanya hubungan perasaan dan emosional antara peneliti
dengan pelaku yang diteliti.
Untuk menjaga objektivitas metode ilmiah
dalam ilmu-ilmu sosial berlaku prinsip-prinsip sebagai berikut:
a) Ilmuwan harus mendekati
sasaran kajiannya dengan penuh keraguan dan skeptis.
b) Ilmuwan harus objektif
yaitu membebaskan dirinya dari sikap, keinginan, kecenderungan untuk menolak,
atau menyukai data yang dikumpulkan.
c) Ilmuwan harus bersikap
netral, yaitu dalam melakukan penilaian terhadap hasil penemuannya harus
terbebas dari nilai-nilai budayanya sendiri. Demikian pula dalam membuat
kesimpulan atas data yang dikumpulkan jangan dianggap sebagai data akhir,
mutlak, dan merupakan kebenaran universal (Suparalan P., 1994).
Sedang pelaksanaan penelitian yang
berpedoman pada metode ilmiah hendaknya memperhatikan ketentuan-ketentuan
sebagai berikut:
a) Prosedur penelitian harus
terbuka untuk diperiksa oleh peneliti lainnya.
b) Definisi-definisi yang
dibuat adalah benar dan berdasarkan konsep-konsep dan teori-teori yang sudah
ada/baku.
c) Pengumpulan data dilakukan
secara objektif, yaitu dengan menggunakan metode-metode penelitian ilmiah yang
baku.
d) Hasil-hasil penemuannya akan
ditentukan ulang oleh peneliti lain bila sasaran, masalah, pendekatan, dan
prosedur penelitiannya sama (Suparlan P., 1994).
b)
Metode Penelitian Ilmiah
Pada dasarnya metode penelitian ilmiah
untuk ilmu-ilmu sosial dapat dibedakan menjadi dua golongan pendekatan, yaitu:
(1) pendekatan kuantitatif; (2) pendekatan kualitatif.
1)
Pendekatan Kuantitatif
Landasan berpikir dari pendekatan
kuantitatif adalah filsafat positivisme yang dikembangkan pertama kali oleh
Emile Durkheim (1964). Pandangan dari filsafat positivisme ini yaitu bahwa
tindakan-tindakan manusia terwujud dalam gejala-gejala sosial yang disebut
fakta-fakta sosial. Fakta-fakta sosial tersebut harus dipelajari secara
objektif, yaitu dengan memandangnya sebagai benda, seperti benda dalam ilmu
pengetahuan alam.
Gambar 12 : Emile Durkheim
Caranya dengan melakukan observasi atau
mengamati sesuatu fakta sosial, untuk melihat kecenderungan-kecenderungannya,
menghubungkan dengan fakta-fakta sosial lainnya, dengan demikian
kecenderungan-kecenderungan suatu fakta sosial tersebut dapat diidentifikasi.
Penggunaan data kuantitatif diperlukan dalam analisa yang dapat
dipertanggungjawabkan kesahihannya demi tercapainya ketepatan data dan
ketepatan pengguna model hubungan variabel bebas dan variabel tergantung
(Suparlan P., 1997).
2)
Pendekatan Kualitatif
Landasan
berpikir dalam pendekatan kualitatif adalah pemikiran Max Weber (1997) yang
menyatakan bahwa pokok penelitian sosiologi bukan hanya gejala-gejala sosial,
tetapi juga dan terutama makna-makna yang terdapat di balik tindakan-tindakan
perorangan yang mendorong terwujudnya gejala-gejala sosial tersebut. Oleh karena itu, metode yang utama dalam
sosiologi dari Max Weber adalah Verstehen atau pemahaman (jadi bukan Erklaren
atau penjelasan). Agar dapat memahami makna yang ada dalam suatu gejala sosial,
maka seorang peneliti harus dapat berperan sebagai pelaku yang ditelitinya, dan
harus dapat memahami para pelaku yang ditelitinya agar dapat mencapai tingkat
pemahaman yang sempurna mengenai makna-makna yang terwujud dalam gejala-gejala
sosial yang diamatinya (Suparlan P., 1997).
Gambar
13 : Max Weber
Daftar
Pertanyaan BAB I
1.
Apa yang dimaksud dengan Filsafat ?
Jelaskan !
2.
Apa perbedaan Filsafat dengan Ilmu
Pengetahuan ? Jelaskan !
3.
Apa perbedaan Filsafat dengan Agama ?
Jelaskan !
4.
Bagaimana cara Immanuel Kant mendapatkan
ruang lingkup Filsafat ? Jelaskan ! Gambarkan juga ruang lingkup kajian
Filsafat !
5.
Hakikat Ilmu Pengetahuan dapat ditelusuri
dari 4 (empat) hal. Sebutkan dan jelaskan!
6.
Terdapat 3 (tiga) macam teori untuk
mengungkapkan kebenaran. Jelaskan 3 (tiga) macam teori tersebut dan gambarkan
penerapan 3 (tiga) macam tersebut dengan contoh-contoh !
7.
a. Jelaskan
apa yang dimaksud Ilmu Pengetahuan Ilmiah harus sistematis ?
b. Bagaimana cara yang dapat
ditempuh agar Ilmu Pengetahuan Ilmiah dapat sistematis ?
8.
Jelaskan apa yang dimaksud Ilmu
Pengetahuan Ilmiah harus dapat dipertanggung jawabkan !
9.
Jelaskan apa yang dimaksud Ilmu
Pengetahuan Ilmiah harus objektif atau intersubjektif !
10. Jelaskan dan gambarkan bagaimana cara kerja Ilmu Pengetahuan Ilmiah
mendapatkan kebenaran menurut Karl Popper !
11. Jelaskan sejarah perkembangan Ilmu Pengetahuan mulai abad 4 sebelum
Masehi sampai dengan abad 17 sesudah Masehi ! Penjelasan hendaknya disebut juga
tokoh-tokohnya.
12. Jelaskan mengapa apabila Ilmu Pengetahuan didefinisikan sebagai:
“Penguasaan lingkungan hidup manusia” tidak dapat diterima !
13. Jelaskan mengapa apabila Ilmu Pengetahuan didefinisikan sebagai:
“Kajian tentang dunia material” tidak dapat diterima !
14. Jelaskan mengapa apabila Ilmu Pengetahuan dikatakan sebagai: “definisi
eksperimental” tidak dapat diterima !
15. Jelaskan mengapa apabila “Ilmu Pengetahuan dikatakan dapat sampai pada
kebenaran melalui kesimpulan logis dari pengamatan empiris” !
16. Sebutkan dan jelaskan definisi Ilmu Pengetahuan yang paling tepat
menurut anda !
17. Jelaskan perbedaan Pengetahuan dengan Ilmu Pengetahuan menurut Ernest
Nagel!
18. Dalam penelitian ilmiah dikenal adanya 2 (dua) macam pendekatan,
yaitu: 1) pendekatan kuantitatif
yang disebut juga penelitian kuantitatif, 2) pendekatan kualitatif yang disebut
juga penelitian kualitatif. Jelaskan dan berikan contoh-contoh kongkret kedua
pendekatan dalam penelitian ilmiah tersebut !
BAB II
PARADIGMA DAN
PRINSIP-PRINSIP IMPLEMENTASINYA
DALAM PENELITIAN
Berikut ini akan dijelaskan pengertian paradigma menurut beberapa ahli,
paradigma dalam penelitian kuantitatif dan, berbagai macam paradigma penelitian
kualitatif, serta serta prinsip-prinsip implementasinya dalam dua macam
penelitian tersebut.
1.
PENGERTIAN
PARADIGMA
Denzin & Lincoln (1994:105) mendefinisikan paradigma
sebagai: “Basic belief system or worldview that guides the investigator, not
only in choices of method but in ontologically and epistomologically
fundamental ways.” Pengertian tersebut mengandung makna paradigma adalah sistem
keyakinan dasar atau cara memandang dunia yang membimbing peneliti tidak
hanya dalam memilih metoda tetapi juga cara-cara fundamental yang bersifat
ontologis dan epistomologis. Secara singkat, Denzin & Lincoln (1994:107)
mendefinisikan “Paradigm as Basic Belief Systems Based on Ontological,
Epistomological, and Methodological Assumptions.” Paradigma merupakan sistem
keyakinan dasar berdasarkan asumsi ontologis, epistomologis, dan
metodologi. Denzin & Lincoln (1994:107) menyatakan: “A paradigm may be
viewed as a set of basic beliefs (or metaphysics) that deals with ultimates or
first principle.” Suatu paradigma dapat dipandang sebagai seperangkat
kepercayaan dasar (atau yang berada di balik fisik yaitu metafisik) yang
bersifat pokok atau prinsip utama. Sedangkan Guba (1990:18) menyatakan suatu
paradigma dapat dicirikan oleh respon terhadap tiga pertanyaan mendasar yaitu
pertanyaan ontologi, epistomologi, dan metodologi. Selanjutnya dijelaskan:
a.
Ontological: What is the nature of the
“knowable?” or what is the nature of reality? Ontologi: Apakah hakikat dari
sesuatu yang dapat diketahui? Atau apakah hakikat dari realitas? Secara lebih
sederhana, ontologi dapat dikatakan mempertanyakan tentang hakikat suatu
realitas, atau lebih konkret lagi, ontologi mempertanyakan hakikat suatu
fenomena.
b.
Epistomological: What is the nature of
the relationship between the knower (the inquirer) and the known (or knowable)?
Epistomologi: Apakah hakikat hubungan antara yang ingin mengetahui (peneliti)
dengan apa yang dapat diketahui? Secara lebih sederhana dapat dikatakan
epistomologi mempertanyakan mengapa peneliti ingin mengetahui realitas, atau
lebih konkret lagi epistomologi mempertanyakan mengapa suatu fenomena terjadi
atau dapat terjadi?
c.
Methodological: How should the
inquirer go about finding out knowledge? Metodologi: Bagaimana cara
peneliti menemukan pengetahuan? Secara lebih sederhana dapat dikatakan
metodologi mempertanyakan bagaimana cara peneliti menemukan pengetahuan, atau
lebih konkret lagi metodologi mempertanyakan cara atau metoda apa yang
digunakan oleh peneliti untuk menemukan pengetahuan?
Sedang Denzin & Lincoln (1994:108) menjelaskan
ontologi, epistomologi, dan metodologi sebagai berikut:
–
The ontological question: What is the
form and nature of reality and, therefore, what is there that can be known
about it? Pertanyaan ontologi: “Apakah bentuk dan hakikat realitas dan
selanjutnya apa yang dapat diketahui tentangnya?”
–
The epistomological question: What
is the nature of the relationship between the knower or would be-knower and
what can be known? Pertanyaan epistomologi: “Apakah hakikat hubungan antara
peneliti atau yang akan menjadi peneliti dan apa yang dapat diketahui.”
–
The methodological question: How
can the inquirer (would-be knower) go about finding out whatever he or she
believes can be known. Pertanyaan metodologi: “Bagaimana cara peneliti atau
yang akan menjadi peneliti dapat menemukan sesuatu yang diyakini dapat diketahui.”
Apabila dianalisis secara saksama dapat disimpulkan
bahwa pandangan Guba dan pandangan Denzin & Lincoln tentang ontologi,
epistomologi serta metodologi pada dasarnya tidak ada perbedaan. Dengan mengacu
pandangan Guba (1990) dan Denzin & Lincoln (1994) dapat disimpulkan paradigma
adalah sistem keyakinan dasar yang berlandaskan asumsi ontologi, epistomologi,
dan metodologi atau dengan kata lain paradigma adalah sistem keyakinan
dasar sebagai landasan untuk mencari jawaban atas pertanyaan apa itu hakikat
realitas, apa hakikat hubungan antara peneliti dan realitas, dan bagaimana cara
peneliti mengetahui realitas.
Sedang Salim (2001:33), yang mengacu pandangan Guba
(1990), Denzin & Lincoln (1994) menyimpulkan paradigma merupakan
seperangkat kepercayaan atau keyakinan dasar yang menuntun seseorang dalam
bertindak dalam kehidupan sehari-hari. Atau seperangkat keyakinan
mendasar yang memandu tindakan-tindakan kita baik tindakan keseharian maupun
dalam penyelidikan ilmiah. Dalam bidang ilmu pengetahuan ilmiah paradigma
didefinisikan sebagai sejumlah perangkat keyakinan dasar yang digunakan
untuk mengungkapkan hakikat ilmu pengetahuan yang sebenarnya dan bagaimana cara
untuk mendapatkannya.
Dalam komunitas Sosiologi, definisi paradigma yang
banyak digunakan mengacu pada definisi dari George Ritzer. Menurut Ritzer dalam
buku: Sociology A Multiple Paradigm Science (1975): paradigma merupakan
gambaran fundamental tentang pokok permasalahan dalam suatu ilmu pengetahuan.
Paradigma membantu memberikan definisi tentang apa yang harus dipelajari,
pertanyaan apa yang harus dikemukakan, bagaimana pertanyaan itu dikemukakan,
dan peraturan apa yang harus dipatuhi dalam menginterpretasi jawaban yang
diperoleh. Paradigma merupakan suatu konsensus yang paling luas dalam suatu ilmu
pengetahuan dan membantu membedakan satu komunitas ilmiah (atau subkomunitas)
dari yang lain. Paradigma memasukkan, mendefinisikan, dan menghubungkan
eksemplar, teori, metode, dan instrumen yang ada di dalamnya (Ritzer, 1975
dalam Lawang, 1998:2).
Catatan: eksemplar adalah contoh atau model penelitian yang secara
konsisten (kurang lebih) memperlihatkan hubungan antara gambaran fundamental
tentang pokok permasalahan, teori, dan metode yang digunakan (Lawang, 1999:4).
Gambar
14 : George Ritzer
Menurut pendapat penulis, definisi paradigma yang
dikemukakan Ritzer tersebut mengandung tiga asumsi yaitu ontologi,
epistomologi, dan metodologi. Ini dapat dilihat dari pernyataan: “paradigma
membantu memberikan definisi tentang apa yang harus dipelajari (asumsi
ontologi), pertanyaan apa yang harus dikemukakan (asumsi epistomologi), bagaimana
pertanyaan itu dikemukakan, dan peraturan apa yang harus dipatuhi dalam
menginterpretasikan jawaban yang diperoleh (asumsi metodologi). Dengan
demikian definisi paradigma Ritzer mengandung tiga asumsi mendasar yang sama
dengan definisi paradigma dari Guba, Denzin & Lincoln , yaitu asumsi ontologi, epistomologi,
dan metodologi.
Menurut Creswell (1994: 6), paradigma merupakan landasan
untuk mencari jawaban atas lima
pertanyaan mendasar, yaitu ontologi, epistomologi, aksiologi, retorika, dan
metodologi. Aksiologi adalah jawaban atas pertanyaan apa peranan
nilai, sedang retorika adalah jawaban atas pertanyaan apa bahasa
yang digunakan dalam penelitian.
Dari semua uraian di atas dapatlah dikemukakan
bagaimana seseorang mengembangkan dan menggunakan suatu paradigma ilmu
pengetahuan dengan melihat cara pandang yang digunakan dalam menjawab lima
pertanyaan mendasar, yaitu: ontologi, epistomologi, aksiologi, retorika, dan
metodologi. Oleh karena itu, uraian selanjutnya akan dikemukakan
prinsip-prinsip implementasi, dimensi-dimensi paradigma dalam penelitian
kuantitatif dan dalam penelitian kualitatif.
2.
PRINSIP-PRINSIP
IMPLEMENTASI PARADIGMA DALAM PENELITIAN
Dalam penelitian ilmiah dikenal dua jenis penelitian yaitu penelitian
dengan pendekatan kuantitatif atau penelitian kuantitatif dan penelitian dengan
pendekatan kualitatif atau penelitian kualitatif. Sebelum dijelaskan paradigma
dari setiap jenis penelitian tersebut dan bagaimana implementasinya, akan
diuraikan terlebih dahulu perbedaan penelitian kuantitatif dengan penelitian
kualitatif.
Perbedaan-perbedaan penelitian kuantitatif dengan penelitian kualitatif
baik yang dikemukakan oleh Suparlan maupun oleh Creswell, Denzin & Lincoln,
Guba & Lincoln, Moustyan yang akan diuraikan di bawah ini merupakan
prinsip-prinsip implementasi dalam penelitian kuantitatif dan penelitian
kualitatif.
Perbedaan Penelitian Kuantitatif
dengan Penelitian Kualitatif
Suparlan (1997) menjelaskan perbedaan penelitian kuantitatif dengan
penelitian kualitatif sebagai berikut:
a)
Penelitian Kuantitatif
Landasan
berpikir pendekatan kuantitatif adalah filsafat positivisme yang pertama kali
diperkenalkan oleh Emile Durkhim (1964). Pandangan filsafat positivisme adalah
bahwa tindakan-tindakan manusia terwujud dalam gejala-gejala sosial yang
disebut fakta-fakta sosial. Fakta-fakta sosial tersebut harus dipelajari secara
objektif, yaitu dengan memandangnya sebagai “benda,” seperti benda dalam ilmu
pengetahuan alam. Caranya dengan melakukan observasi atau mengamati fakta
sosial untuk melihat kecenderungan-kecenderungannya, menghubungkan dengan
fakta-fakta sosial lainnya, dengan demikian kecenderungan-kecenderungan suatu
fakta sosial tersebut dapat diidentifikasi. Penggunaan data kuantitatif
diperlukan dalam analisis yang dapat dipertanggungjawabkan kesahihannya demi
tercapainya ketepatan data dan ketepatan penggunaan model hubungan variabel
bebas dan variabel tergantung (Suparlan, 1997:95).
Pada buku yang
lain Suparlan menjelaskan bahwa penelitian kuantitatif memusatkan perhatiannya
pada gejala-gejala yang mempunyai karakteristik tertentu dalam kehidupan
manusia, yang dinamakan variabel. Hakikat hubungan antara
variabel-variabel dianalisa dengan menggunakan teori yang objektif. Karena
sasaran kajian dari penelitian kuantitatif adalah gejala-gejala, sedangkan
gejala-gejala yang ada dalam kehidupan manusia itu tidak terbatas banyaknya dan
tidak terbatas pula kemungkinan-kemungkinan variasi dan hierarkinya, maka juga
diperlukan pengetahuan statistik. Statistik dalam penelitian kuantitatif
berguna untuk menggolong-golongkan dan menyederhanakan variasi dan hierarki
yang ada dengan ketepatan yang dapat diukur, termasuk juga dalam penganalisaan
dari data yang telah dikumpulkan (Suparlan, 1994:6-7).
b)
Penelitian Kualitatif
Landasan berpikir dalam penelitian kualitatif adalah
pemikiran Max Weber (1997) yang menyatakan bahwa pokok penelitian sosiologi
bukan gejala-gejala sosial, tetapi pada makna-makna yang terdapat di balik
tindakan-tindakan perorangan yang mendorong terwujudnya gejala-gejala sosial
tersebut. Oleh karena itu metoda yang utama dalam sosiologi dari Max Weber
adalah verstehen atau pemahaman (jadi bukan erklaren atau
penjelasan). Agar dapat memahami makna yang ada dalam suatu gejala sosial, maka
seorang peneliti harus dapat berperan sebagai pelaku yang ditelitinya, dan
harus dapat memahami para pelaku yang ditelitinya agar dapat mencapai tingkat
pemahaman yang sempurna mengenai makna-makna yang terwujud dalam gejala-gejala
sosial yang diamatinya (Suparlan, 1997:95).
Pada buku yang lain, Suparlan menjelaskan bahwa penelitian
kualitatif memusatkan perhatiannya pada prinsip umum yang mendasari perwujudan
satuan-satuan gejala yang ada dalam kehidupan manusia, atau pola-pola.
Gejala-gejala sosial dan budaya dianalisis dengan menggunakan kebudayaan dari
masyarakat yang bersangkutan untuk memperoleh gambaran mengenai pola-pola yang
berlaku, dan pola-pola yang ditemukan tadi dianalisis lagi dengan menggunakan
teori yang objektif. Penelitian kualitatif sasaran kajiannya adalah pola-pola
yang berlaku yang merupakan prinsip-prinsip yang secara umum dan mendasar
berlaku dan menyolok berdasarkan atas kehidupan manusia, maka juga analisis
terhadap gejala-gejala tersebut tidak dapat tidak harus menggunakan kebudayaan
yang bersangkutan sebagai kerangka acuannya. Karena kalau menggunakan
kebudayaan lain atau kerangka acuan lainnya maka maknanya adalah menurut
kebudayaan lain; tidak objektif, sehingga pendekatan kualitatif tidak relevan
(Suparlan, 1994:6-7).
Dari uraian Suparlan tersebut sudah jelas perbedaan yang
fundamental antara penelitian kuantitatif dengan penelitian kualitatif. Agar
terdapat gambaran yang lebih rinci perbedaan penelitian kuantitatif dengan
penelitian kualitatif akan dikemukakan pandangan Cresswell (1994), Denzin &
Lincoln (1994), Guba & Lincoln (1994), dan Moustyan (1995) (dalam Neuman,
1997:14) sebagai berikut.
Quantitative Style (Model Kuantitatif)
a.
Measure objective facts
(mengukur fakta yang objektif)
b.
Focus on variables (terfokus pada
variabel-variabel)
c.
Reliability is key
(reliabilitas merupakan kunci)
d.
Value free (bersifat bebas
nilai)
e.
Independent of context (tidak
tergantung pada konteks)
f.
Many cases subjects (terdiri
atas kasus atau subjek yang banyak)
g.
Statistical analysis (menggunakan
analisis statistik)
h.
Researcher is detached
(peneliti tidak terlibat)
Qualitative Style (Model Kualitatif)
a.
Construct social reality, cultural
meaning (mengonstruksi realitas sosial, makna budaya)
b.
Focus on interactive processes,
events (berfokus pada proses interpretasi dan peristiwa-peristiwa)
c.
Authenticity is key (keaslian
merupakan kunci)
d.
Values are present and explicit
(nilai hadir dan nyata / tidak bebas nilai)
e.
Situationally constrained
(terikat pada situasi / terikat pada konteks)
f.
Few cases subjects (terdiri
atas beberapa kasus atau subjek)
g.
Thematic analysis (bersifat
analisis tematik)
h.
Researcher is involved
(peneliti terlibat)
Penjelasan dan contoh Model Kuantitatif
a.
Mengukur fakta yang objektif
Setiap fakta
atau fenomena yang dalam penelitian kuantitatif dijadikan variabel (hal-hal
yang pokok dalam suatu masalah) untuk mendapatkan objektivitas, variabel
tersebut harus diukur. Misalnya untuk mengetahui kualitas atau kadar atau
tinggi rendahnya motivasi kerja karyawan suatu perusahaan dilakukan tes atau
dengan kuesioner yang disusun berdasarkan
komponen-komponen/unsur-unsur/indikator-indikator dari variabel penelitian yang
dalam hal ini motivasi kerja karyawan.
b.
Terfokus pada variabel-variabel
Sebelum
dilakukan penelitian, terlebih dahulu ditentukan variabel-variabel atau hal-hal
pokok yang terdapat dalam suatu masalah/gejala/fenomena. Penentuan
variabel-variabel tersebut berdasarkan hukum sebab-akibat, suatu gejala yang
terjadi merupakan akibat dari gejala yang lain atau karena adanya hubungan atau
pengaruh gejala lain. Di sini terjadi cara berpikir nomotetik. Misalnya
dalam suatu perusahaan terjadi gejala penurunan produktivitas kerja karyawan.
Selanjutnya dilakukan pengkajian secara teoritis faktor-faktor apa yang
menyebabkan terjadinya penurunan produktivitas kerja tersebut. Misalnya secara
teori ditemukan bahwa produktivitas kerja dipengaruhi oleh faktor-faktor
motivasi kerja dan kepemimpinan manajer. Kemudian pengaruh atau hubungan dari
data hasil pengukuran masing-masing variabel diuji secara statistik apakah
benar variabel motivasi kerja dan kepemimpinan manajer mempunyai pengaruh atau
mempunyai hubungan dengan variabel produktivitas kerja. Dan apakah pengaruh
atau hubungan tersebut signifikan atau dapat dipercaya (mempunyai tingkat
kepercayaan yang tinggi). Apabila hasil analisis statistik menyatakan
variabel-variabel tersebut mempunyai pengaruh atau hubungan secara signifikan,
maka dapat disimpulkan bahwa produktivitas kerja karyawan dipengaruhi oleh
variabel motivasi kerja dan kepemimpinan manajer atau mempunyai hubungan dengan
motivasi kerja dan kepemimpinan manajer.
Catatan:
Analisis statistik yang dipergunakan untuk mengukur pengaruh suatu variabel
pada variabel lain berbeda dengan analisis statistik yang dipergunakan untuk
mengukur hubungan suatu variabel dengan suatu variabel yang lain atau beberapa
variabel. Analisis statistik untuk mengukur pengaruh suatu variabel pada
variabel yang lain di antaranya menggunakan analisis statistik multiple
regression (regresi ganda), sedangkan untuk mengukur hubungan suatu
variabel dengan variabel lain di antaranya menggunakan analisis statistik correlation
(korelasi) misalnya correlation product-moment (korelasi product-moment)
dari Carl Pearson atau Spearman-Brown.
c.
Reliabilitas merupakan kunci
Reliabilitas atau keajegan suatu tes
atau kuesioner mempunyai arti bahwa tes atau kuesioner tersebut menghasilkan
skor yang relatif sama walaupun dilakukan pada waktu yang berbeda. Suatu alat
ukur atau instrumen penelitian (misalnya tes atau kuesioner) apabila memiliki
reliabilitas yang tinggi akan menyebabkan hasil penelitian itu akurat. Oleh
karena itu, reliabilitas merupakan kunci dalam penelitian kuantitatif, karena
apabila alat ukur atau instrumen penelitian reliabel (terpercaya), maka
akan berdampak hasil penelitian akurat. Di samping alat ukur harus reliabel
dipersyaratkan pula harus valid (sahih) atau memiliki validitas
(kesahihan). Suatu instrumen penelitian dikatakan valid atau memiliki validitas
apabila dapat mengukur apa yang seharusnya diukur.
Catatan:
Uji statistik untuk mengukur reliabilitas diantaranya adalah Analisis
Alpha Cronbach dan KR-20 (Kuder-Richardson 20). Sedangkan uji statistik untuk
mengukur validitas dilakukan di antaranya dengan mengorelasikan skor setiap
item dengan skor total (jumlah seluruh skor item dikurangi skor item yang
dikorelasikan).
d.
Bebas nilai
Dalam
penelitian kuantitatif pengujian terhadap gejala/fenomena tidak dikaitkan
dengan budaya atau nilai-nilai budaya masyarakat yang melatarbelakangi fenomena
tersebut. Pengaruh nilai-nilai budaya terhadap fenomena tidak diperhitungkan
atau tidak diperhatikan. Sebagai contoh salah satu komponen dari konsep diri
adalah kelebihan dan kelemahan pada diri individu. Dalam budaya Barat seorang
individu untuk menyatakan kelebihan dan kelemahan diri sendiri tidak menjadi
masalah. Seorang individu untuk dapat dikatakan memiliki konsep diri yang
positif, individu tersebut dapat menyatakan kelemahan dan kelebihannya
di samping memiliki kriteria-kriteria konsep diri yang lain. Sedangkan pada
budaya Timur perilaku yang demikian dapat dikategorikan perilaku sombong. Dalam
penelitian kuantitatif pengaruh nilai-nilai budaya tidak diperhitungkan, karena
menurut paradigma yang dipergunakan sebagai landasan berpijak pada penelitian
kuantitatif, kriteria-kriteria konsep diri bersifat universal atau berlaku
umum.
e.
Tidak tergantung pada konteks
Suatu fenomena terkait dengan konteks
artinya terkait dengan situasi atau lingkungan yang menyertai fenomena
tersebut. Fenomena yang sama, konteksnya dapat berbeda. Misalnya fenomena
aktualisasi diri atau kebutuhan untuk mewujudkan kemampuan dirinya (Teori
Motivasi Abraham Maslow) bagi orang-orang perkotaan akan berbeda dengan
orang-orang pedesaan. Aktualisasi diri orang Jakarta akan berbeda dengan orang
pedesaan yang tinggal di lereng gunung Merapi, di lereng Merbabu, di pedalaman
Kalimantan, atau di pedalaman Irian Barat (Papua). Aktualisasi diri orang
Jakarta dimanifestasikan dalam kemampuan teknologi, teknologi informasi, bahasa
asing, manajemen, dan lain-lain, sedangkan orang-orang pedesaan di lereng
gunung Merapi dan Merbabu atau di pedalaman Kalimantan atau di pedalaman Papua
dimanifestasikan dalam kemampuan bertani atau bercocok tanam, memelihara
binatang, atau memburu binatang buas atau menguasai seni lokal atau seni daerah
setempat. Penelitian kuantitatif tidak tergantung konteks dari fenomena yang
diteliti.
Gambar 15 : Abraham Maslow
f.
Terdiri dari kasus-kasus atau
subjek-subjek yang banyak
Dalam
penelitian kuantitatif diperlukan adanya kasus-kasus atau subjek-subjek yang
banyak. Hal ini bertujuan agar dapat digeneralisasikan atau dapat diberlakukan
secara umum. Untuk itu terdapat terminologi populasi, sampel, dan technique
sampling (teknik menentukan sampel). Populasi adalah seluruh atau jumlah
individu dari suatu wilayah atau organisasi atau instansi atau perusahaan yang
memiliki karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari
selanjutnya untuk ditarik kesimpulan. Sedang sampel adalah sebagian dari
populasi yang mewakili populasi, oleh karena itu sampel harus representatif
(harus dapat mewakili) artinya sampel harus dapat menggambarkan keadaan
populasi. Terdapat beberapa teknik sampling (cara pengambilan sampel), di
antaranya: total sampling, yaitu apabila seluruh individu atau seluruh
anggota populasi dijadikan sampel; stratified random sampling, yaitu
apabila setiap strata/tingkat/bagian ada wakil yang dijadikan sampel dan
dilakukan secara acak (random); purposive sampling, yaitu apabila
individu yang dijadikan sampel memiliki persyaratan tertentu sesuai tujuan
penelitian; accidental sampling, yaitu individu yang dijadikan sampel
adalah individu yang dapat ditemui; dan lain-lain. Dengan adanya sampel yang
representatif terhadap populasinya, maka penelitian cukup dilakukan terhadap
sampel, dan hasil penelitian terhadap sampel tersebut dapat digeneralisir
artinya dapat menggambarkan populasi, walaupun penelitian hanya ditujukan pada
sampel, tetapi sudah dapat untuk menggambarkan keadaan populasi.
g. Menggunakan analisis statistik
Dalam
penelitian kuantitatif digunakan analisis statistik bertujuan agar dapat
mendeskripsikan secara akurat suatu fenomena (erklaren). Sedangkan dalam
penelitian kualitatif tidak menggunakan analisis statistik karena tujuannya
tidak akan mendeskripsikan suatu fenomena tetapi mencari makna guna mendapatkan
pemahaman yang mendalam (verstehen). Terdapat beberapa macam teknik
analisis statistik, misalnya sebagaimana telah diuraikan di depan untuk
mengetahui ada tidaknya hubungan antara variabel yang satu dengan variabel yang
lain digunakan teknik analisis statistik korelasi product-moment dari
Carl Pearson atau dari Spearman-Brown. Untuk mengetahui ada tidaknya pengaruh
antara variabel yang satu pada variabel yang lain digunakan analisis statistik multiple
regression. Untuk mengetahui ada tidaknya perbedaan antara variabel yang
satu dengan variabel yang lain digunakan rumus t-test. Dalam penelitian
kuantitatif digunakan istilah-istilah yang spesifik dan tidak digunakan dalam
penelitian kualitatif, misalnya variabel, validitas, reliabilitas, hipotesis,
signifikan, dan lain-lain. Signifikan digunakan untuk menggambarkan apabila
hubungan, perbedaan, pengaruh antara suatu variabel dengan variabel yang lain
mempunyai makna, untuk itu kemungkinan salah perhitungannya dibatasi maksimal
5%, atau dengan simbol statistik p < 0.05. Suatu hubungan atau
perbedaan atau pengaruh antara variabel yang satu dengan variabel yang lain
apabila p < 0.05 (tingkat kesalahan sama atau lebih kecil dari 5%)
dinyatakan signifikan atau bermakna.
h. Peneliti tidak memihak
Dalam penelitian kuantitatif peneliti
tidak memihak, artinya peneliti menghindari subjektivitas dari subjek yang
diteliti. Dalam penelitian kualitatif peneliti justru berusaha mengetahui
persepsi subjektif dari subjek yang diteliti. Hasil penelitian kualitatif
merupakan hasil analisis persepsi subjektif dari subjek yang diteliti terhadap
suatu fenomena. Sedangkan dalam penelitian kuantitatif peneliti sejauh mungkin
mengeleminir subjektivitas dari subjek yang diteliti. Oleh karena itu dalam
penelitian kuantitatif dikatakan peneliti tidak memihak.
Penjelasan dan contoh Model Kualitatif
a.
Mengonstruksi realitas sosial,
makna budaya
Apabila
penelitian kuantitatif berusaha mengukur fakta yang objektif atau dengan kata
lain mendeskripsikan suatu fenomena atau realitas, maka penelitian kualitatif
ingin mendapatkan pemahaman yang mendalam. Untuk itu harus mencari nomenon
atau makna di balik fenomena. Atau dapat dikatakan penelitian kuantitatif
berusaha mendeskripsikan fenomena secara akurat (erklaren), sedangkan
penelitian kualitatif ingin mendapatkan makna di balik fenomena, untuk itu
perlu mendapatkan pemahaman yang mendalam dari suatu fenomena (verstehen).
Untuk mendapatkan pemahaman yang mendalam (verstehen),
tidak cukup apabila hanya mengetahui tentang apa dari suatu fenomena tetapi
juga mengapa dan bagaimana dari suatu fenomena. Mengapa suatu fenomena ada atau
terjadi, bagaimana suatu fenomena terjadi atau bagaimana proses terjadinya
suatu fenomena. Dan hal ini, yaitu pengetahuan tentang apa, mengapa, dan
bagaimana, dapat dikuasai manusia, karena manusia mempunyai metakognisi
yang mampu menghasilkan pengetahuan deklaratif (pengetahuan tentang
apa), pengetahuan prosedural (pengetahuan tentang bagaimana), dan pengetahuan
kondisional (pengetahuan tentang mengapa dan kapan) (Micchenbaum, dkk, 1985
dalam Woolfolk, 1998:267). Untuk mendapatkan pemahaman yang mendalam (verstehen)
tidak cukup hanya mengetahui tentang apa dari suatu fenomena tetapi juga
mengapa dan bagaimana suatu fenomena terjadi. Pendapat penulis ini mengacu
pendapat Suparlan (1997: 99) sebagai berikut: “Dalam pendekatan kualitatif,
pertanyaan-pertanyaan yang diajukan sebagai pertanyaan-pertanyaan penelitian
bukan hanya mencakup: apa, siapa, dimana, kapan, bagaimana, tetapi yang
terpenting yang harus tercakup dalam pertanyaan-pertanyaan penelitian tersebut
adalah mengapa. Pertanyaan mengapa menuntut jawaban mengenai
hakikat yang ada dalam hubungan diantara gejala-gejala atau konsep-konsep,
sedangkan pertanyaan-pertanyaan apa, siapa, dimana, dan kapan
menuntut jawaban mengenai identitas, dan pertanyaan bagaimana menuntut
jawaban mengenai proses-prosesnya.
Poerwandari (1998:17) menyatakan penelitian kualitatif
dilakukan untuk mengembangkan pemahaman. Penelitian kualitatif membantu
mengerti dan menginterpretasi apa yang ada di balik peristiwa: latar belakang
pemikiran manusia yang terlibat di dalamnya, serta bagaimana manusia meletakkan
makna pada peristiwa yang terjadi. Pengembangan hukum umum tidak menjadi tujuan
penelitian, upaya-upaya mengendalikan atau meramalkan juga tidak menjadi aspek
penting. Aspek subjektif manusia menjadi hal penting.
Penelitian kualitatif dinyatakan mengonstruksi realitas
sosial, karena penelitian kualitatif berlandaskan paradigma Konstruktivisme
yang berpandangan bahwa pengetahuan itu bukan hanya merupakan pengalaman
terhadap fakta, tetapi juga merupakan hasil konstruksi rasio subjek yang
diteliti. Pengenalan manusia terhadap realitas sosial berpusat pada subjek dan
bukan pada objek, ini berarti ilmu pengetahuan bukan hasil pengalaman semata,
tetapi merupakan juga hasil konstruksi oleh rasio.
b.
Berfokus pada proses interaksi dan peristiwa-peristiwa
Penelitian
kuantitatif berfokus pada variabel-variabel, bahkan sebelum penelitian
dilakukan telah ditentukan terlebih dahulu variabel-variabel yang akan
diteliti. Sedangkan dalam penelitian kualitatif, fokus perhatiannya pada proses
interaksi dan peristiwa-peristiwa atau kejadian-kejadiannya itu sendiri, bukan
pada variabel-variabel. Bahkan fokus penelitian dapat berubah pada waktu di
lapangan setelah melihat kenyataan yang ada di lapangan. Dalam penelitian
kualitatif di antara teknik pengumpulan data yang dipergunakan adalah
observasi. Observasi tidak cukup apabila hanya diarahkan pada setting
saja, tetapi justru yang pokok adalah proses terjadinya peristiwa-peristiwa
atau kejadian-kejadian itu sendiri. Demikian pula observasi tidak cukup
dilakukan bersamaan dengan wawancara, tetapi observasi sebaiknya dilakukan
tidak bersamaan dengan wawancara. Apabila observasi dilakukan bersamaan dengan
wawancara, maka tidak dapat terfokus pada hal-hal yang akan diobservasi.
Walaupun memang ada perilaku yang dapat diobservasi pada waktu diadakan
wawancara, namun mengenai perilaku tersebut belum dapat ditarik kesimpulan. Agar
dapat ditarik kesimpulan maka hasil wawancara harus dilengkapi dan dicek dengan
hasil observasi yang dilakukan secara khusus. Dengan observasi akan dapat
diketahui tentang proses interaksi atau kejadian-kejadiannya sendiri. Atau
dengan kata lain, dengan observasi terutama observasi langsung tidak hanya akan
dapat menjawab pertanyaan tentang apa, tetapi juga bagaimana dan mengapa.
Dengan diketahuinya tentang apa, bagaimana, dan mengapa, maka masalah akan
dapat dipahami secara mendalam (verstehen).
c.
Keaslian merupakan kunci
Dalam
penelitian kuantitatif, reliabilitas merupakan kunci, jadi analisis statistik
mempunyai fungsi yang sangat strategis. Dalam penelitian kualitatif keaslian
merupakan kunci, sehingga penelitian kualitatif ini juga dikatakan sebagai penelitian
alamiah (naturalist inquiry). Dalam penelitian kualitatif tidak ada
usaha untuk memanipulasi situasi maupun setting. Sebaliknya penelitian
kuantitatif justru sering melakukan manipulasi situasi maupun setting
penelitian. Misalnya dalam metoda eksperimen, situasi dapat dimanipulasi dengan
subjek diatur sehingga homogen dengan dipilih sesuai kriteria yang telah
ditentukan terlebih dahulu, dengan ditiadakannya pengaruh dari variabel
kontrol, adanya treatment (perlakuan khusus) misalnya diberikan terapi khusus
atau diberikan pelatihan khusus, dan lain-lain. Sebaliknya penelitian
kualitatif melakukan studi terhadap fenomena dalam situasi dan setting
sebagaimana adanya. Guba seperti yang dikutip Patton (1990 dalam Poerwandari,
1998:30) mendefinisikan studi dalam situasi alamiah sebagai studi yang
berorientasi pada penemuan (discovery-oriented). Penelitian demikian
secara sengaja membiarkan kondisi yang diteliti berada dalam keadaan
sesungguhnya, dan menunggu apa yang akan muncul atau ditemukan.
d.
Nilai hadir dan nyata (tidak bebas
nilai)
Dalam
penelitian kuantitatif, peneliti berusaha untuk tidak memperhatikan atau tidak
memperhitungkan nilai (bebas nilai), sebaliknya dalam penelitian kualitatif
nilai sangat diperhatikan atau diperhitungkan. Penelitian kuantitatif memegang
teguh prinsip menghindari pernyataan-pernyataan yang berkaitan dengan
nilai-nilai dalam laporan penelitian (juga dalam skripsi, tesis, disertasi)
dengan jalan menggunakan bahasa yang impersonal (misalnya tidak
menggunakan kata: kita, kami, saya, kita semua), membuat laporan penelitian,
mengajukan argumentasi berdasarkan fakta-fakta yang diperoleh dalam penelitian.
Sedang penelitian kualitatif menggunakan bahasa yang personal (dapat
menggunakan kata: kita, kami, saya, kita semua). Menurut Neuman (1997 dalam
Salim, 2001:36) dalam penelitian kualitatif para peneliti mengetahui adanya
sifat value-laden (sarat nilai-nilai subjektif si peneliti) dalam
penelitian, dan si peneliti pun secara aktif melaporkan nilai-nilai dan
bias-biasnya, serta nilai-nilai dari informasi yang dikumpulkan di lapangan.
e.
Terikat pada situasi (terikat pada
konteks)
Telah
dijelaskan bahwa suatu fenomena terikat pada situasi yang mengelilinginya, atau
dengan kata lain selalu terikat pada konteks. Telah dijelaskan pula di depan
bahwa dalam penelitian kuantitatif karena ingin menghasilkan data yang berlaku
umum (universal), maka peneliti harus menjaga jarak dan bebas dari pengaruh
yang diteliti. Peneliti selalu berusaha mengontrol bias, memilih percontohan
yang sistematis dan berusaha objektif dalam meneliti suatu fenomena. Sebaliknya
penelitian kualitatif tidak menjaga jarak dan tidak bebas dari yang diteliti
karena ingin mengetahui persepsinya, atau dengan kata lain ingin mengetahui
persepsi subjektif dari yang diteliti. Persepsi subjektif dari yang diteliti
selalu terikat pada situasi atau terikat pada konteks. Individu yang sedang
mengalami kesedihan dapat berubah menjadi senang atau gembira pada saat
memasuki pesta ulang tahun anaknya atau teman karibnya. Dengan adanya data yang
bersifat subjektif, apa ini berarti penelitian kualitatif tetap bersifat
ilmiah? Walaupun datanya bersifat subjektif, penelitian kualitatif tetap
ilmiah, karena apabila data tersebut dimiliki beberapa atau banyak individu
atau dengan kata lain beberapa atau banyak individu memiliki data yang sama
dengan subjek yang diteliti, maka hasil penelitian seperti ini disebut bersifat
intersubjektif. Dalam penelitian kualitatif, pengertian intersubjektif
sama dengan objektif.
f.
Terdiri dari beberapa kasus atau
subjek
Dalam
penelitian kualitatif karena tidak bertujuan menggeneralisasikan hasil
penelitiannya, maka penelitian kualitatif tidak perlu meneliti banyak kasus
atau subjek. Dalam studi kasus subjek yang diteliti dapat satu tetapi dapat
juga banyak, bahkan mungkin penduduk suatu negara. Karena dalam studi kasus
yang sangat penting adalah sifatnya yang sangat spesifik. Contoh
penelitian tentang “Perkembangan Demokrasi pada Negara-negara Sosialis.”
Negara-negara yang menganut paham Sosialis menentang paham Demokrasi. Jadi
penelitian perkembangan demokrasi di negara-negara sosialis bersifat spesifik.
Sebagai contoh tidak seperti dalam penelitian kuantitatif yang mematok jumlah
subjek minimal sebanyak 30 (tiga puluh) individu agar dapat dianalisis dengan
statistik parametrik, maka dalam penelitian kualitatif tidak mematok jumlah
subjek yang diteliti.
g.
Bersifat analisis tematik
Dalam
penelitian kualitatif karena tidak bertujuan menggeneralisasikan hasil
penelitiannya, maka yang diteliti adalah hal-hal yang bersifat khusus atau
spesifik, dan analisisnya bersifat tematik. Misalnya tindak kekerasan terhadap
perempuan, masalah-masalah jender: perjuangan perempuan mendapatkan perlakuan
yang adil dalam lapangan pekerjaan, kasus-kasus perilaku menyimpang, masalah
kesulitan belajar bagi anak-anak yang tidak normal (learning-disabilities),
dan lain-lain.
h.
Peneliti terlibat
Berbeda
dengan penelitian kuantitatif di mana peneliti mengambil jarak dengan yang
diteliti agar dapat menjaga objektivitas atau menghindari subjektivitas dari
yang diteliti, maka sebaliknya penelitian kualitatif peneliti tidak mengambil
jarak, agar peneliti benar-benar memahami persepsi subjek yang diteliti
terhadap suatu fenomena. Untuk itu peneliti dapat melakukan misalnya observasi
terlibat (participant observation). Dengan observasi terlibat pemahaman
terhadap subjek dapat mendalam.
3.
PARADIGMA DALAM PENELITIAN KUANTITATIF DAN KUALITATIF
a.
Paradigma dalam penelitian kuantitatif
Paradigma dalam penelitian kuantitatif adalah Positivisme,
yaitu suatu keyakinan dasar yang berakar dari paham ontologi realisme yang
menyatakan bahwa realitas itu ada (exist) dalam kenyataan yang berjalan
sesuai dengan hukum alam (natural laws). Dengan demikian penelitian
berusaha untuk mengungkapkan kebenaran realitas yang ada, dan bagaimana
realitas tersebut senyatanya berjalan (Salim, 2001:39).
Menurut Sarantakos (1993 dalam Poerwandari, 1998:17),
Positivisme melihat penelitian sosial sebagai langkah instrumental, penelitian
dianggap sebagai alat untuk mempelajari peristiwa dan hukum-hukum sosial pada
akhirnya akan memungkinkan manusia meramalkan kemungkinan kejadian serta
mengendalikan peristiwa.
Sedangkan Guba (1990:19) menjelaskan: “The basic belief
system of positivism is rooted in a realist ontology, that is, the belief that
there exists a reality out there, driven by immutable the natural laws.”
Intinya sistem keyakinan dasar dari Positivisme berakar pada ontologi realis
yaitu percaya akan keberadaan realitas di luar individu, yang dikendalikan oleh
hukum-hukum alam yang tetap.
Secara
singkat, Positivisme adalah sistem keyakinan dasar yang menyatakan kebenaran
itu berada pada realitas yang terikat pada hukum-hukum alam yaitu hukum
kasualitas atau hukum sebab-akibat. Selanjutnya menurut Guba (1990:20) sistem
keyakinan dasar para peneliti positivis dapat diringkas sebagai berikut:
“Ontology:
Realist-reality exists “out there” and is driven by immutable natural laws and
mechanism. Knowledge of this entities, laws and mechanisms is conventionally
summarized in the form of time and context-free
generalizations. Some of these latter generalizations take the form of
cause-effect laws.”
Kutipan
tersebut mempunyai arti asumsi ontologi: bersifat nyata, artinya realita itu
mempunyai keberadaan sendiri dan diatur oleh hukum-hukum alam dan mekanisme
yang bersifat tetap. Pengetahuan tentang hal-hal di luar diri manusia (entities),
hukum, dan mekanisme-mekanisme ini secara konvensional diringkas dalam bentuk
generalisasi yang bersifat tidak terikat waktu dan tidak terikat konteks.
Sebagian dari generalisasi ini berbentuk hukum sebab-akibat.
“Epistomology :
Dualist/objectivist – it is both possible and essential for the enquirer to
adopt a distant, noninteractive posture. Value and other biasing and
confounding factors are thereby automatically excluded from influencing the
outcomes.”
Kutipan tersebut mempunyai arti
asumsi epistomologi: dualis/objektif, adalah mungkin dan esensial bagi peneliti
untuk mengambil jarak dan bersikap tidak melakukan interaksi dengan objek yang
diteliti. Nilai, faktor bias dan faktor yang mempengaruhi lainnya secara
otomatis tidak mempengaruhi hasil studi.
“Methodology
: Experimental/manipulate – questions and/or hypotheses are studied in advance
in propositional term and subjected to empirical tests (falsification) under
carefully controlled conditions.”
Kutipan tersebut mempunyai arti
asumsi metodologi: bersifat eksperimental/manipulatif: pertanyaan-pertanyaan
dan/atau hipotesis-hipotesis dinyatakan dalam bentuk proposisi sebelum
penelitian dilakukan dan diuji secara empiris (falsifikasi) dengan kondisi yang
terkontrol secara cermat.
Positivisme muncul pada abad ke-19 dimotori oleh Sosiolog
Aguste Comte. Comte menguraikan secara garis besar prinsip-prinsip positivisme
yang hingga kini masih banyak digunakan. John Stuart Hill dari Inggris (1843)
memodifikasi dan mengembangkan pemikiran Comte. Sedang Emile Durkheim (Sosiolog
Perancis) mengembangkan suatu versi positivisme dalam Rules of the
Sosiological Methods (1895), yang kemudian menjadi acuan bagi para peneliti
ilmu sosial yang beraliran positivisme. Menurut Emile Durkheim (1982:59) objek
studi sosiologi adalah fakta sosial. Fakta sosial tersebut meliputi: bahasa,
sistem hukum, sistem politik, pendidikan dan lain-lain. Sekalipun fakta sosial
berasal dari luar kesadaran individu, tetapi dalam penelitian positivisme
informasi kebenaran itu ditanyakan oleh peneliti kepada individu yang dijadikan
responden penelitian.
Gambar 16 : John
Stuart Mill
b. Paradigma
dalam penelitian kualitatif
Paradigma dalam penelitian kualitatif adalah Konstruktivisme,
Post Positivisme, dan Teori Kritis
a)
Konstruktivisme
Guba (1990:25) menyatakan: “But philosophers of science now uniformly
believe that facts are facts only within some theoretical framework (Hesse , 1980). Thus the basis for discovering “how
things really are” and “really work” is lost. “Reality” exist only in the
context of mental framework (construct) for thinking about it.”
Kutipan tersebut mempunyai arti ahli-ahli filsafat ilmu pengetahuan
percaya bahwa fakta hanya berada dalam kerangka kerja teori (Hesse ,
1980). Basis untuk menemukan “Sesuatu benar-benar ada” dan “benar-benar
bekerja” adalah tidak ada. Realitas hanya ada dalam konteks suatu kerangka
kerja mental (konstruk) untuk berpikir tentang realitas tersebut. Ini
berarti realitas itu ada sebagai hasil konstruksi dari kemampuan berpikir
seseorang. Selanjutnya Guba (1990:25) menyatakan “Constructivists concur
with the ideological argument that inquiry cannot be value-free. If “reality”
can be seen only through a theory window, it can equally be seen only through a
value window. Many constructions are possible.”
Kutipan tersebut mempunyai arti: kaum Konstruktivis setuju dengan
pandangan bahwa penelitian itu tidak bebas nilai. Jika “realitas” hanya dapat
dilihat melalui jendela teori, itu hanya dapat dilihat sama melalui jendela
nilai. Banyak pengonstruksian dimungkinkan. Ini berarti menurut Guba penelitian
terhadap suatu realitas itu tidak bebas nilai. Realitas hanya dapat diteliti
dengan pandangan (jendela/kacamata) yang berdasarkan nilai. Beberapa hal lagi
dijelaskan tentang konstruktivisme oleh Guba tetapi penjelasan Guba yang
terakhir tetapi penting adalah sebagai berikut: “Finally, it depicts
knwledge as the outcome or consequence of human activity; knowledge is a human
construction, never certifiable as ultimately true but problematic and ever
changing” (Guba, 1990:26).
Penjelasan Guba yang terakhir “pengetahuan dapat digambarkan sebagai
hasil atau konsekuensi dari aktivitas manusia, pengetahuan merupakan konstruksi
manusia, tidak pernah dipertanggungjawabkan sebagai kebenaran yang tetap tetapi
merupakan permasalahan dan selalu berubah.” Penjelasan Guba yang terakhir
tersebut mengandung arti bahwa aktivitas manusia itu merupakan aktivitas
mengonstruksi realitas, dan hasilnya tidak merupakan kebenaran yang tetap
tetapi selalu berkembang terus.
Dari beberapa penjelasan Guba yang dikutip di atas
dapat disimpulkan bahwa realitas itu merupakan hasil konstruksi manusia.
Realitas itu selalu terkait dengan nilai jadi tidak mungkin bebas nilai dan
pengetahuan hasil konstruksi manusia itu tidak bersifat tetap tetapi berkembang
terus.
Konstruktivisme ini secara embrional bertitik tolak
dari pandangan Rene Descartes (1596-1690) dengan ungkapannya yang terkenal: “Cogito
Ergo Sum,” yang artinya “Aku berpikir maka aku ada.” Ungkapan Cogito
Ergo Sum adalah sesuatu yang pasti, karena berpikir bukan merupakan khayalan.
Menurut Descartes pengetahuan tentang sesuatu bukan hasil pengamatan melainkan
hasil pemikiran rasio. Pengamatan merupakan hasil/kerja dari indera (mata,
telinga, hidung, peraba, pengecap/lidah), oleh karena itu hasilnya kabur. Untuk
mencapai sesuatu yang pasti menurut Descartes kita harus meragukan apa yang
kita amati dan kita ketahui sehari-hari. Pangkal pemikiran yang pasti menurut Descartes
dimulai dengan meragukan kemudian menimbulkan kesadaran, dan kesadaran ini
berada di samping materi. Sedangkan prinsip ilmu pengetahuan di satu pihak
berfikir, ini ada pada kesadaran, dan di pihak lain berpijak pada materi. Hal
ini dapat dilihat dari pandangan Immanuel Kant (1724-1808). Menurut Kant ilmu
pengetahuan itu bukan semata-mata merupakan pengalaman terhadap fakta, tetapi
juga merupakan hasil konstruksi oleh rasio.
Selanjutnya menurut Guba (1990:27) sistem keayakinan
dasar pada peneliti Konstruktivitas dapat diringkas sebagai berikut:
“Ontology: Relativist – Realities exist in the
form of multiple mental constructions, socially and experientially based local
and specific, dependent for their form and content on the persons who hold
them.”
Asumsi ontologi: “realitivis – realitas-realitas ada
dalam bentuk konstruksi mental yang bersifat ganda, didasarkan secara sosial
dan pengalaman, lokal dan khusus bentuk dan isinya, tergantung pada mereka yang
mengemukakannya.”
“Epistomogy:
Subjectivist – inquirer and inquired into are fused a single (monistic) entity.
Findings are literally the creation of the process of interaction between the
two.”
Asumsi epistimologi: “subjektif – peneliti dan yang
diteliti disatukan ke dalam pengetahuan yang utuh dan bersifat tunggal (monistic).
Temuan-temuan secara harafiah merupakan kreasi dari proses interaksi antara
peneliti dan yang diteliti.”
“Methodology:
Hermeneutic – dialectic – individual constructions are elicited and refined
hermeneutically, with the aim of generating one (or a few) constructions on
which there is substantisl consensus.”
Asumsi metodologi: “Hermeneutik – dialektik – konstruksi-konstruksi
individual dinyatakan dan diperhalus
secara hermeneutik dengan tujuan menghasilkan satu atau beberapa konstruksi
yang secara substansial disepakati”
b)
Postpositivisme
Guba (1990:20) menjelaskan Postpositivisme sebagai
berikut: “Postpositivism is best characterized as modified version of
positivism. Having assessed the damage that positivism has occured, postpositivists
strunggle to limited that damage as well as to adjust to it. Prediction and
control continue to be the aim.”
Kutipan tersebut mempunyai arti
Postpositivisme mempunyai ciri utama sebagai suatu modifikasi dari Positivisme.
Melihat banyaknya kekurangan pada Positivisme menyebabkan para pendukung
Postpositivisme berupaya memperkecil kelemahan tersebut dan menyesuaikannya.
Prediksi dan kontrol tetap menjadi tujuan dari Postpositivisme tersebut.”
Salim (2001:40) menjelaskan Postpositivisme sebagai
berikut: Paradigma ini merupakan aliran yang ingin memperbaiki
kelemahan-kelemahan Positivisme yang hanya mengandalkan kemampuan pengamatan
langsung terhadap objek yang diteliti. Secara ontologi aliran ini bersifat critical
realism yang memandang bahwa realitas memang ada dalam kenyataan sesuai
dengan hukum alam, tetapi suatu hal, yang mustahil bila suatu realitas dapat
dilihat secara benar oleh manusia (peneliti). Oleh karena itu secara metodologi
pendekatan eksperimental melalui metode triangulation yaitu penggunaan
bermacam-macam metode, sumber data, peneliti dan teori.
Selanjutnya dijelaskan secara epistomologis hubungan
antara pengamat atau peneliti dengan objek atau realitas yang diteliti tidaklah
bisa dipisahkan, tidak seperti yang diusulkan aliran Positivisme. Aliran ini
menyatakan suatu hal yang tidak mungkin mencapai atau melihat kebenaran apabila
pengamat berdiri di belakang layar tanpa ikut terlibat dengan objek secara
langsung. Oleh karena itu, hubungan antara pengamat dengan objek harus bersifat
interaktif, dengan catatan bahwa pengamat harus bersifat senetral mungkin,
sehingga tingkat subjektivitas dapat dikurangi secara minimal (Salim, 2001:40).
Dari pandangan Guba maupun Salim yang juga mengacu
pandangan Guba, Denzin dan Lincoln
dapat disimpulkan bahwa Postpositivisme adalah aliran yang ingin memperbaiki
kelemahan pada Positivisme. Satu sisi Postpositivisme sependapat dengan
Positivisme bahwa realitas itu memang nyata ada sesuai hukum alam. Tetapi pada
sisi lain Postpositivisme berpendapat manusia tidak mungkin mendapatkan
kebenaran dari realitas apabila peneliti membuat jarak dengan realitas atau
tidak terlibat secara langsung dengan realitas. Hubungan antara peneliti dengan
realitas harus bersifat interaktif, untuk itu perlu menggunakan prinsip
trianggulasi yaitu penggunaan bermacam-macam metode, sumber data, data, dan
lain-lain.
Selanjutnya menurut Guba (1990:23) sistem keyakinan
dasar pada peneliti Postpositisme adalah sebagai berikut:
“Ontology:
Critical realist – reality exist but can never be fully apprehended. It is
driven by natural laws that can be only incompletely understood.”
Asumsi ontologi: realis kritis – artinya realitas itu
memang ada, tetapi tidak akan pernah dapat dipahami sepenuhnya. Realitas diatur
oleh hukum-hukum alam yang tidak dipahami secara sempurna.
“Epistomology:
Modified objectivist – objectivity remains a regulatory ideal, but it can only
be approximated with special emphasis placed on external guardians such as the
critical tradition and critical community.”
Asumsi epistomologi: objektivis modifikasi - artinya
objektivitas tetap merupakan pengaturan (regulator) yang ideal, namun
objektivitas hanya dapat diperkirakan dengan penekanan khusus pada penjaga
eksternal, seperti tradisi dan komunitas yang kritis.
“Methodology:
Modified experimental/manipulative – emphasize critical multiplism. Redress
imbalances by doing inquiry in more natural settings, using more qualitative
methods, depending more on grounded theory, and reintroducing discovery into
the inqury process.”
Asumsi metodologi: eksperimental/manipulatif yang
dimodifikasi, maksudnya menekankan sifat ganda yang kritis. Memperbaiki
ketidakseimbangan dengan melakukan penelitian dalam latar yang alamiah, yang
tidak banyak menggunakan metode-metode kualitatif, lebih tergantung pada
teori-grounded (grounded-theory) dan memperlihatkan upaya (reintroducing)
penemuan dalam proses penelitian.
c)
Teori Kritis (Critical Theory)
Guba (1990:23) menjelaskan Teori Kritis sebagai
berikut: “The label critical theory is no doubt inadequate to encompass all
the alternatives that can be swept into this category of paradigm. A more
appropriate label would be “ideologically oriented inquiry”, including
neo-Marxism, materialism, ferminism, Freireism, participatory inquiry, and
other similar movements as well as critical theory itself. These perspectives
are properly placed together, however because they converge in rejecting the
claim of value freedom made by positivists (and largely continuing to be made
by postpositivists).”
Kutipan tersebut mempunyai arti:
“Nama teori kritis tidak diragukan lagi bahwa tidak dapat mencakup semua
alternatif yang dapat dimasukkan dalam kategori paradigma. Lebih tepat diberi
nama penelitian yang berorientasi pada ideologi, meliputi neo-Marxisme,
materialisme, feminisme, Freireisme, penelitian terlibat, dan perspektif yang
lain termasuk teori kritis itu sendiri. Perspektif-perspektif ini pantas
ditempatkan bersama karena sama-sama menolak klaim bebas nilai yang dibuat oleh
kaum Positivis (dan yang umumnya terus dibuat kaum Postpositivis).”
Sedang Salim (2001:41) dengan mengacu pada pandangan
Guba, Denzin dan Lincoln
menjelaskan bahwa aliran ini (Critical Theory) sebenarnya tidak dapat
dikatakan sebagai suatu paradigma, tetapi lebih tepat disebut “ideologically
oriented inquiry,” yaitu suatu wacana atau cara pandang terhadap realitas
yang mempunyai orientasi ideologis terhadap paham tertentu. Ideologi ini
meliputi: Neo Marxisme, Materialisme, Feminisme, Freireisme, Participatory
inquiry, dan paham-paham yang setara.
Selanjutnya dijelaskan bahwa dilihat dari segi
ontologis, paham Teori Kritis ini sama dengan Postpositivisme yang menilai
objek atau realitas secara kritis (Critical Realism), yang tidak dapat
dilihat secara benar oleh pengamatan manusia. Karena itu, untuk mengatasi
masalah ini, secara metodologis paham ini mengajukan metode dialog dengan
transformasi untuk menemukan kebenaran realitas yang hakiki. Secara
epistomologis, hubungan antara pengamat dengan realitas merupakan suatu hal
yang tidak bisa dipisahkan. Karena itu, aliran ini lebih menekankan konsep
subjektivitas dalam menemukan suatu ilmu pengetahuan, karena nilai-nilai yang
dianut oleh subjek atau pengamat ikut campur dalam menentukan kebenaraan
tentang suatu hal (Salim, 2001:41).
Dari pandangan-pandangan tersebut dapat disimpulkan
bahwa Teori Kritis (Critical theory) tidak dapat dikatakan sebagai
paradigma, tetapi lebih tepat dikatakan sebagai suatu cara pandang yang
berorientasi pada ideologi seperti Neo-Marxisme, Matrealisme, Feminisme,
Freireisme, dan lain-lain. Yang penting Teori Kritis ini menolak pandangan kaum
Positivis dan postpositivis yang menyatakan realitas itu bebas nilai. Karena
Teori Kritis ini berpandangan bahwa realitas itu tidak dapat dipisahkan dengan
subjek, nilai-nilai yang dianut oleh subjek ikut mempengaruhi kebenaran dari
realitas tersebut.
Selanjutnya menurut Guba (1990:25) sistem keyakinan
dasar para peneliti Critical Theory dapat diringkas sebagai berikut:
“Ontology : critical realist, as in the case of
postpositivism.”Artinya ontologi: “bersifat realis – kritis, seperti
Post-Positivisme.”
“Epistomology : subjectivist, in the sense that
values mediate inquiry.”Artinya epistomologi: “subjektivis, dalam arti
nilai-nilai menjadi mediasi penelitian.”
“Methodology:
dialogic, transformastive; eliminate false consciousness and energize and
facilitate transformation.” Artinya metodologi: “dialogis, transformatif;
mengeliminasi kesadaran palsu dan membangkitkan dan memfasilitasi
transformasi.”
Selanjutnya akan digambarkan perbedaan asumsi-asumsi
dari paradigma Kuantitatif dengan Kualitatif
lengkap dengan pertanyaan-pertanyaan penelitian yang digunakan
masing-masing paradigma serta implementasi dalam penelitian berdasarkan
asumsi-asumsi dan pertanyaan-pertanyaan penelitian dari masing-masing paradigma,
sebagai berikut:
Tabel 1: Asumsi-asumsi Paradigma Kuantitatif dan Kualitatif
|
Asumsi
|
Pertanyaan
|
Kuantitatif
|
Kualitatif
|
1.
|
Asumsi Ontologi
|
Apakah realitas itu secara alamiah?
|
Realitas itu objektif, dan tunggal, terpisah dari peneliti
|
Realitas itu subjektif dan ganda, seperti yang dilihat
oleh peneliti dalam studinya
|
2.
|
Asumsi Epistomologi
|
Apa hubungan peneliti dengan yang diteliti?
|
Peneliti tidak tergantung dari yang diteliti
|
Peneliti berinteraksi dengan apa yang diteliti
|
3.
|
Asumsi Nilai
|
Apa peran nilai?
|
Bebas nilai dan tidak bias
|
Tidak bebas nilai dan bias
|
4.
|
Asumsi Bahasa
|
Apa bahasa penelitian?
|
-
Formal
-
Berdasarkan pada seperangkat
definisi
-
Bahasa yang tidak personal
(impersonal)
-
Menggunakan kata-kata yang
diterima secara kuantitatif
|
-
Informal
-
Terkandung dalam definisi
-
Bahasa personal
-
Menggunakan kata-kata yang
diterima oleh kualitatif
|
5.
|
Asumsi Metodologi
|
Apa proses dari penelitian?
|
-
Proses deduktif
-
Sebab dan akibat
-
Disain yang statis,
kategori-kategori terisolasi sebelum studi dilakukan
-
Bebas konteks
-
Generalisasi digunakan untuk
memprediksi, menjelaskan dan memahami
-
Keakuratan dan keajegan melalui
validitas dan reliabilitas
|
-
Proses induktif
-
Faktor-faktor dibentuk secara
bersama
-
Disain berkembang, kategori-kategori
diidentifikasi selama proses penelitian
-
Terikat pada konteks
-
Pola (kerangka), teori-teori
dikembangkan untuk memahami
-
Keakuratan dan keajegan melalui
verifikasi
|
Sumber: Firestone
(1987), Guba & Lincoln (1988), McCracken (1985 dalam Creswell, 1994:5)
4.
INTERPRETIVE,
HERMENEUTIK, FENOMENOLOGI
a. Interpretive
Pada bagian ini akan dijelaskan pengertian interpretive (Geisteswissenschaften) dan ilmu budaya (Kulturwissenschaften).
Thomas A. Schwandt (dalam Denzin & Lincoln, 1994: 119)
mencoba menggambarkan secara lebih luas dan lebih mendalam tentang faham interpretive
dan menyatakan bahwa interpretive merupakan ide yang berasal dari
tradisi intelektual Jerman, yaitu hermeneutik, tradisi Verstehen
dalam sosiologi, fenomenologi Alfred Schutz, dan kritik kepada aliran ilmu
pengetahuan alam (scientism) dan aliran Positivis (positivism)
yang dipengaruhi oleh kritik para filosuf terhadap logika empirisme.
Hal tersebut dapat dilihat dari pandangan Schwandt (dalam
Denzin & Lincoln, 1994: 119) sebagai berikut:
“Painted in broad strokes, the canvas of
interpretivism is layered with ideas stemming from the German intellectual
tradition of hermeneutics and the Verstehen tradition in sociology, the
phenomenology of Alfred Schutz and critiques of scientism and positivism of ordinary
language philosophers critical of logical emperism (e.g Peter Winch, A. R.
Lough Isaiah Berlin).”
Selanjutnya Schwandt menjelaskan bahwa secara historis
argumentasi pengikut faham interpretive bahwa interpretive
digunakan untuk penelitian manusia yang bersifat unik. Terdapat bermacam
sanggahan terhadap interpretive naturalistik (alamiah) dari ilmu
pengetahuan sosial (secara kasar pandangan tentang tujuan dan metoda ilmu
pengetahuan sosial disamakan (identik) dengan tujuan dan metoda ilmu pengetahuan
alam). Kaum interpretive berpandangan bahwa ilmu pengetahuan mental (Geisteswissenschaften) atau ilmu
pengetahuan budaya (Kulturwissenschaften)
berbeda dengan ilmu pengetahuan alam (Naturwissenschaften).
Tujuan ilmu pengetahuan alam adalah menjelaskan secara ilmiah (erklaren), sedang tujuan ilmu
pengetahuan mental dan budaya adalah membentuk pemahaman (verstehen) mengenai “makna” dari fenomena sosial.
Hal tersebut dapat dilihat dari pandangan Schwandt (dalam
Denzin & Lincoln, 1994: 119) sebagai berikut:
“Historically, at least, interpretivists argued for the uniqueness
of human inquiry. They crafted various refutations of naturalistic
interpretation of the social sciences (roughly the view that the aims and
methods of the social sciences are identical to those of the natural sciences).
They held that the mental sciences (Geisteswissenschaften) or cultural sciences
(Kulturwissenschaften) were different in kind than the natural sciences
(Naturwissenschaften): The goal of the latter is scientific explanation (Erklaren),
where as the goal of the former is the grasping or understanding (Verstehen) of
the “meaning” of social phenomena.”
Sebelum menjelaskan interpretive seperti tersebut di atas
Schwandt menjelaskan bahwa istilah-istilah Konstruktivis, Konstruktivisme,
Interpretivis dan Interpretivisme merupakan istilah-istilah yang sehari-hari
dipergunakan dalam metodologi ilmu pengetahuan sosial dan oleh ahli-ahli
filsafat. Arti dari istilah-istilah tersebut dibentuk oleh maksud para
penggunanya. Konstruktivisme dan interpretivisme berfungsi memberikan
alternatif penjelasan lain yang meyakinkan secara metodologi dan filosofi yang
berpasangan. Istilah-istilah tersebut sangat tepat untuk disebut konsep yang
peka. Walaupun demikian istilah-istilah ini hanya memberikan arahan terhadap
apa yang harus diperhatikan dalam penelitian tetapi tidak memberikan
penjelasan.
Hal tersebut dapat dilihat dalam pandangan Schwandt (dalam
Denzin & Lincoln, 1994: 118) sebagai berikut:
“Constructivist, constructivism, interpretivist and interpretivism
are terms that routenely appear in the lexicon of social science methodologists
and philosophers. Yet, their particular meaning are shaped by the intent of
their user. As general descriptors for a loosely coupled family of
methodological and philosophical persuasions, these terms are best regarded as
sentizing concepts (Blumer, 1954). They steer the interest reader in the
general direction of where instances of particular kind of inquiry can be
found. However they “merely suggest directions along which to look” rather than
provide descriptions of what to see.”
Dari penjelasan-penjelasan Schwandt tersebut dapat
disimpulkan bahwa konstruktivisme, dan interpretivisme merupakan dua istilah
yang dipahami secara berpasangan untuk mendapatkan makna dari suatu fenomena
sosial. Konstruktivisme dan interpretivisme ini biasanya dipergunakan oleh ilmu
pengetahuan mental (Geisteswissenschaften)
dan ilmu pengetahuan budaya (Kulturwissenschaften).
Sedang menurut Guba dan Denzin & Lincoln, konstruktivisme
merupakan paradigma. Hal ini telah dijelaskan secara memadai dalam Bab II.
Dalam buku Paradigm Dialog karangan Guba, maupun Handbook of Qualitative Research karangan Denzin & Lincoln
interpretivisme tidak disebut-sebut sebagai suatu paradigma. Dengan demikian dapat
disimpulkan bahwa interpretive hanyalah merupakan metode analisis yang
dipergunakan oleh kaum Konstruktivis untuk mendapatkan makna dari suatu
fenomena. Dan dari penjelasan Schwandt pada alinea pertama di atas juga
nyata/jelas bahwa interpretive juga digunakan oleh hermeneutik dan
fenomenologi, yang keduanya juga merupakan metode analisis sebagai kritik
terhadap aliran ilmu pengetahuan alam dan positivisme yang menggunakan logika
emperisme. Berbeda dengan ilmu pengetahuan alam yang bertujuan memberikan penjelasan
(erklaren) maka interpretive
bertujuan untuk mendapatkan pemahaman yang mendalam (verstehen).
Untuk menjelaskan perbedaan fenomena dengan makna dibalik
fenomena (noumenon), penulis akan
mengutip uraian Spradley (1997: 5-6) dalam bukunya “The Etnographic Interview” yang telah diterjemahkan dalam bahasa
Indonesia dengan judul “Metode Etnografi”
sebagai berikut:
“Tiga orang anggota kepolisian yang sedang memberikan pijitan
jantung dan bantuan oksigen kepada seorang wanita korban serangan jantung, tetapi
malah diserang oleh segerombolan yang terdiri atas 75 sampai 100 orang yang
jelas-jelas tidak memahami upaya yang sedang dilakukan polisi. Anggota polisi
lain menghadang gerombolan yang kebanyakan berbahasa Spanyol itu sampai sebuah
ambulan datang. Para anggota kepolisian itu
menjelaskan kepada kerumunan orang itu mengenai apa yang mereka kerjakan,
tetapi kerumunan itu tetap beranggapan bahwa para anggota polisi itu memukul
wanita tersebut. Meskipun upaya keras telah dilakukan oleh anggota polisi namun
korban serangan jantung itu, Evangelica Echevacria, 59 tahun, meninggal dunia.”
Dari kutipan tersebut dapat disimpulkan bahwa walaupun
menghadapi peristiwa atau fenomena yang sama yaitu seorang wanita yang mendapat
serangan jantung, sehingga perlu diselamatkan kemudian diberi bantuan oleh
polisi, namun peristiwa tersebut diinterpretasikan sangat berbeda oleh kelompok
masyarakat tadi dengan polisi. Polisi berdasarkan kebudayaannya
menginterpretasikan wanita itu mengalami gangguan jantung, sehingga perlu diselamatkan
dengan memberikan pijitan jantung dan memberikan oksigen kepada wanita itu.
Sedang gerombolan itu mengamati peristiwa yang sama tetapi dengan interpretasi
yang berbeda. Gerombolan itu berdasarkan kebudayaannya menginterpretasikan tingkah laku polisi sebagai tindak kekerasan
karena dipersepsikan memukul, dan gerombolan itu bertindak untuk menghentikan
perbuatan polisi yang mereka pandang sebagai perbuatan jahat.
Dari contoh peristiwa tersebut dapat disimpulkan bahwa:
1)
Interpretasi terhadap makna kejadian
antara polisi dan gerombolan sangat berbeda.
2)
Perbedaan interpretasi terhadap makna
kejadian tersebut disebabkan latarbelakang budaya yang berbeda.
Untuk memantapkan penjelasan bahwa suatu peristiwa atau
fenomena yang sama dapat dimaknai secara berbeda, penulis mencoba menambah
contoh dengan mengutip contoh yang diberikan oleh Clifford Geertz (1992: 7 - 8)
“The Interpretation of Cultures, Selected
Essays” yang sudah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia dengan judul: “Tafsir Kebudayaan”. Geertz memberikan
contoh tentang anak yang mengedipkan mata. Perilaku mengedipkan mata dapat
memiliki makna yang berbeda-beda. Pertama,
anak yang mengedipkan mata hanya karena kedutan. Di sini anak yang mengedipkan
matanya mempunyai makna adalah karena kedutan. Kedua, anak yang mengedipkan mata karena memberi isyarat. Disini
anak melakukan kedipan mata dengan sengaja untuk memberi isyarat, misalnya saat
dimulainya suatu persekongkolan dengan sekelompok anak lain. Ketiga, anak mengedipkan mata karena
sedang latihan atau melatih orang lain untuk bermain badut-badutan.
Dari uraian tersebut dapatlah disimpulkan bahwa perilaku yang
sama yaitu mengedipkan mata ternyata dapat mengandung makna yang berbeda-beda.
Menurut Geertz (1992: 6) untuk dapat memahami makna tersebut seseorang harus
melakukan “thick description”
(“lukisan mendalam”), yang pada hakikatnya sama dengan melakukan interpretasi. Kesimpulan ini analog
dengan pernyataan Geertz (1992: 5) sebagai berikut: “Dengan percaya pada Max
Weber bahwa manusia adalah seekor binatang yang bergantung pada jaringan-jaringan makna yang ditenunnya
sendiri, saya menganggap kebudayaan
sebagai jaringan-jaringan itu, dan analisis atasnya tidak merupakan ilmu
eksperimental untuk mencari hukum, melainkan sebuah ilmu yang bersifat interpretif untuk mencari makna.”
Gambar 17 : Clifford Geertz
b. Hermeneutik
Berikut akan dijelaskan pengertian Hermeneutik serta fungsi
dan statusnya dalam ilmu pengetahuan kemanusiaan (Geisteswissenschaften) dan ilmu pengetahuan budaya (Kulturwissenschaften).
Telah dijelaskan di atas (pada Bab II) bahwa interpertive,
hermeneutik maupun fenomenologi merupakan metode analisis yang mempunyai tujuan
yang sama yakni mencari pemahaman yang mendalam (verstehen) atau dengan kata lain mencari makna di balik fenomena.
Cara yang dilakukan adalah melakukan interpretasi terhadap suatu fenomena.
Kalau demikian apa bedanya antara interpretive dengan hermeneutik? Untuk itu
akan dijelaskan apa yang dimaksudkan dengan hermeneutik.
Secara etimologis, kata hermeneutik berasal dari bahasa
Yunani hermeneuin yang berarti
menafsirkan. Maka kata benda hermeneia
secara harfiah dapat diartikan penafsiran atau interpretasi. Istilah Yunani ini
mengingatkan pada tokoh mitologis yang bernama Hermes, yaitu utusan yang
mempunyai tugas menyampaikan pesan dewa Jupiter kepada manusia. Tugas Hermes
adalah menerjemahkan pesan-pesan dewa di
Gunung Olympus ke dalam bahasa yang dapat dimengerti oleh manusia. Oleh karena
itu fungsi Hermes sangat penting karena apabila terjadi kesalahpahaman tentang
pesan-pesan dewa-dewa akan berakibat fatal bagi seluruh umat manusia. Hermes
harus mampu menginterpretasikan pesan dewa-dewa ke dalam bahasa yang
dipergunakan oleh para pendengarnya. Sejak saat itu Hermes menjadi simbol
seorang duta yang dibebani dengan sebuah misi tertentu. Berhasil tidaknya misi
itu sepenuhnya tergantung pada cara bagaimana pesan itu disampaikan (Sumaryono,
1993: 24). Oleh karena itu, hermeneutik pada akhirnya diartikan sebagai “proses mengubah sesuatu atau situasi
ketidaktahuan menjadi mengerti”. Batasan umum ini selalu dianggap benar,
baik hermeneutik dalam pandangan klasik maupun dalam pandangan modern (Palmer,
1969: 3 dalam Sumaryono, 1993: 24).
Gambar 18 : Hermes dalam Mitologi Yunani
Hermeneutik dalam pandangan klasik akan mengingatkan kepada
apa yang ditulis oleh Aristoteles dalam Peri
Hermeneias atau De Interpretatione.
Yaitu: bahwa kata-kata yang kita ucapkan adalah simbol dari pengalaman mental
kita, dan kata-kata yang kita tulis adalah simbol dari kata-kata yang kita
ucapkan. Sebagaimana seseorang tidak mempunyai kesamaan bahasa tulisan dengan
orang lain, maka demikian pula ia tidak mempunyai kesamaan bahasa ucapan dengan
orang lain. Akan tetapi pengalaman-pengalaman mentalnya yang disimbolkannya
secara langsung itu adalah sama untuk semua orang sebagaimana juga
pengalaman-pengalaman imajinasi kita untuk menggambarkan sesuatu (De Interpretatione, I. 16. a. 5 dalam
Sumaryono, 1993: 24).
Pada masa itu Aristoteles sudah menaruh minat terhadap
interpretasi. Menurut Aristoteles, tidak ada satu pun manusia yang mempunyai
baik bahasa tulisan maupun bahasa lisan yang sama dengan lain. Bahasa sebagai
sarana komunikasi antara individu dapat juga tidak berarti sejauh orang yang
satu berbicara dengan yang lain dengan bahasa yang berbeda. Bahkan pengalihan
arti dari bahasa yang satu ke bahasa yang lain juga dapat menimbulkan banyak
problem. Manusia juga mempunyai cara menulis yang berbeda-beda. Kesulitan itu
akan muncul lebih banyak lagi jika manusia saling mengkomunikasikan
gagasan-gagasan mereka dalam bahasa tertulis (Sumaryono, 1993: 24).
Dari uraian-uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa walaupun
manusia mempunyai pengalaman mental yang sama, misalnya susah, gembira, kecewa,
bangga, simpati, benci, rindu dan lain-lain, tetapi pengungkapan dalam bahasa
baik bahasa tulisan maupun lisan berbeda. Begitu pula walaupun mempunyai
pengalaman mental yang sama seperti sakit, ekspresi lisan orang yang satu
dengan orang lain tidak sama. Demikian pula dalam berkomunikasi, walaupun
mereka berkomunikasi dalam bahasa yang sama, belum tentu mereka memiliki
pemahaman yang sama. Bahkan dalam pengalihan bahasa (penerjemahan) dari bahasa
yang satu ke bahasa yang lain dapat menimbulkan banyak persoalan.
Pengungkapan pengalaman mental ke dalam kata-kata yang
diucapkan atau ditulis ke dalam kata-kata yang diucapkan atau ditulis mempunyai
kecenderungan dasar untuk mengerut atau menyempit. Sebuah pengalaman mental
atau sebuah konsep mempunyai nuansa yang kaya dan beranekaragam. Tetapi
kekayaan dan keanekaragaman nuansa tersebut tidak dapat tercakup seluruhnya
dalam sebuah kata yang diucapkan atau ekspresi yang diperlihatkan. Kita sering
mengungkapkan pengalaman mental ke dalam kata-kata atau ungkapan yang biasa
dipakai orang pada umumnya, kita tidak berusaha mengungkapkan dengan kata-kata
yang lebih baik dan lebih jelas. Orang pada umumnya mengungkapkan kesedihan
atau kegembiraan sebagaimana orang biasanya berbuat. Mereka pada umumnya tidak
mengungkapkan nuansa-nuansa dan corak khusus dari pengalamannya sendiri yang
bersifat pribadi. Apabila kita berbicara, maka kata-kata yang kita ucapkan pada
dasarnya lebih sempit bila dibandingkan dengan buah pikiran atau pengalaman
kita. Apabila kita menuliskan pengalaman kita, maka kata-kata yang tertulis,
juga menjadi lebih sempit artinya.
Pada dasarnya hermeneutik berhubungan dengan bahasa. Manusia
menyampaikan hasil pemikirannya melalui bahasa, kita berbicara dan menulis
dengan bahasa. Kita memahami sesuatu dan menginterpretasikan sesuatu melalui
bahasa. Begitu pula mengapresiasi sesuatu seni dengan bahasa, atau
mengungkapkan kekaguman karya seni dengan bahasa, dan lain-lain. Hermeneutik
membantu kita untuk menginterpretasikan makna yang terkandung dalam bahasa yang
tertulis dalam buku, dokumen, majalah, surat
dan lain-lain, agar makna yang kita tangkap sesuai dengan makna yang dimaksud
oleh penulisnya.
Disiplin ilmu yang pertama yang banyak menggunakan
hermeneutik adalah ilmu tafsir kitab suci. Sebab semua karya yang mendapatkan
inspirasi Ilahi seperti Al-Quran, kitab Taurat, kitab-kitab Veda, dan Upanishad
supaya dapat dimengerti memerlukan interpretasi atau hermeneutik (Sumaryono,
1993: 28).
c. Fenomenologi
Sebelum diuraikan Fenomenologi sebagai
metoda analisis dalam Penelitian Kualitatif, akan diuraikan lebih dulu
pengertian Fenomenologi.
Berdasarkan faham Fenomenologi terbentuknya
pengetahuan manusia terdapat dua hal yang pokok yaitu subjek yang ingin
mengetahui dan objek yang akan diketahui. Subjek dan objek ini dapat dibedakan
secara jelas dan tegas, tetapi tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Keduanya
harus ada, keduanya merupakan satu kesatuan asasi bagi terwujudnya pengetahuan
manusia. Oleh Sonny Keraf dan Mikhael Dua (2001: 19) dinyatakan: “Supaya
ada pengetahuan, keduanya niscaya ada, Yang satu tidak pernah ada tanpa yang
lain…..”. Pendapat ini juga sejalan dengan pendapat Merleau Ponty (dalam
Bertens, 1985: 345) yang menyatakan: “Ia (fenomenologi) sangat menekankan
hubungan dialektis antara subjek dan dunianya: tidak ada subjek tanpa dunia dan
tidak ada dunia tanpa subjek”. Oleh karena itu menurut Husserl agar terwujud
pengetahuan, subjek harus terarah pada objek agar dapat diketahui sebagaimana
adanya, sebaliknya objek harus terbuka kepada subjek agar dapat pula diketahui
sebagaiman adanya.
Di sini perlu
dipahami bahwa keterarahan subjek kepada objek hanya akan menghasilkan
pengetahuan apabila subjek yaitu manusia memiliki kesamaan-kesamaan dengan
objek yang diamati. Kalau tidak, objek tidak mungkin dapat diketahui, objek
akan berlalu begitu saja. Dengan kata lain pengetahuan itu hanya mungkin
terwujud apabila manusia itu sendiri memiliki kesamaan dengan objek sebagai
realitas di alam semesta ini. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa hanya
melalui dan berkat unsur jasmaninya manusia dapat mengetahui objek yang berada
di sekitarnya. Tanpa itu manusia tidak mampu mengetahui dunia dan segala
isinya. Pada tingkat ini pengetahuan manusia dianggap bersifat temporal,
kongkret, jasmani, inderawi. Tetapi manusia tidak hanya memiliki tubuh jasmani,
melainkan juga memiliki jiwa atau dalam hal ini akal budinya sehingga mampu
mengangkat pengetahuan yang bersifat temporal, kongkret, jasmani-inderawi ke
tingkat pengetahuan yang lebih tinggi yaitu tingkat abstrak dan universal. Ini
berarti manusia berkat akal budinya tidak hanya dapat mengetahui pengetahuan
yang kongkret yang ditangkap melalui pengamatan indera tetapi dimungkinkan
mencapai pengetahuan yang abstrak dan universal yang berlaku umum bagi objek
apa saja pada tempat dan waktu mana pun.
Fenomenologi yang
dikembangkan oleh Edmund Husserl (1859 – 1938) merupakan metoda untuk
menjelaskan fenomena dalam kemurniannya. Fenomena adalah segala
sesuatu yang dengan suatu cara tertentu tampil dalam kesadaran manusia. Baik
berupa sesuatu sebagai hasil rekaan maupun berupa sesuatu yang nyata, yang berupa
gagasan maupun berupa kenyataan (Husserl dalam Delfgaauw, 1988: 105).
Selanjutnya dikatakan yang penting ialah pengembangan suatu metoda yang tidak
memalsukan fenomena, melainkan dapat mendeskripsikannya seperti penampilannya.
Untuk tujuan itu fenomenolog hendaknya memusatkan perhatiannya kepada fenomena
tersebut tanpa disertai prasangka sama sekali. Seorang fenomenolog hendaknya
menanggalkan segenap teori, pranggapan serta prasangka, agar dapat memahami
fenomena sebagaimana adanya.
Memahami
fenomena sebagaimana adanya merupakan usaha kembali kepada barangnya
sebagaimana penampilannya dalam kesadaran. Barang yang tampil sebagaimana
adanya dalam kesadaran itulah fenomena (Husserl dalam Delfgaauw, 1988:
105).
Usaha kembali
kepada fenomena ini memerlukan pedoman metodik. Tidak mungkin untuk melukiskan
fenomena-fenomena sampai pada hal-hal yang khusus satu demi satu. Yang pokok
adalah menangkap hakekat fenomena-fenomena. Oleh karena itu metoda tersebut
harus dapat menyisihkan hal-hal yang tidak hakiki, agar hakekat ini dapat
mengungkapkan diri sendiri. Yang demikian bukan suatu abstraksi, melainkan
intuisi mengenai hakekat sesuatu (Husserl dalam Delfgaauw, 1988: 105).
Selanjutnya
dijelaskan bahwa kesadaran tidak pernah sacara langsung terjangkau sebagaiman
adanya, karena pada hakekatnya bersifat intensional, artinya terarah
pada sesuatu yang bukan merupakan kesadaran itu sendiri. Pengamatan serta
pemahaman, pembayangan serta penggambaran, hasrat serta upaya, semuanya
senantiasa bersifat intensional, terarah kepada sesuatu. Hanya dengan melakukan
analisis mengenai intensionalitas ini kesadaran itu dapat ditemukan. Untuk itu
seorang fenomenolog harus sangat cermat “ menempatkan tanda kurung” kenyataan
dunia luar agar fenomena ini hanya tampil dalam kesadaran. Penyekatan dunia
luar ini memerlukan metoda yang khas. Metoda tersebut disebut reduksi fenomenologik
atau epoche (Husserl dalam Delfgaauw, 1988: 106). Reduksi tersebut
terdiri dari 2 (dua) macam, yaitu reduksi eidetik yang memperlihatkan
hakekat (eidos) dalam fenomena, dan reduksi transendental yang
menempatkan dalam “tanda kurung” setiap hubungan antara fenomena dengan dunia
luar. Melalui kedua macam reduksi ini dapat dicapai kesadaran transendental,
sedangkan kesadaran terhadap pengalaman emperik sebetulnya hanya merupakan
bentuk pengungkapan satu demi satu dari kesadaran transendental.
Sedang Calra
Willig (1999: 51) menjelaskan bahwa Fenomenologi Transendental yang
diformulasikan oleh Husserl pada permulaan abad ke 20 menekankan dunia yang
menampilkan dirinya sendiri kepada kita sebagai manusia. Tujuannya ialah agar
kembali ke barangnya/bendanya sendiri sebagaimana mereka tampil kepada kita dan
mengesampingkan atau mengurung apa yang telah kita ketahui tentang mereka.
Dengan kata lain fenomenologi tertarik pada dunia seperti yang dialami manusia
dengan konteks khusus, pada waktu khusus, lebih dari pernyataaan abstrak
tentang kealamiahan dunia secara umum. Fenomenologi menekankan fenomena yang
tampil dalam kesadaran kita ketika kita berhadapan dengan dunia sekeliling kita
(“Transendental phenomenologi, as formulated by Husserl in the early
twentieth century, is concerned with the world as it presents itself to us as
humans. Its aim was to return to things themselves, as they appear to us
perceivers, and to set aside, or bracket, that which we (think) we already know
about them. In other words, phenomenology is interested in the world as it is
experienced by human beings within particular contexts and at particular times,
rather than in abstract statements about the nature of the world in general.
Phenomenology is concerned with the phenomena that appear in our consciousness
as we engage with the world around us”).
Menurut prespektif
fenomenologi, tidak masuk akal untuk berpikir/berpendapat bahwa dunia objek dan
subjek terpisah dari pengalaman kita. Ini dikarenakan seluruh objek dan subjek
harus hadir kepada kita sebagai sesuatu, dan manifestasinya seperti sesuatu ini
atau itu membentuk realitasnya pada saat manapun. Penampilan suatu objek
sebagai fenomena konseptual bervariasi menurut lokasi dan konteks, segi
pandang, dan terpenting, orientasi mental dari penerima (misalnya hasrat,
kebijakan, penilaian, emosi, maksud dan tujuan). Inilah yang disebut
intensionalitas. Intensionalitas membiarkan objek menampakan diri sebagai
fenomena. Ini berarti bahwa “diri” dan dunia merupakan komponen-komponen makna
yang tidak dapat dipisahkan (Moustakas, 1994: 28). Di sini makna bukan
merupakan sesuatu yang ditambahkan pada presepsi, sebagai sesuatu yang
dipikirkan sesudah presepsi, sebaliknya presepsi selalu bersifat intensional,
oleh karena itu merupakan unsur pengalamannya itu sendiri. Akan tetapi pada
waktu yang sama fenomenologi transendental mengakui bahwa presepsi kurang lebih
dapat menyatu dengan ide-ide atau keputusan-keputusan. Fenomenologi
mengidentifikasi strategi-strategi yang dapat membantu memfokuskan diri dimana
letak kemurnian fenomenologi (Husserl, 1931: 262), dan merefleksikan apa yang
kita bawa serta pada aktivitas presepsi dengan merasa, berpikir, mengingat dan
memutuskan. Hal ini merupakan implikasi metodologi fenomenologi (“According
to a phenomenological perspective, it makes no sense to think of the world of
objects and subjects as separate from our experience of it. This is because all
objects and subjects must present themselves to us as something, and their
manifestation as this or that something constitutes their reality at any one
time. The appearance of an object as a perceptual phenomenon varies depending
upon the perceiver’s mental oriention (e. q. desires, wishes, judgements,
emotions, aims and purposes). This is refered to as intentionality.
Intentionality allows objects to appear as phenomena. This means that “self and
world are inseparable components of meaning” (Moustakas 1994: 28). Here, meaning
is not something that is added on to perception as an afterthought; instead,
perception is always intentional and therefore constitutive of experience
itself. However, at the same time, transcendental phenomenology acknowledeges
that perception can be more or less infused with ideas and judgements. It
identifies strategies that can help us to focus on “ that which lies before one
in phenomenological purity” (Husserl, 1931: 262), and to reflect on that which
we bring to the act of perception through feeling, thingking, remembering and
judging. This takes us on to the methodological implications of phenomenology
(Willig, 1999:51).
Metode Fenomenologi
Metode
fenomenologi derivasi (diturunkan dari asalnya) fenomenologi membentuk bagian
sentral dari fenomenologi transendental. Husserl menyatakan adalah mungkin
mentransendensikan prasangka dan bias, dan mengalami suatu keadaan dari
kesadaran yang belum direfleksikan yang menggambarkan fenomena sebagai mereka
yang menampakkan dirinya sendiri kepada kita. Husserl mengidentifikasikan
serangkaian tahap akan diambil filsof dari persepsi segar tentang fenomena yang
dikenal untuk menggali ciri khusus fenomena. Pengetahuan yang berasal dari cara
ini yaitu dari pikiran sehat, penjelasan ilmiah dan interpretasi-interpretasi
lain atau abstraksi-abstraksi yang menjadi ciri pemahaman yang lain.
Pengetahuan seperti itu akan menjadi suatu pengetahuan tentang dunia sebagai ia
menampakkan kepada kita dalam hubungan kita dengannya. (“The
phenomenological method of deriving forms a central part of transcendental
phenomenology. Husserl suggested that it was possible to transcend
presuppositions and biases and to experience a state of pre-reflective
consciousness, which allows us to describe phenomena as they present themselves
to us. Husserl identified a series of steps that would take the philosopher
from a fresh perception of familiar phenomena to the extraction of the essences
that give the phenomena their unique character. Knowledge derived in this way
would be free from the common-sense notoins, scientific explanations and other
interpretations or abstractions that characterize most other forms of
understanding. It would be a knowledge of the world as it appears to us in our
engagement with it” (Willig, 1999: 52).
Selanjutnya dijelaskan
bahwa metoda fenomenologi meliputi 3 (tiga) fase perenungan yang membedakan
yaitu: epoche, reduksi fenomenologi dan variasi imajinatif. Epoche mensyaratkan
penundaan perkiraan dan asumsi, penilaian dan interprestasi untuk memungkinkan
kita menyadari secara penuh keberadaan apa yang nyata. Pada tahap reduksi
fenomenologi kita menggambarkan fenomena yang menampakkan dirinya kepada
kita secara total/utuh. Penggambaran itu meliputi penampilan fisik seperti
bentuk, ukuran, warna, dan juga ciri-ciri pengalaman seperti pemikiran dan
perasaan yang muncul dalam kesadaran kita ketika kita mengarahkan ke fenomena.
Melalui reduksi fenomenologi kita mengidentifikasi unsur-unsur hakiki
pengalaman akan fenomena. Dengan kata lain kita menjadi sadar tentang pengalaman
seperti adanya. Variasi imajinatif meliputi usaha mencapai susunan
komponen fenomena. Apabila reduksi fenomenologi bertalian dengan “apa” yang
dialami (yaitu teksturnya), imajinasi “menanyakan” bagaimana pengalaman itu
mungkin (yaitu struktur). Tujuan variasi imajinasi adalah mengidentifikasikan
kondisi yang berhubungan dengan fenomena dan tanpa hubungan tersebut tidak
mungkin akan menjadi sesuatu. Kondisi ini dapat meliputi waktu, ruang atau
hubungan social. Akhirnya gambaran tekstural dan struktural diintegrasikan
untuk sampai pada pemahaman tentang esensi fenomena. (“The phenomenological method of gaining understanding involves three
distinct phases of contemplation: ephoce, phenomenological reduction and
imaginative variation (for a detailed account of these, see Moustakas 1994).
Epoche requires the suspension of presuppositions and assumptions, judgements
and interpretations to allow ourselves to become fully aware of what is
actually before us. In phenomenological reduction we describe the phenomenon
that present itself to us it totality. This includes physical features such as
shape, size, colour and texture, as well as experiential features such as the
thought and feelings that appear in our consiousness as we attend to the
phenomenon. Through phenomenological reduction, we identify the constitutens of
our experience of the phenomenon. In other words, we become aware of what makes
the experience what it is. Imaginative variation involves an attempt to access
the structural components of the phenomenon. That is, while phenomenological
reduction is concerned with “what”is experienced (i.e. its texture),
imaginative variation asks “how” this experience is made possible (i.e. its
structure). The aim of imaginative variation is to identify the conditions
associated with the phenomenon and whitout which it would not be what it is.
This could involve time, space or social relationships. Finally, textural and
structural descriptions are integrated to arrive at an understanding of the
essence of the phenomenon”) (Willig, 1999: 52).
Fenomenologi dan Psikologi
Menurut Willig
(1999: 52) meskipun fenomenologi transcendental dipahami sebagai sistem
pemikiran filsafat, rekomendasinya telah terbukti menarik minat peneliti ilmu
pengetahuan sosial umumnya dan psikologi khususnya. Hal ini disebabkan
fenomenologi memfokuskan diri pada isi kesadaran dan pengalaman individu
tentang dunia, seperti yang dinyatakan oleh Kvale (1996 b: 53) sebagai berikut:
Fenomenologi berminat menguraikan apa yang nampak maupun cara bagaiman
sesuatu menampakkan diri. Fenomenologi mempelajari perspektif subjek tentang
dunianya; berusaha menjelaskan secara detail isi dan kesadaran subjek, berusaha
menujukkan keragaman kualitatif dari pengalaman-pengalaman mereka dan
mengungkapkan makna-makna yang esensiil pengalaman-pengalaman tersebut.
(“Even though transcendental
phenomenology was conceived as a philosophical system of thought, its
methodological recommendations have proved to be of interest to researchers in
the social sciences in general and psychology in particular. This is because
phenomenology focuses upon the content of consciousness and individual’s
experience of the word as Kvale (1996 b:53) put in:
Phenomenology is interested in
elucidating both that which appears and the manner in which it appears. It
studies the subjects perspectives of their word; attempts to describe in detail
the content and structure of the subjects consciouness, to grasp the
qualitative diversity of their experiences and to explicate their essential
meanings.
Selanjutnya
dijelaskan: Penelitian empiris fenomenologi dalam psikologi telah dirintis dan
diaplikasikan secara ekstentif pada Universitas Duquesne di Amerika Serikat
(lihat Van Kaam 1959, 1994; Georgi 1970, 1990; Georgi et al 1975). Topik-topik
penelitian fenomenologi meliputi: “pemahaman perasaan” (Van Kaam 1959),
“belajar” (Georgi 1975,1985), “ jadi kurban” (Fisher dan Wertz, 1979), “amarah”
(Stevick 1971), dan banyak fenomena yang lain dari pengalaman manusia.
Kenyataanya pengalaman manusia dapat dianalisis secara fenomenologis. Inilah
alasan lain mengapa fenomenologi merupakan pendekatan yang menarik bagi
peneliti-peneliti psikologi. Akan tetapi terdapat perbedaan dalam fokus dan
penekanan antara fenomenologi transcendental dan penggunaan metoda fenomenologi
dalam psikologi. (“Emperical
phenomenonlogical research in psychology was pioneered and applied extensively
at Duquesne University in the USA (see Van
Kaam 1959, 1994; Georgi 1970, 1994; Georgi et al. 1975). Topics of
phenomenological investigation include “feeling understood” (Van Kaam 1959),
“learning” (Georgi 1975, 1985), “being victimized” (Fisher and Wentz 1979),
“angry” (Stevick 1971), and many other phenomena of human experience. In fact,
any human experience can be subjected to phenomenological analysis. This is
another reason why this approach appeals to psychological researchers. However,
there are differences in focus and emphasis between transcendental
phenomenology and the use of the phenomenological method in psychology (Willg,
1999:52-53).
Spinelli (1989)
menunjukan bahwa psikologi fenomenologi lebih memperhatikan keberagaman dan
variasi pengalaman manusia dibandingkan dengan identifikasi tentang
esensi-esensi dalam pandangan Husserl. Sebagai tambahan penelitian-penelitian
fenomenologi dalam psikologi mengklaim bahwa seluruh prasangka dan bias-bias
dalam suatu perenungan tentang suatu fenomena. Lebih dari itu usaha memberi
tanda kurung fenomena membolehkan peneliti menggunakan pengujian secara kritis
atau cara yang biasa digunakan untuk mengetahuinya. Akhirnya sangat penting
untuk membedakan antara perenungan fenomenologi tentang suatu objek atau
kejadian sebagaimana menampakan dirinya kepada peneliti, dengan analisis
fenomenologi atas catatan pengalaman khusus seperti yang ditampilkan oleh
penelitian terlibat. Analisis fenomenologis menuntut (mensyaratkan) perhatian
intropektif oleh seseorang terhadap pengalamannya sendiri, sementara analisis
terhadap laporan pengalaman terlibat berupaya “masuk dalam” pengalaman orang
lain atas dasar deskripsi mereka tentang pengalamannya. Dalam penelitian
psikologi fenomenologi menggunakan laporan penelitian terlibat dijadikan
fenomena oleh peneliti. (“Spinelli (1989)
pointed out that phenomenological psychology is more concerned with the
diversity and variability of human experience than with the identification of
essences in Husserl’s sense. In addition, few, if any, phenomenological
researchers in psychology would claim that it is possible to suspend all
presuppotions and biases in one’s contemplation of a phenomenon. Rather the
attempt to bracket the phenomenon allows the researchers to engage in a
critical examination of his or her customary ways of knowing (about) it (see
reflexity. p. 10). Finally, it is important to differentiate between phenomenological
contemplation of an object or event as it present it self to the researcher,
and phenomenological analysis of an account of a particular experience as
presented by a research participant. The former requires introspective
attention to one’s own experience, where as the latter an attempt to “get
inside” someone else’s experience on the basis of their description of it. In
phenomenological psychological research, the research participotion’s account
becomes the phenomenon with which the researcher engages”) (Willig, 1999: 53).
Daftar
Pertanyaan BAB II
1.
Jelaskan pengertian Paradigma menurut
Denzin & Lincoln !
2.
Menurut Guba, suatu paradigma dapat
dicirikan oleh respon terhadap 3 (tiga) pertanyaan mendasar yaitu pertanyaan
ontologi, epistomologi dan metodologi. Jelaskan masing-masing pertanyaan
mendasar tersebut !
3.
Buktikan pandangan tentang paradigma dari
George Ritzer juga mengandung asumsi ontologi, epistomologi dan metodologi !
4.
Paradigma Penelitian Kuantitatif adalah
Positivisme. Jelaskan pengertian Positivisme!
5.
Bagaimana pandangan Positivisme tentang
asumsi ontologi, epistomologi dan metodologi, jelaskan !
6.
Jelaskan penerapan Positivisme dalam
penelitian kuantitatif !
7.
Paradigma Penelitian Kualitatif adalah
Konstruktivisme, Post Positivisme dan Teori Kritis. Jelaskan pengertian
Konstruktivisme, Post Positivisme dan Teori Kritis !
8.
Bagaimana pandangan Konstruktivisme
tentang asumsi ontologi, epistomologi dan metodologi, jelaskan !
9.
Jelaskan penerapan Konstruktivisme dalam
penelitian kualitatif !
10. Bagaimana pandangan Post Positivisme tentang asumsi ontologi,
epistomologi dan metodologi ?
11. Jelaskan penerapan Post Positivisme dalam penelitian kualitatif !
12. Bagaimana pandangan Teori Kritis tentang asumsi ontologi, epistomologi
dan metodologi ?
13. Jelaskan penerapan Teori Kritis dalam penelitian kualitatif !
14. Buatlah skema Asumsi-asumsi Paradigma dalam Penelitian Kuantitatif dan
Kualitatif yang meliputi Asumsi-asumsi, Pertanyaan yang merupakan refleksi
asumsi-asumsi tersebut, dan prinsip-prinsip dalam penelitian kuantitatif maupun
kualitatif sebagai refleksi asumsi-asumsi tersebut !
15. Jelaskan perbedaan penelitian kuantitatif dengan kualitatif menurut
Suparlan !
16. Mengapa penelitian kuantitatif bertujuan mengukur fakta yang objektif,
sedang penelitian kualitatif bertujuan mengonstruksi realitas sosial, makna
budaya ? Berikan pula contoh masing-masing !
17. Mengapa penelitian kuantitatif terfokus
pada variabel-variabel, sedang penelitian kualitatif terfokus pada
proses interaksi dan peristiwa-peristiwa ? Berikan pula contoh masing-masing !
18. Mengapa penelitian kuantitatif reliabilitas merupakan kunci, sedang
penelitian kualitatif keaslian merupakan kunci ? Berikan pula contoh
masing-masing !
19. Mengapa penelitian kuantitatif bersifat bebas nilai, sedang penelitian
kualitatif nilai hadir dan nyata / tidak bebas nilai ? Berikan pula contoh
masing-masing !
20. Mengapa penelitian kuantitatif tidak tergantung pada konteks, sedang
penelitian kualitatif terikat pada konteks ? Berikan pula contoh masing-masing
!
21. Mengapa penelitian kuantitatif terdiri atas kasus atau subjek yang
banyak, sedang penelitian kualitatif terdiri dari beberapa kasus atau subjek ?
Berikan pula contoh masing-masing !
22. Mengapa penelitian kuantitatif menggunakan analisis statistik, sedang
penelitian kualitatif bersifat analisis tematik ? Berikan pula contoh
masing-masing !
23. Mengapa penelitian kuantitatif peneliti tidak terlibat, sedang
penelitian kualitatif peneliti terlibat ? Berikan pula contoh masing-masing !
24. Jelaskan apa yang dimaksud dengan Interpretive ? Berikan contoh
kongkret Interpretive dalam penelitian kualitatif !
25. Jelaskan apa yang dimaksud dengan Hermeneutik ? Berikan contoh
kongkret Hermeneutik dalam penelitian kualitatif !
26. Jelaskan terbentuknya pengetahuan menurut faham Fenomenologi Husserl?
Jelaskan pula bahwa pendapat Sonny Keraf dan Mikhael Dua serta Merleau Ponty
juga sejalan dengan pandangan Fenomenologi?
27. Mengapa subjek mampu memahami objek yang mempunyai hakekat yang
berbeda? Dan jelaskan mengapa subjek mampu mengangkat pengetahuan yang bersifat
temporal dan kongkret dari objek menjadi pengetahuan yang bersifat abstrak dan
universal?
28. Jelaskan fenomenologi yang dikembangkan oleh Edmund Husserl (1859-1938)
?
29. Menurut Edmund Husserl usaha menangkap hakekat fenomena-fenomena
memerlukan pedoman metode yang bersifat intensional. Jelaskan hanya dengan
analisis yang bersifat intensional kesadaran dapat ditemukan?
30. Jelaskan bagaimana penjelasan Calra Willig tentang Fenomenologi
Transendental agar supaya suatu benda akan barang dapat kembali ke
barangnya/bendanya sendiri sebagaimana mereka tampil kepada kita?
31. Jelaskan apa yang dimaksud dengan Epoche,
Reduksi Fenomenologi, dan Variasi imajinatif. Penjelasan hendaknya diberikan contoh yang kongkret dari masing-masing
metoda fenomenologi tersebut?
32. Jelaskan mengapa Psikologi tertarik
untuk menggunakan fenomenologi untuk memperkaya teorinya. Jelaskan perbedaan
pandangan psikologi fenomenologi dengan fenomenologi transendental?
BAB III
PENELITIAN
KUALITATIF DAN STUDI KASUS
Dalam Bab ini akan diuraikan pengertian dan ciri-ciri penelitian
kualitatif, studi kasus dan grounded theory dari beberapa ahli.
1. Penelitian Kualitatif
a.
Pengertian Penelitian Kualitatif
Creswell, J.W. dalam bukunya yang berjudul: “Research
Design: Qualitative and Quantitative Approaches.” Sage Publications, 1994,
mengemukakan: Research that is guided by the qualitative paradigm is defined
as: “an inquiry process of understanding a social or human problem based on
building a complex, holistic picture, formed with words, reporting detailed views
of informants, and conducted in a natural setting.”
Kutipan
tersebut mengandung makna penelitian yang dibimbing oleh paradigma kualitatif
didefinisikan sebagai: “Suatu proses penelitian untuk memahami masalah-masalah
manusia atau sosial dengan menciptakan gambaran menyeluruh dan kompleks yang
disajikan dengan kata-kata, melaporkan pandangan terinci yang diperoleh dari
para sumber informasi, serta dilakukan dalam latar (setting) yang
alamiah.”
Denzin & Lincoln, dalam bukunya yang berjudul: “Handbook
of Qualitative Research,” Sage Publications, 1998, mengemukakan: “Qualitative
research is many things to many people. Its essence is twofold: a commitment to
some version of the naturalistic, interpretive approach to its subject matter,
and an ongoing critique of the politics and methods of positivism…Qualitative
researchers stress the socially constructed nature of reality, the intimate
relationship between the researcher and what is studied, and…value laden nature
inquiry.”
Kutipan
tersebut mempunyai arti, penelitian kualitatif esensinya bersifat ganda: suatu
komitmen terhadap pandangan naturalistik-pendekatan interpretatif terhadap
pokok persoalan studi dan suatu kritik yang berkelanjutan terhadap politik dan
metode positivisme. …….Peneliti kualitatif menekankan realitas yang dibentuk
secara sosial, hubungan yang erat antara peneliti dan yang diteliti dan ……,
ciri penelitian yang sarat nilai.
Selanjutnya, Denzin & Lincoln menjelaskan: “Qualitative
research is aimed at gaining a deep understanding of a specific organization or
event, rather than a surface description of a large sample of a population. It
aims to provide an explicit rendering of the structure order, and broad
patterns found among a group of participants. It is also called
ethno-methodology or field research. It generates data about human groups in
social settings.”
Kutipan
tersebut mempunyai arti: “Penelitian kualitatif lebih ditujukan untuk mencapai
pemahaman mendalam mengenai organisasi atau peristiwa khusus, ketimbang
mendeskripsikan bagian permukaan dari sampel besar dari sebuah populasi.
Penelitian ini juga bertujuan untuk menyediakan penjelasan tersurat mengenai
struktur, tatanan dan pola yang luas yang terdapat dalam suatu kelompok
partisipan. Penelitian kualitatif juga disebut etno-metodologi atau penelitian
lapangan. Penelitian ini juga menghasilkan data mengenai kelompok manusia dalam
latar/setting sosial.”
Lebih lanjut, Denzin & Lincoln menjelaskan: “Qualitative
research does not introduce treatments or manipulate variables, or impose the researcher’s
operational definitions of variables on the participants. Rather, it lets the
meaning emerge from the participants. It is more flexible in that it can adjust
to the setting. Concepts, data collection tools, and data collections methods
can be adjusted as the research progresses.”
Kutipan
tersebut mempunyai arti: “Penelitian kualitatif tidak memperkenalkan perlakuan
(treatment), atau memanipulasi variabel atau memaksakan definisi
operasional peneliti mengenai variabel-variabel pada peserta penelitian.
Sebaliknya, penelitian kualitatif membiarkan sebuah makna muncul dari
partisipan-partisipan itu sendiri. Penelitian ini sifatnya lebih fleksibel
sehingga dapat disesuaikan dengan latar yang ada. Konsep-konsep, alat-alat
pengumpul data, dan metoda pengumpulan data dapat disesuaikan dengan
perkembangan penelitian.”
Untuk memperjelas pandangan-pandangan tentang penelitian
kualitatif, Denzin & Lincoln menambahkan penjelasan sebagai berikut: “Qualitative
research aims to get a better understanding through first-hand experience,
truthful reporting, and quotations of actual conversations. It aims to
understand how the participants derive meaning from their surroundings, and how
their meaning influences their behavior.”
Kutipan
tersebut mempunyai arti: “Penelitian kualitatif ditujukan untuk mendapatkan
pemahaman yang mendasar melalui pengalaman ‘tangan pertama’, laporan yang
sebenar-benarnya, dan catatan-catatan percakapan yang aktual. Selain itu,
penelitian ini bertujuan untuk memahami bagaimana para partisipan mengambil
makna dari lingkungan sekitar dan bagaimana makna-makna tersebut mempengaruhi
perilaku mereka sendiri.
Dari beberapa definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa penelitian
kualitatif adalah penelitian yang bertujuan untuk mendapatkan pemahaman yang
mendalam tentang masalah-masalah manusia dan sosial, bukan mendeskripsikan
bagian permukaan dari suatu realitas sebagaimana dilakukan penelitian
kuantitatif dengan positivismenya. Peneliti menginterpretasikan bagaimana
subjek memperoleh makna dari lingkungan sekeliling, dan bagaimana makna
tersebut mempengaruhi perilaku mereka. Penelitian dilakukan dalam latar (setting)
yang alamiah (naturalistic) bukan hasil perlakuan (treatment)
atau manipulasi variabel yang dilibatkan.
Dari pandangan-pandangan yang telah dikemukakan oleh Creswell
maupun Denzin & Lincoln tersebut tidak saja dapat ditarik kesimpulan
tentang definisi penelitian kualitatif tetapi juga tentang ciri-cirinya. Untuk
memperoleh gambaran yang lebih lengkap tentang ciri-ciri penelitian kualitatif
akan diuraikan lebih lanjut tentang penelitian kualitatif menurut Denzin &
Lincoln sebagai berikut: “Qualitative research uses variety kinds of
qualitative inquiry in collecting data (such as: observation, interview,
documenting, narrating, publishing text, etc.). Observation is the selection
and recording of behaviors of people in their environment. Observation is
useful for generating in-depth descriptions of organization or events, for
obtaining information that is otherwise inaccessible, and for conducting
research when other methods are inadequate.”
Kutipan
tersebut mempunyai arti: “Penelitian kualitatif menggunakan berbagai jenis
studi kualitatif dalam mengumpulkan data (seperti: observasi, wawancara,
dokumentasi, narasi, publikasi teks, dll.). Observasi adalah penyeleksian dan
pencatatan perilaku manusia dalam lingkungannya. Observasi digunakan untuk
menghasilkan penjelasan yang sangat mendalam mengenai organisasi dan peristiwa,
untuk mendapatkan informasi yang tidak dapat diperoleh dengan cara lain, dan
untuk melakukan penelitian di saat metode-metode lain tidak memadai.”
Tentang observasi, Denzin & Lincoln menjelaskan lebih
lanjut sebagai berikut: “Observation is used extensively in studies by
psychologists, anthropologists, sociologists, and program evaluator. Direct
observation reduces distortion between the observer and what is observed that
can be produced by an instrument (e.g. questionnaire). It occurs in a natural
setting, not a laboratory or controlled experiment. The context or background of
behavior is included in observations of both people and their environment. And
it can be used with inarticulate subjects, such as children or others unwilling
to express themselves.”
Kutipan
tersebut mempunyai arti: “Observasi digunakan secara luas dalam studi oleh para
psikolog, antropolog, sosiolog, dan penilai program. Observasi secara langsung
mengurangi distorsi antara pengamat dan apa yang diamati, yang dapat diperoleh
melalui sebuah instrumen (kuesioner). Observasi langsung terjadi di dalam latar
yang alami, bukan dalam laboratorium atau eksperimen yang terkontrol. Konteks
atau latar belakang perilaku juga tercakup dalam pengamatan terhadap
orang-orang dan lingkungannya. Observasi ini dapat digunakan terhadap subjek
yang tidak pandai berbicara, seperti anak-anak atau mereka yang segan
mengekspresikan dirinya sendiri.”
Sebelum diuraikan tentang ciri-ciri penelitian kualitatif,
akan dikemukakan pandangan Muluk (yang mengacu pada Guba & Lincoln, 1998)
dalam disertasinya (2004) bahwa dalam ilmu-ilmu sosial dan humaniora penelitian
kualitatif lebih tepat dibandingkan penelitian kuantitatif sebagai berikut:
“…Memang selama beberapa ratus tahun setelah revolusi ilmu pengetahuan,
positivisme seperti tidak terbantahkan dengan dasar objektivitas, kuantifikasi,
dan rasionalitas. Namun positivisme menjadi problematis ketika dihadapkan
dengan ilmu-ilmu sosial dan humaniora, mengingat bahwa realitas dan fenomena
dalam ilmu sosial kebanyakan tidak mempunyai batas yang jelas antara subjek dan
objek. Realitas tunggal yang objektif dalam ilmu sosial dan humaniora dipandang
sebagai kemungkinan yang sukar dicapai dalam suatu dinamika sosial. Sebaliknya,
dalam ilmu sosial dan humaniora, realitas dipandang sebagai suatu yang plural
dan tidak pernah bebas konteks, bebas nilai dan bebas ideologi, suatu hal yang
sangat diagung-agungkan oleh pendekatan positivisme. Kritik yang paling
mendasar terhadap pendekatan positivisme adalah pada kecenderungannya untuk
memperlakukan data – demi menjaga objektivitas – tanpa mempertimbangkan konteks,
pada kecenderungannya untuk menggeneralisasi data yang umum kepada kasus-kasus
yang spesifik. Kritik lainnya adalah pada pandangan positivistik yang meyakini
adanya realitas yang bebas nilai (value-free) serta mengabaikan adanya
dimensi interaksi dan hubungan timbal-balik (reciprocal) antara pengamat
(observer) dengan yang diamati (Guba & Lincoln, 1998 dalam Malik,
2004:140). Dengan demikian, paradigma teoretik setelah era positivisme menolak
anggapan bahwa sesuatu yang ilmiah hanyalah sesuatu yang dapat diukur secara
kuantitatif. Dalam perkembangan berikutnya, pandangan positivistik mendapat
tantangan dari paradigma lainnya. Dengan demikian, positivistik tidak lagi
satu-satunya cara untuk sampai pada kebenaran ilmiah. Makin disadari bahwa
untuk gejala-gejala sosial, budaya dan perilaku, pendekatan-pendekatan yang
lebih berorientasi pada pandangan naturalistik dan fenomenologis dianggap lebih
mampu untuk menjelaskan gejala secara keseluruhan”).
b.
Ciri-ciri Penelitian Kualitatif
Dari pandangan Creswell, Denzin & Lincoln, serta
pandangan Guba & Lincoln yang dikemukakan Muluk, dapat dikemukakan
ciri-ciri Penelitian Kualitatif sebagai berikut:
1)
Penelitian kualitatif merupakan
penelitian dengan konteks dan setting apa adanya atau alamiah (naturalistic),
bukan melakukan eksperimen yang dikontrol secara ketat atau memanipulasi
variabel.
2)
Penelitian kualitatif bertujuan untuk
mendapatkan pemahaman yang mendalam tentang masalah-masalah manusia dan sosial
dengan menginterpretasikan bagaimana subjek memperoleh makna dari lingkungan
sekeliling dan bagaimana makna tersebut mempengaruhi perilaku mereka, bukan
mendeskripsikan bagian permukaan dari suatu realitas seperti yang dilakukan
peneliti kuantitatif dengan positivismenya.
3)
Agar peneliti bisa mendapatkan pemahaman
mendalam bagaimana subjek memaknai realitas dan bagaimana makna tersebut
mempengaruhi perilaku subjek, peneliti perlu melakukan hubungan yang erat
dengan subjek yang diteliti. Untuk itu, bila perlu peneliti melakukan observasi
terlibat (participant observation).
4)
Tidak seperti penelitian kuantitatif,
penelitian kualitatif tidak membuat perlakuan (treatment),
memanipulasi variabel, dan menyusun definisi operasional variabel. Untuk
mencapai tujuan penelitian kualitatif, peneliti menggunakan teknik pengumpulan
data tidak terbatas pada observasi dan wawancara saja, tetapi juga dokumen,
riwayat hidup subjek, karya-karya tulis subjek, publikasi teks, dan lain-lain.
5)
Tidak seperti penelitian kuantitatif yang
bebas nilai, penelitian kualitatif justru menggali nilai yang terkandung dari
suatu perilaku. Penelitian kualitatif meyakini bahwa perilaku tidak mungkin
bebas dari nilai yang dihayati individu yang diteliti.
6)
Penelitian kualitatif bersifat fleksibel,
tidak terpaku pada konsep, fokus, teknik pengumpulan data yang direncanakan
pada awal penelitian, tetapi dapat berubah di lapangan mengikuti situasi dan
perkembangan penelitian.
7)
Tidak seperti penelitian kuantitatif di
mana untuk mencapai objektivitas dengan melakukan pengukuran (measurement)
secara kuantitatif, penelitian kualitatif mendapatkan akurasi data dengan
melakukan hubungan yang erat dengan subjek yang diteliti dalam konteks
dan setting yang alamiah (naturalistic).
Sebagai bahan perbandingan dan sebagai upaya memperluas
wawasan, berikut ini pandangan Poerwandari (1998) yang mengacu pandangan Patton
(1990) tentang ciri-ciri penelitian kualitatif:
1)
Studi dalam situasi alamiah (naturalistic
inquiry)
Desain penelitian kualitatif bersifat alamiah, dalam arti peneliti tidak
berusaha untuk memanipulasi latar penelitian, melainkan melakukan studi
terhadap suatu fenomena dalam situasi di mana fenomena tersebut ada. Fokus
penelitian dapat berupa orang, kelompok, program, pola hubungan ataupun
interaksi, dan kesemuanya dilihat dalam konteks alamiah (apa adanya).
2)
Analisis induktif
Penelitian kuantitatif-eksperimental menggunakan pendekatan analisis
deduktif, dengan menerapkan pendekatan hipotesis-deduktif. Peneliti menetapkan
variabel-variabel utama beserta dengan pernyataan-pernyataan tentang
variabel-variabel tersebut (definisi operasional variabel catatan ini
menurut penulis) sebelum pengumpulan data dilakukan, berdasarkan kerangka
teoretis yang secara eksplisit dipilih. Berbeda dengan pendekatan kuantitatif,
metode kualitatif secara khusus berorientasi pada eksplorasi, penemuan, dan
logika induktif. Dikatakan induktif karena peneliti tidak memaksa diri untuk
hanya membatasi penelitian pada upaya menerima atau menolak dugaan-dugaannya,
melainkan mencoba memahami situasi (make sense of the situation) sesuai
dengan bagaimana situasi tersebut menampilkan diri. Analisis induktif dimulai
dengan observasi khusus, yang akan memunculkan tema-tema, kategori-kategori,
pola hubungan di antara kategori-kategori tersebut.
3)
Kontak personal langsung peneliti di
lapangan
Kegiatan lapangan merupakan aktivitas sentral dari sebagian besar
penelitian kualitatif. Mengunjungi lapangan berarti mengembangkan hubungan
personal langsung dengan orang-orang yang diteliti. Penelitian kualitatif
memang menekankan pentingnya kedekatan dengan orang-orang dan situasi
penelitian, agar peneliti memperoleh pemahaman jelas tentang realitas dan
kondisi nyata kehidupan sehari-hari.
4)
Perspektif holistik
Satu tujuan penting penelitian kualitatif adalah diperolehnya pemahaman
menyeluruh dan utuh tentang fenomena yang diteliti. Pendekatan holistik
mengasumsikan bahwa keseluruhan fenomena perlu dimengerti sebagai suatu sistem
yang kompleks, dan bahwa yang menyeluruh tersebut lebih besar dan lebih
bermakna daripada penjumlahan bagian-bagian. Penekanan pada pemahaman holistik ini
kontras dengan tradisi kuantitatif-eksperimental, yang menuntut
operasionalisasi variabel independen dan variabel dependen. Pendekatan
kuantitatif demikian tidak disetujui oleh peneliti kualitatif karena dianggap:
a) terlalu menyederhanakan realitas hidup yang sesungguhnya amat kompleks, b)
tidak mampu, atau mengabaikan faktor-faktor penting yang sering sulit sekali
untuk dikuantifikasi, c) gagal memberikan gambaran terintegrasi tentang
fenomena yang diteliti.
5)
Perspektif dinamis, perspektif
“perkembangan”
Penelitian kualitatif melihat gejala sosial sebagai sesuatu yang dinamis
dan berkembang, bukan sebagai sesuatu yang statis dan tidak berubah dalam
perkembangan kondisi dan waktu. Minat peneliti kualitatif adalah
mendeskripsikan dan memahami proses dinamis yang terjadi berkenaan dengan
gejala yang diteliti. Perubahan dilihat sebagai suatu hal yang wajar, sudah
diduga sebelumnya, dan tidak dapat dihindari. Karenanya, daripada mengendalikan
atau membatasinya, peneliti kualitatif-alamiah justru mengantisipasi kemungkinan
perubahan itu, mengamati dan melaporkan objek yang diteliti dalam konteks
perubahan tersebut.
6)
Orientasi pada kasus unik
Penelitian kualitatif yang baik akan menampilkan kedalaman dan rincian,
karena fokusnya memang penyelidikan yang mendalam pada sejumlah kecil kasus.
Kasus dipilih sesuai dengan minat dan tujuan khusus yang diuraikan dalam tujuan
penelitian. Studi kasus sangat bermanfaat ketika peneliti merasa perlu memahami
suatu kasus spesifik, orang-orang tertentu, kelompok dengan karakteristik
tertentu, ataupun situasi unik secara mendalam.
7)
Netralitas empatik
Penelitian kualitatif sering dikritik menghasilkan data yang subjektif,
dan karenanya dianggap kurang ilmiah. Memang ilmu sering didefinisikan dalam
kerangka objektivitas, yang dalam perspektif positivistik-kuantitatif dicapai
melalui distansi (jarak catatan penulis) peneliti dari objek yang
diteliti, karena peneliti kuantitatif-positivistik yakin bahwa distansi akan
mempertahankan sikap “bebas nilai.” Peneliti-peneliti kualitatif, sebaliknya,
menganggap bahwa objektivitas murni tidak pernah ada, hanya merupakan ilusi
peneliti kuantitatif. Pilihan untuk meneliti topik tertentu pun sudah diwarnai
subjektivitas, sementara rancangan dan instrumen penelitian adalah produk
manusia, dan karenanya, selalu mungkin mengandung bias.
8)
Fleksibilitas rancangan
Penyelidikan yang bersifat kualitatif tidak dapat secara jelas, lengkap
dan pasti ditentukan di awal sebelum dilaksanakannya pekerjaan di lapangan.
Tentu saja, rancangan awal yang disusun sebaik mungkin, yang akan menentukan
fokus pertama, rencana-rencana pengamatan dan wawancara, pertanyaan-pertanyaan
yang akan diajukan. Meski demikian, sifat alamiah dan induktif dari penelitian
tidak memungkinkan peneliti menentukan secara tegas variabel-variabel operasional,
menetapkan hipotesis yang akan diuji maupun menyelesaikan skema pengambilan
sampel dan instrumen yang akan dipakai sebelum ia sungguh-sungguh memasuki
pekerjaan lapangan. Desain kualitatif memiliki sifat luwes, akan berkembang
sejalan berkembangnya pekerjaan lapangan.
9)
Peneliti sebagai instrumen kunci
Bila peneliti kuantitatif dapat berpegang pada rumus-rumus dan teknik
statistik, peneliti kualitatif tidak memiliki formula baku untuk menjalankan penelitiannya.
Karenanya, kompetensi peneliti menjadi aspek paling penting: Peneliti adalah
Instrumen Kunci dalam penelitian kualitatif. Peneliti berperan besar dalam
seluruh proses penelitian, mulai dari memilih topik, mendekati topik tersebut,
mengumpulkan data, hingga menganalisis dan menginterpretasikannya.
c.
Perbedaan Asumsi-asumsi Penelitian
Kuantitatif dengan Penelitian Kualitatif
Untuk mendapatkan pemahaman yang lebih mendalam tentang
Penelitian Kualitatif, berikut akan digambarkan perbedaan asumsi-asumsi
Penelitian Kuantitatif dengan Penelitian Kualitatif menurut Creswell (1994:5).
1)
Asumsi-asumsi Penelitian Kuantitatif
a)
Reality is objective and singular,
apart from the researcher.
Realitas bersifat objektif dan tunggal, terpisah dari
peneliti.
b)
Researcher is independent from that
being researched.
Peneliti bebas dari apa yang diteliti.
c)
Value-free and unbiased.
Bebas nilai dan tidak bias.
d)
Formal language, based on set
definitions, impersonal voice, use of accepted quantitative words.
Bahasa formal, berdasarkan seperangkat definisi, kata-kata yang tidak personal
(impersonal), menggunakan kata-kata kuantitatif yang sudah diterima
(disepakati).
e)
Deductive process, seeking cause &
effect static design-categories isolated before study; context-free;
generalization, and understanding; accurate and reliable through validity and
reliability.
Proses deduktif, mencari sebab dan akibat, desain yang statis dalam arti
kategori-kategori sudah dipisah-pisah sebelum studi diadakan; bebas konteks;
generalisasi membawa pada prediksi, penjelasan dan pemahaman; keakuratan dan kehandalan
melalui validitas dan reliabilitas.
2)
Asumsi-asumsi Penelitian Kualitatif
a)
Reality is subjective and multiple as
seen by participants in a study.
Realitas bersifat subjektif dan ganda seperti dilihat partisipan (subjek
yang diteliti) dalam suatu studi.
b)
Researcher interact with that being
researched.
Peneliti berinteraksi dengan apa yang diteliti.
c)
Value-laden and biased.
Tidak bebas nilai dan bias.
d)
Informal, envolving decisions,
personal voice, accepted qualitative words.
Informal, keputusan-keputusan mengalami perkembangan, menggunakan
kata-kata yang personal, menggunakan kata-kata yang diterima kualitatif.
e)
Inductive process; mutual simultaneous
shaping of factors; emerging design-categories identified during research
process; context-bound; patterns, theories developed for understanding;
accurate and reliable through verification.
Faktor-faktor dibentuk (diidentifikasi) bersamaan secara timbal balik;
desain yang dinamis (berkembang selama studi) dalam arti kategori-kategori
diidentifikasi selama proses penelitian), desain disusun kemudian; terkait
konteks; pola-pola, teori-teori dikembangkan untuk memahami; akurasi dan
kehandalan melalui verifikasi.
d.
Masalah-masalah yang cocok dengan
penelitian kuantitatif dan yang cocok dengan penelitian kualitatif
Menurut Poerwandari (1998:46), gambaran mengenai
masalah-masalah yang cocok untuk diteliti dengan pendekatan kuantitatif atau
kualitatif adalah sebagai berikut:
1)
Bila anda lebih tertarik pada yang
disebut Allport sebagai “Psikologi Diferensial,” yakni melihat elemen-elemen
psikologi secara terpisah, mencari gambaran tentang hal tersebut pada manusia
pada umumnya sehingga dapat membandingkan manusia satu dengan yang lain,
tampaknya yang lebih sesuai digunakan adalah pendekatan kuantitatif.
2)
Bila anda tertarik untuk memahami manusia
dalam segala kompleksitasnya sebagai makhluk subjektif, pendekatan kualitatif
adalah yang sesuai untuk digunakan. Seperti juga beberapa tokoh yang menganggap
penting pendekatan kualitatif dalam psikologi, saya berpandangan bahwa psikologi,
khususnya psikologi kepribadian dan psikologi klinis akan banyak menyumbangkan
pengetahuan tentang manusia bila banyak bertumpu pada pendekatan kualitatif.
3)
Hal-hal yang membutuhkan pemahaman
mendalam dan khusus sangat sulit diteliti dengan pendekatan kualitatif. Sulit
untuk membayangkan bagaimana kita dapat secara utuh meneliti “penghayatan
individu yang mengalami perceraian,” “trauma yang dialami korban kejahatan
seksual,” “dinamika kekerasan terhadap perempuan,” atau “penyesuaian diri
terhadap situasi menganggur” dengan pendekatan kuantitatif.
4)
Kecenderungan yang positif dan perlu
terus dikembangkan saat ini adalah mulai digunakannya pendekatan kualitatif dan
kuantitatif sebagai dua hal yang saling menunjang dalam penelitian-penelitian
psikologi. Yang banyak dilakukan psikologi konvensional adalah menyusun skala
atau kuesioner berdasarkan teori yang ada. Karena teori yang ada sering juga
tidak sesuai dengan konteks populasi penelitian, tidak jarang terjadi bahwa
pertanyaan-pertanyaan yang berkembang adalah pertanyaan yang merefleksikan cara
berpikir peneliti, dan gagal mengungkap apa yang sesungguhnya menjadi masalah
responden atau subjek penelitian. Menyadari hal tersebut, beberapa peneliti
mulai menggabungkan metode-metode kualitatif dan kuantitatif.
Akan dikemukakan pendapat Prof. Dr. Fuad Hasan tentang
penelitian kualitatif sebagai berikut:
“Pendekatan
kualitatif sangat penting untuk dipahami oleh mereka yang bersibuk diri dengan
studi tentang manusia dan berbagai penjelmaan tingkah lakunya, baik individual
maupun kolektif. Banyak perilaku manusia yang sulit dikuantifikasikan, apalagi
penghayatannya terhadap berbagai pengalaman pribadi. Banyak sekali penjelmaan
kejiwaan yang mustahil diukur dan dibakukan, apalagi dituangkan dalam satuan
numerik. Kita mungkin berbicara tentang skala, peringkat, tolok ukur, dan
berbagai sarana pengukur lainnya, akan tetapi perlu tetap disadari bahwa apa
yang dapat ditangkap secara kuantitatif itu tidak sepenuhnya representatif bagi
pemahaman ikhwal manusia yang pada hakekatnya bersifat kualitatif. Bagaimana
mengukur keresahan, keriangan, kebosanan, kesepian, frustrasi, euforia, rasa
percaya diri, rasa malu, rasa cinta, rasa benci, rasa marah, rasa iri, dan
sejumlah penjelmaan kejiwaan lainnya, kecuali melalui kesanggupan berbagi rasa
empathy? Bukanlah segala penjelmaan manusiawi itu sesekali juga dapat menjadi
penghayatan diri kita sendiri?”
Gambar 19 : Fuad Hassan
2. Studi Kasus
Setelah uraian mengenai apa itu penelitian kualitatif
dan apa saja ciri-cirinya, selanjutnya akan dibahas dua jenis penelitian
kualitatif yaitu studi Kasus dan grounded theory.
a.
Pengertian Studi Kasus
Menurut Stake (dalam Denzin & Lincoln, 1994:236), studi
kasus tidak selalu menggunakan pendekatan kualitatif, ada beberapa studi kasus
yang menggunakan pendekatan kuantitatif. Stake, dalam membahas studi kasus,
akan menekankan pendekatan kualitatif, bersifat naturalistik, berbasis pada
budaya dan minat fenomenologi. Studi kasus bukan merupakan pilihan metodologi,
tetapi pilihan masalah yang bersifat khusus untuk dipelajari. Terdapat contoh
masalah yang dapat bersifat kuantitatif, misalnya; anak yang sakit, dokter
mempelajari anak yang sakit dapat bersifat kualitatif maupun kuantitatif,
walaupun catatan dokter lebih bersifat kuantitatif ketimbang kualitatif. Contoh
lain studi tentang anak yang diabaikan (neglected child) dapat bersifat
kualitatif maupun kuantitatif, walaupun catatan pekerja sosial lebih bersifat
kualitatif ketimbang kuantitatif. Sebagai suatu bentuk penelitian, pemilihan
studi kasus lebih ditentukan oleh ketertarikan pada kasus-kasus yang bersifat
individual, bukan oleh pemilihan penggunaan metode penelitian. Hal ini dapat
dilihat dari penjelasan Stake sebagai berikut: “Some case studies are
qualitative studies, some are not. In this chapter I will concentrate on case
studies where qualitative inquiry dominates, with strong naturalistic,
holistic, cultural, phenomenological interests. Case study is not a
methodological choice, but a choice of object to be studied. We could study it
in many ways. The physician studies the child because the child is ill. The
child’s symptoms are both qualitative and quantitative. The physician’s record
is more quantitative than qualitative. The social worker studies the child
because the child is neglected. The symptoms of neglect are both qualitative
and quantitative. The formal record the social worker keeps in more qualitative
than quantitative. In many professional and practical fields, cases are studied
and recorded. As a form of research, case study is defined by interest in
individual cases, not by methods of inquiry used.”
Selanjutnya, Stake menjelaskan bahwa nama studi kasus
ditekankan oleh beberapa peneliti karena memfokuskan tentang apa yang dapat
dipelajari secara khusus pada kasus tunggal. Penekanan studi kasus adalah
memaksimalkan pemahaman tentang kasus yang dipelajari dan bukan untuk
mendapatkan generalisasi. Hal ini dapat dilihat dari penjelasan Stake sebagai
berikut: “The name case study is emphasized by some of us because it draws
attention to the question of what specifically can be learned from the single
case. That epistemological question is the driving question of this chapter:
What can be learned from the single case? I will emphasize designing the study
to optimize understanding of the case rather than generalization beyond.”
Lebih lanjut, Stake menjelaskan tentang identifikasi kasus
bahwa kasus dapat bersifat sederhana tetapi dapat juga bersifat kompleks. Kasus
dapat bersifat tunggal misalnya hanya terkait dengan seorang anak, atau banyak misalnya
satu kelas, atau bersifat kompleks misalnya kaum profesional yang mempelajari
anak dalam masa kanak-kanak. Waktu yang dibutuhkan untuk mempelajari dapat
pendek atau panjang, tergantung waktu untuk berkonsentrasi. Setelah menentukan
mempelajari suatu kasus, peneliti seyogyanya terlibat secara mendalam pada
kasus tersebut. Hal ini dpat dibaca penjelasan Stake sebagai berikut: “A
case may be simple or complex. It may be a child or a classroom of children or
a mobilization of professionals to study a childhood condition. It is one among
others. In any given study, we will concentrating our inquiry on the one may be
long or short, but while we so consentrate, we are engaged in case study.”
Selanjutnya, Stake menjelaskan bahwa apabila ingin
mempelajari suatu kasus, tidak mungkin memahami secara mendalam tanpa
mengetahui tentang kasus-kasus lain. Tetapi apabila sumber daya terbatas, maka
lebih baik hanya berkonsentrasi memahami kompleksitas satu kasus saja tanpa
harus melakukan perbandingan antar kasus-kasus tersebut. Apabila mempelajari
lebih dari satu kasus, maka sebaiknya penelitian berkonsentrasi pada kasus
tunggal. Hal ini dapat dilihat dari penjelasan Stake sebagai berikut: “Ultimately
we may be more interested in phenomenon or population of cases than in the
individual case. We cannot understand this case without knowing about other
cases. But while we are studying it, our meager resources are concentrated on
trying to understand its complexities. For the while, we probably will not
study comparison cases. We may simultaneously carry on more one case study, but
each case study is concentrated inquiry into a single case.”
Stake mengidentifikasikan adanya 3 (tiga) tipe studi kasus.
Yang pertama disebut studi kasus intrinsik, yaitu studi untuk mendapatkan pemahaman
yang lebih baik dari kasus yang khusus, hal ini disebabkan karena seluruh
kekhususan dan keluarbiasaan kasus itu sendiri menarik perhatian. Tujuan studi
kasus intrinsik bukan untuk memahami suatu konstruksi abstrak atau konstruksi
fenomena umum seperti kemampuan membaca (literacy), penggunaan
obat-obatan oleh remaja atau apa yang harus dilakukan oleh kepala sekolah.
Tujuannya bukan untuk membangun teori, meskipun pada waktu lain peneliti
mungkin mengerjakan hal tersebut. Studi dilakukan karena ada minat intrinsik di
dalamnya, sebagai contoh anak luar biasa, klinik, konferensi atau kurikulum.
Apa yang dikemukakan ini dibandingkan dengan penjelasan Stake sebagai berikut: “Different
researchers have different purposes for studying cases. To keep such differences
in mind, I find it useful to identify three types of study. In what we may call
intrinsic case study, study is undertaken because one wants better
understanding of its particular case. It is not undertaken primarily because
the case represents other cases or illustrates a particular trait or problem,
but because, in all its particularity and ordinariness, this case itself is of
interest. The researcher temporarily subordinates other curiosities so that
case may reveal its story. The purpose is not to come to understand some
abstract constructs or generic phenomenon, such as literacy or teenage drug use
or what a school principal does. The purpose is not theory building – though at
other times the researcher may do just that. Study is undertaken because of
intrinsic interest in, for example, this particular child, clinic conference or
curriculum.”
Studi kasus yang kedua disebut studi kasus instrumental (instrumental
case study), adalah kasus khusus yang diuji untuk memberikan pemahaman yang
mendalam tentang suatu masalah (issue) atau untuk memperbaiki teori yang
telah ada. Walaupun studi kasus ini kurang diminati, ia memainkan peran yang
mendukung, memfasilitasi pemahaman terhadap sesuatu yang lain (minat
eksternal). Kasusnya dilihat secara mendalam, dan konteksnya diteliti secara
cermat, aktivitas-aktivitas untuk mendalami kasus tersebut dilakukan secara
rinci, karena kasus ini membantu pemahaman tentang ketertarikan dari luar
(minat eksternal). Dasar pemilihan mendalami kasus ini dikarenakan kasus ini
diharapkan dapat memperluas pemahaman peneliti tentang minat lainnya. Hal ini
disebabkan karena para peneliti bersama-sama mempunyai beberapa minat yang
selalu berubah-ubah yang tidak membedakan studi kasus intrinsik dari studi
kasus instrumental dan bertujuan memadukan keterpisahan di antara keduanya. Hal
ini dapat dibaca dalam penjelasan Stake sebagai berikut: “In what we may
call instrumental case study, a particular case is examined to provide insight
into an issue or refinement of theory. The case of secondary interest; it plays
a supportive role, facilitating our understanding of something else. The case
is often looked at in depth, its contexts scrutinized, its ordinary activities
detailed, but because this helps us pursue the external interest. The case may
be seen as typical of other cases or not. (I will discuss the small importance
of typicality later.) The choice of case is made because it is expected to
advance our understanding of that other interest. Because we simultaneously
have several interests, often changing, there is no line distinguishing
intrinsic case study from instrumental; rather, a zone of combined purpose
separates them.”
Studi kasus ketiga adalah studi kasus kolektif (collective
case study), yaitu penelitian terhadap gabungan kasus-kasus dengan maksud
meneliti fenomena, populasi, atau kondisi umum. Ini bukan merupakan kumpulan
studi instrumental yang diperluas pada beberapa kasus. Studi kasus kolektif
memerlukan kasus-kasus individual dalam kumpulan kasus-kasus diketahui lebih
dahulu untuk mendapatkan karakteristik umum. Kasus-kasus individual dalam
kumpulan kasus-kasus tersebut mempunyai ciri-ciri yang sama atau berbeda,
masing-masing mempunyai kelebihan dan bervariasi. Kasus-kasus tersebut dipilih
karena dipercaya bila memahami kasus-kasus tersebut akan menghasilkan pemahaman
yang lebih baik, penyusunan teori yang lebih baik tentang kumpulan kasus-kasus
yang lebih luas. Hal ini dapat dibaca pada penjelasan Stake sebagai berikut: “With
even less interest in one particular case, researchers may study a number of
cases jointly in order to inquire into the phenomenon, population, or general
condition. We might call this collective case study. It is not the study of
collective but instrumental study extended to several cases. Individual cases
in the collection may or may not be known in advance to manifest the common
characteristic. They may be similar or dissimilar, redundancy and variety each
having voice. They are chosen because it is believed that understanding them
will lead to better understanding, perhaps better theoritizing, about a still
larger collection of cases.”
Selanjutnya mengenai studi kekhususan, Stake menjelaskan
bahwa peneliti kasus mencari tahu tentang apa yang bersifat umum dan apa yang
bersifat khusus dari kasus tersebut, tetapi hasil akhir dari kasus tersebut
biasanya menampilkan sesuatu yang unik. Keunikan tersebut mungkin meresap dan
meluas kepada:
–
Hakikat suatu kasus
–
Latar belakang sejarah kasus tersebut
–
Latar (setting) fisik
–
Konteks-konteks lainnya, termasuk ekonomi,
politik, hukum, dan estetika
–
Kasus lainnya bilamana kasus tersebut
berkaitan dengan kasus yang dipelajari
–
Informan-informan dipilih dari
orang-orang yang mengetahui kasus ini
Untuk
mempelajari kekhususan suatu kasus, keseluruhan data tersebut harus
dikumpulkan.
Keunikan,
kekhususan dan perbedaan tidak disukai secara meluas. Studi kasus dirugikan
oleh orang-orang yang kurang menghargai kekhususan. Banyak ahli ilmu
pengetahuan sosial telah menulis tentang studi kasus, seolah-olah studi kasus
khusus tidak sepenting studi kasus lainnya yang diarahkan guna menghasilkan
generalisasi. Studi kasus dianggap merupakan tipifikasi dari kasus-kasus
lainnya sebagai eksplorasi yang mengawali studi-studi yang dapat menghasilkan
generalisasi, atau hanya merupakan suatu langkah awal dalam membangun teori.
Jadi studi kasus kurang dihargai sebagai studi intrinsik yang bernilai
kekhususan seperti biografi, studi mandiri kelembagaan, program evaluasi,
praktek terapi dan banyak macam pekerjaan. Hal ini dapat dibaca dalam penjelasan
Stake sebagai berikut: “Case researchers seek out both what is common and
what is particular about the case, but the end result regularly presents
something unique (Stouffer, 1941). Uniqueness is likely to be pervasive,
extending to
–
The nature of the case
–
Its historical background
–
The physical setting
–
Other contexts, including
economic, political, legal and aesthetic
–
Other cases trough which this
case is recognized
–
Those informants through whom
the case can be known
To study the case, many
researchers will gather data on all the above.
Uniqueness, particulary, diversity is not
universally loved. Case study methodology has suffered somewhat because it has
sometimes been presented by people who have a lesser regard for study of the
particular (Denzin, 1981; Glaser & Strauss, 1967; Herriott & Firestone,
1983; Yin, 1984). Many social scientists have written about case study as if
intrinsic study of a particular case is not as important as studies to obtain
generalizations pertaining to a population of cases. They have emphasized case
study as typification of other cases, as exploration leading to generalization
producing studies, or as an occasional early step in theory building. Thus, by
these respected authorities, case study method has been little honored as in
the intrinsic study of a valued particular, as its generally in biography,
institutional self study, program evaluation, therapeutic practice, and many
lines of work….”
Dari
pandangan-pandangan Stake (dalam Denzin & Lincoln, 1994:236-238) tersebut
dapat disimpulkan tentang studi kasus dan ciri-cirinya sebagai berikut: Studi
kasus adalah suatu bentuk penelitian (inquiry) atau studi tentang suatu
masalah yang memiliki sifat kekhususan (particularity), dapat dilakukan
baik dengan pendekatan kualitatif maupun kuantitatif, dengan sasaran perorangan
(individual) maupun kelompok, bahkan masyarakat luas. Dalam buku yang penulis
susun ini lebih ditekankan pendekatan kualitatif.
b. Ciri-ciri studi kasus
Ciri-ciri studi kasus adalah
sebagai berikut:
1)
Studi kasus bukan suatu metodologi
penelitian, tetapi suatu bentuk studi (penelitian) tentang masalah yang khusus
(particular).
2)
Sasaran studi kasus dapat bersifat
tunggal (ditujukan perorangan /individual) atau suatu kelompok, misalnya suatu
kelas, kelompok profesional, dan lain-lain.
3)
Masalah yang dipelajari atau diteliti
dapat bersifat sederhana atau kompleks. Masalah yang sederhana misalnya anak
yang mengalami penyimpangan perilaku. Masalah yang kompleks misalnya suatu
periode (masa) kanak-kanak, masa remaja, masa dewasa, hal-hal yang menyebabkan
rendahnya mutu pendidikan, hal-hal yang menyebabkan skizofrenia, dll.
4)
Tujuan yang ingin dicapai adalah
pemahaman yang mendalam tentang suatu kasus, atau dapat dikatakan untuk
mendapatkan verstehen bukan sekedar erklaren (deskripsi suatu
fenomena).
5)
Studi kasus tidak bertujuan untuk
melakukan generalisasi, walaupun studi dapat dilakukan terhadap beberapa
kasus. Studi yang dilakukan terhadap beberapa kasus bertujuan untuk mendapatkan
informasi yang lebih lengkap, sehingga pemahaman yang dihasilkan terhadap satu
kasus yang dipelajari lebih mendalam.
6)
Terdapat 3 (tiga) macam tipe studi kasus,
yaitu:
a)
Studi kasus intrinsik (intrinsic case
study), apabila kasus yang dipelajari secara mendalam mengandung hal-hal
yang menarik untuk dipelajari berasal dari kasus itu sendiri, atau dapat
dikatakan mengandung minat intrinsik (intrinsic interest).
b)
Studi kasus intrumental (intrumental
case study), apabila kasus yang dipelajari secara mendalam karena hasilnya
akan dipergunakan untuk memperbaiki atau menyempurnakan teori yang telah ada
atau untuk menyusun teori baru. Hal ini dapat dikatakan studi kasus
instrumental, minat untuk mempelajarinya berada di luar kasusnya atau minat
eksternal (external interest).
c)
Studi kasus kolektif (collective case
study), apabila kasus yang dipelajari secara mendalam merupakan beberapa
(kelompok) kasus, walaupun masing-masing kasus individual dalam kelompok itu
dipelajari, dengan maksud untuk mendapatkan karakteristik umum, karena setiap
kasus mempunyai ciri tersendiri yang bervariasi.
7)
Hal-hal umum juga dipelajari dalam studi
kasus, tetapi fokusnya terarah pada hal yang khusus atau unik. Untuk
mendapatkan hal-hal yang unik dari data-data sebagaimana tersebut di bawah ini,
harus dikumpulkan dan dianalisis, yaitu:
a)
Hakikat (the nature) kasus
b)
Latar belakang sejarah kasus
c)
Latar (setting) fisik
d)
Konteks dengan bidang lain; ekonomi,
politik, hukum, dan estetika
e)
Mempelajari kasus-kasus lain yang
berkaitan dengan kasus yang dipelajari
f)
Informan-informan yang dipilih adalah
orang-orang yang mengetahui kasus ini
Untuk
memperdalam wawasan pembaca, berikut ini akan dikemukakan tulisan Baedhowi
(2001:94) yang mengacu pada Yin (1981) tentang perbedaan studi kasus intrinsik
dengan studi kasus instrumental dan studi kasus kolektif sebagai berikut: “Intrinsic
case study dilakukan untuk memahami secara lebih baik tentang suatu kasus
tertentu. Jadi studi terhadap kasus ini karena peneliti ingin mengetahui secara
intrinsik mengenai fenomena, keteraturan, dan kekhususan dari suatu kasus, bukan
alasan eksternal lainnya. Sebaliknya, instrumental case study merupakan
studi terhadap kasus untuk alasan eksternal, bukan karena kita ingin mengetahui
tentang hakekat kasus tersebut. Kasus hanya dijadikan sebuah instrumen untuk
memahami hal lain di luar kasus, misalnya dalam membuktikan sebuah teori yang
sebelumnya sudah ada. Sedangkan collective case study dilakukan untuk
menarik kesimpulan atau generalisasi terhadap fenomena atau populasi dari
kasus-kasus tersebut. Jadi, jenis studi kasus ke-tiga ini ingin membentuk
sebuah teori berdasarkan persamaan dan keteraturan yang didapat dari setiap
kasus yang diselidiki.”
c. Kelebihan dan Kelemahan Studi Kasus
1)
Kelebihan Studi Kasus
a)
Studi kasus mampu mengungkap hal-hal yang
spesifik, unik dan hal-hal yang amat mendetail yang tidak dapat diungkap oleh
studi yang lain. Studi kasus mampu mengungkap makna di balik fenomena dalam
kondisi apa adanya atau natural.
b)
Studi kasus tidak sekedar memberi laporan
faktual, tetapi juga memberi nuansa, suasana kebatinan dan pikiran-pikiran yang
berkembang dalam kasus yang menjadi bahan studi yang tidak dapat ditangkap oleh
penelitian kuantitatif yang sangat ketat.
2)
Kelemahan Studi Kasus
Dari kacamata
penelitian kuantitatif, studi kasus dipersoalkan dari segi validitas,
reliabilitas dan generalisasi. Namun studi kasus yang sifatnya unik dan
kualitatif tidak dapat diukur dengan parameter yang digunakan dalam penelitian
kuantitatif, yang bertujuan untuk mencari generalisasi.
Daftar
Pertanyaan BAB III
1.
Bagaimana pandangan Creswell tentang
penelitian kualitatif ? Jelaskan !
2.
Bagaimana pandangan Denzin & Lincoln
tentang penelitian kualitatif ? Jelaskan !
3.
Dari pandangan beberapa ahli, diantaranya
Guba Creswell, Denzin & Lincoln, dapat disimpulkan adanya 7 (tujuh) ciri
penelitian kualitatif. Sebutkan dan jelaskan masing-masing ciri tersebut !
4.
Menurut Poerwandari yang mengacu pada
pandangan Patton terdapat 9 (sembilan) ciri penelitian kualitatif. Sebutkan dan
jelaskan masing-masing ciri tersebut !
5.
Jelaskan masalah yang cocok dengan
penelitian kuantitatif dan yang cocok dengan penelitian kualitatif menurut
Poerwandari !
6.
Bagaimana pandangan Prof. Dr. Fuad Hasan
tentang penelitian kualitatif ? Jelaskan !
7.
Jelaskan pengertian Studi Kasus baik
menurut Denzin & Lincoln, maupun Stake !
8.
Menurut anda apa kriteria utama sehingga
suatu studi (penelitian) disebut Studi Kasus?
9.
Menurut Stake terdapat 3 (tiga) tipe
Studi Kasus. Sebutkan ketiga tipe Studi Kasus tersebut ? Jelaskan perbedaan
Studi Kasus yang satu dengan yang lainnya !
10. Sebutkan dan jelaskan 7 (tujuh)
macam ciri-ciri Studi Kasus ?
11. Jelaskan kelebihan dan kelemahan Studi Kasus !
12. Buatlah Proposal Penelitian Kualitatif dengan menerapkan
prinsip-prinsip dan ciri-ciri Penelitian Kualitatif !
BAB IV
TEKNIK PENGUMPULAN INFORMASI (DATA)
Menurut
Creswell (1994: 150-151) berdasarkan tipe data kualitatif maka terdapat 4
(empat) macam tipe pengumpulan data, yaitu: 1) observasi, 2) wawancara, 3) dokumen, 4) alat-alat
audiovisual. Atas dasar hal tersebut penulis mengklasifikasi kan teknik pengumpulan informasi (data)
menjadi 3 (tiga) jenis, yaitu: 1) observasi,
2) wawancara, 3) dokumen, sedangkan alat-alat audiovisual penulis sebut
sebagai alat bantu pengumpulan data. Selanjutnya masing-masing teknik
pengumpulan data tersebut akan diuraikan pengertian dan ciri-cirinya.
1. Pengertian dan ciri-ciri
Observasi (pengamatan)
a.
Pengertian
observasi/pengamatan (Observation)
Menurut Kartono (1980: 142)
pengertian observasi diberi batasan sebagai berikut: “studi yang disengaja dan
sistematis tentang fenomena sosial dan gejala-gejala psikis dengan jalan
pengamatan dan pencatatan”. Selanjutnya dikemukakan tujuan observasi adalah:
“mengerti ciri-ciri dan luasnya signifikansi dari inter relasinya elemen-elemen
tingkah laku manusia pada fenomena sosial serba kompleks dalam pola-pola
kulturil tertentu”.
Observasi dapat menjadi teknik
pengumpulan data secara ilmiah apabila memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
1)
Diabdikan pada pola dan tujuan penelitian
yang sudah ditetapkan.
2)
Direncanakan dan dilaksanakan secara
sistematis, dan tidak secara kebetulan (accidental)
saja.
3)
Dicatat secara sistematis dan dikaitkan
dengan proposisi-proposisi yang lebih umum, dan tidak karena didorong oleh
impuls dan rasa ingin tahu belaka.
4)
Validitas, reliabilitas dan ketelitiannya
dicek dan dikontrol seperti pada data ilmiah lainnya (Jekoda, dkk, 1959 dalam
Kartono 1980: 142).
Catatan penulis: Untuk nomor 4)
istilah validitas dan reliabilitas dalam penelitian kualitatif tidak biasa
digunakan, istilah yang biasa digunakan untuk menggantikan kedua istilah
tersebut adalah kredibilitas.
Poerwandari tidak memberikan batasan tentang observasi tetapi
memberikan penjelasan tentang observasi sebagai berikut: “Observasi barangkali
menjadi metode yang paling dasar dan paling tua di bidang psikologi, karena
dengan cara-cara tertentu kita selalu terlibat dalam proses mengamati. Semua
bentuk penelitian psikologis, baik itu kualitatif maupun kuantitatif mengandung
aspek observasi di dalamnya. Istilah observasi diturunkan dari bahasa Latin
yang berarti “melihat” dan “memperhatikan”. Istilah observasi diarahkan pada
kegiatan memperhatikan secara akurat, mencatat fenomena yang muncul, dan
mempertimbangkan hubungan antar aspek dalam fenomena tersebut. Observasi selalu
menjadi bagian dalam penelitian psikologis, dapat berlangsung dalam konteks
laboratorium (eksperimental) maupun
dalam konteks alamiah (Banister dkk, 1994 dalam Poerwandari 1998: 62).
Catatan penulis: Observasi yang
dilakukan dalam laboratorium dalam konteks eksperimental itu adalah observasi
dalam rangka penelitian kuantitatif. Observasi dalam rangka penelitian
kualitatif harus dalam konteks alamiah (naturalistik).
Patton (1990: 201 dalam Poerwandari, 1998: 63) menegaskan
observasi merupakan metode pengumpulan data esensial dalam penelitian, apalagi
penelitian dengan pendekatan kualitatif. Agar memberikan data yang akurat dan
bermanfaat, observasi sebagai metode ilmiah harus dilakukan oleh peneliti yang
sudah melewati latihan-latihan yang memadai, serta telah mengadakan persiapan
yang teliti dan lengkap.
Moleong tidak memberikan batasan
tentang observasi, tetapi menguraikan beberapa pokok persoalan dalam membahas
observasi, diantaranya: a) alasan pemanfaatan pengamatan, b) macam-macam
pengamatan dan derajat peranan pengamat (Moleong, 2001: 125).
a) Manfaat
Pengamatan
Menurut Guba dan Lincoln
(1981: 191 – 193 dalam Moleong 2001: 125-126) alasan-alasan pengamatan
(observasi) dimanfaatkan sebesar-besarnya dalam penelitian kualitatif, intinya
karena:
1)
Pengamatan merupakan pengalaman langsung,
dan pengalaman langsung dinilai merupakan alat yang ampuh untuk memperoleh
kebenaran. Apabila informasi yang diperoleh kurang meyakinkan, maka peneliti
dapat melakukan pengamatan sendiri secara langsung untuk mengecek kebenaran
informasi tersebut.
2)
Dengan pengamatan dimungkinkan melihat
dan mengamati sendiri, kemudian mencatat perilaku dan kejadian sebagaimana yang
sebenarnya.
3)
Pengamatan memungkinkan peneliti mencatat
peristiwa yang berkaitan dengan pengetahuan yang relevan maupun pengetahuan
yang diperoleh dari data.
4)
Sering terjadi keragu-raguan pada
peneliti terhadap informasi yang diperoleh yang dikarenakan kekhawatiran adanya
bias atau penyimpangan. Bias atau penyimpangan dimungkinkan karena responden
kurang mengingat peristiwa yang terjadi atau adanya jarak psikologis antara
peneliti dengan yang diwawancarai. Jalan yang terbaik untuk menghilangkan
keragu-raguan tersebut, biasanya peneliti memanfaatkan pengamatan.
5)
Pengamatan memungkinkan peneliti mampu
memahami situasi-situasi yang rumit. Situasi yang rumit mungkin terjadi jika
peneliti ingin memperhatikan beberapa tingkah laku sekaligus. Jadi pengamatan
dapat menjadi alat yang ampuh untuk situasi-situasi yang rumit dan untuk
perilaku yang kompleks.
6)
Dalam kasus-kasus tertentu dimana teknik
komunikasi lainnya tidak dimungkinkan, pengamatan menjadi alat yang sangat
bermanfaat. Misalkan seseorang mengamati perilaku bayi yang belum bisa
berbicara atau mengamati orang-orang luar biasa, dan sebagainya.
Perlu ditekankan disini pengamatan dimaksudkan agar
memungkinkan pengamat melihat dunia sebagaimana yang dilihat oleh subjek yang
diteliti, menangkap makna fenomena dan budaya dari pemahaman subjek. Pengamatan
memungkinkan peneliti merasakan apa yang dirasakan dan dihayati oleh subjek,
bukan apa yang dirasakan dan dihayati oleh si peneliti. Jadi interpretasi
peneliti harus berdasarkan interpretasi subjek yang diteliti.
b)
Macam Pengamat dan Derajat Pengamat
Menurut Moleong (2001: 126-127) pengamatan dapat
dibedakan menjadi: a) pengamatan berperan serta, b) pengamatan tidak berperan
serta. Pengamatan juga dapat diklasifikasikan menjadi: a) pengamatan terbuka,
apabila keberadaan pengamat diketahui oleh subjek yang diteliti, dan subjek
memberikan kesempatan kepada pengamat untuk mengamati peristiwa yang terjadi
dan subjek menyadari adanya orang yang mengamati apa yang subjek kerjakan, b)
pengamatan tertutup apabila pengamat melakukan pengamatan tanpa diketahui oleh
subjek yang diamati. Pengamatan juga dapat diklasifikasikan menjadi: a)
pengamatan dengan latar alamiah atau pengamatan tidak terstruktur dan b)
pengamatan buatan atau pengamatan terstruktur. Pengamatan terstruktur ini
disebut eksperimen biasa digunakan dalam penelitian kuantitatif. Sedang
pengamatan alamiah atau pengamatan tidak terstruktur inilah yang biasa
digunakan dalam penelitian kualitatif.
Selanjutnya Bunford Junker (dalam Moleong, 2001:
126-127) membagi peran peneliti sebagai pengamat menjadi 4 (empat) jenis,
yaitu:
1)
Berperan serta secara lengkap (the complete participant). Pengamat
dalam hal ini menjadi anggota penuh dari suatu kelompok yang diamati, artinya
peneliti bergabung secara penuh atau menjadi anggota secara penuh dalam
kelompok yang diamati sendiri oleh peneliti. Dengan demikian peneliti dapat
memperoleh informasi apa saja yang dibutuhkannya, termasuk yang rahasia.
2)
Pemeran serta sebagai pengamat (the participant as observer). Peneliti
tidak sepenuhnya menjadi anggota kelompok yang diamati (misalnya anggota
kehormatan), tetapi masih dapat melakukan fungsi pengamatan. Hal-hal rahasia
masih dapat diketahui.
3)
Pengamat sebagai pemeran serta (the observer as participant). Peranan
pengamat secara terbuka diketahui oleh umum, karena segala macam informasi
termasuk yang rahasia dapat dengan mudah diperoleh.
4)
Pengamat penuh (the complete observer). Biasanya hal ini terjadi pada pengamatan
suatu eksperimen dilaboratorium yang menggunakan kaca sepihak. Peneliti dengan
bebas mengamati secara jelas subjeknya dari belakang kaca, sedang subjeknya
sama sekali tidak mengetahui apakah mereka sedang diamati atau tidak.
Flick (2002: 135) menjelaskan tentang observasi sebagai
berikut: disamping kemampuan berbicara dan mendengarkan sebagaimana digunakan
dalam wawancara-wawancara, observasi merupakan keterampilan harian lain sebagai
secara metodelogis disistematisir dan diterapkan dalam penelitian kualitatif.
Tidak hanya persepsi visual tetapi juga persepsi berdasarkan pendengaran,
perasaan dan penciuman yang diintegrasikan. (“Besides the competencies of speaking and listening which are used in
interviews, observing is another everyday skill which is methodologically
systematized and applied in qualitative research. Not only visual perceptions
but also those based on hearing, feeling and smelling are integrated (Adler and
Adler 1998)”).
Dengan menyetujui pendapat Friedrichs (1973: 272-273),
Flick (2002: 135) menyatakan prosedur observasi secara umum diklasifikasikan
menjadi 5 (lima )
dimensi, yaitu:
a)
Observasi tertutup versus observasi
terbuka: seberapa jauh observasi diberitahukan kepada siapa yang diobservasi.
(“Covert versus overt observation: how
far is the observation revealed to those who are observed”).
b)
Observasi tidak terlibat versus observasi
terlibat: seberapa jauh pengamat menjadi bagian yang aktif dari lapangan yang
diamati. (“Non-participant versus
participant observation: how far does the observer become an active part of the
observed field”).
c)
Observasi sistematis lawan observasi yang
tidak sistematis: adalah suatu observasi yang lebih atau kurang
terstandarisasikan dalam pola pelaksanaannya atau observasi yang lebih
fleksibel dan tanggap terhadap proses penelitian sendiri. (“Systematic versus unsystematic observation:
is a more or less standarized observation scheme applied or does observation
remain rather flexible and responsive to the processes themselves”).
d)
Observasi secara alamiah versus
situasi-situasi buatan: apakah observasi dilakukan dalam lapangan yang diminati
atau apakah observasi dilakukan terhadap interaksi yang mengarah ke suatu
tempat yang khusus (misalnya suatu laboratorium) yang memungkinkan observasi
yang lebih baik. (“Observation in natural
versus artificial situations: are observation done in the field of interest or
are interactions ’moved’ to a special place (eq. a laboratory) to give a better observability”).
e)
Observasi diri versus mengobservasi
orang-orang lain: kebanyakan orang lain diobservasi, maka berapa banyak
niat/atensi peneliti melakukan refleksi dalam observasi diri sendiri untuk
dijadikan dasar selanjutnya pada waktu melakukan penafsiran atas apa yang
diobservasi. (“Self-observation versus
observing others: mostly other people are observed, so how much attention is
paid to the researcher’s reflexive self-observation for futher grounding the
interpretation of the observed”).
Mengenai tahap-tahap observasi, penulis seperti Adler
dan Adler (1998), Denzin (1989 b), dan Spradley (1980) (dalam Flick, 2002: 136)
menyatakan bahwa observasi memiliki 7 (tujuh) tahap, yaitu:
a)
Seleksi suatu latar (setting)
yaitu dimana dan kapan proses-proses dan individu-individu yang menarik itu
dapat diobservasi (“The selection of a
setting, i.e. where and when the interesting processes and persons can be
observed”).
b)
Berikan definisi tentang apa yang dapat
didokumentasikan dalam observasi itu dan dalam setiap kasus. (“The definition of what is to be documented
in the observation and in every case”).
c)
Latihan untuk pengamat supaya ada
standarisasi misalnya apa yang dijadikan fokus-fokus penelitian. (“The training of the observers in order to
standarized such focuses”).
d)
Observasi deskriptif yang memberikan
suatu pemaparan umum mengenai lapangan. (“Descriptive
observations which provide an initial general presentation of the field”).
e)
Observasi terfokus yang semakin
terkonsentrasi pada aspek-aspek yang relevan dengan pertanyaan penelitian. (“Focused observations which concentrate more and
more on aspects that are relevant to the research questions”).
f)
Observasi selektif yang dimaksudkan untuk
secara sengaja menangkap hanya aspek-aspek pokok. (“Selective observations which are intended to purposively grasp only
central aspects”).
g)
Akhir dari observasi apabila kepenuhan
teori telah tercapai, yaitu apabila observasi lebih lanjut tidak memberikan
pengetahuan lanjutan. (“The end of the
observations, when theoretical saturation has been reached (Glaser and Strauss,
1967), i.e. futher observations do not provide any futher knowledge”).
Kerlinger (1986, terjemahan Simatupang 1990: 857)
intinya menyatakan bahwa manusia melakukan pengamatan sehari-hari terhadap
orang lain, lingkungan sekeliling dan lain-lain. Tetapi pengamatan seperti itu
jelas tidak memberikan data yang dapat dipergunakan untuk penelitian ilmiah.
Oleh peneliti-peneliti kuantitatif agar data hasil pengamatan dapat
dimanfaatkan dalam penelitian ilmiah perlu diterapkan prosedur pengukuran yaitu
setiap perilaku diberi skor menurut aturan tertentu, sehingga berdasarkan
skor-skor tersebut dapat disusun kesimpulan. Namun menurut Kerlinger hal
tersebut ternyata masih menimbulkan kontroversi dan perdebatan. Para peneliti kuantitatif menyatakan bahwa perilaku
tersebut harus dikontrol secara ketat dan cermat agar perilaku tersebut dapat
dikenakan prosedur pengukuran, dengan demikian data tersebut bermanfaat untuk
ilmu pengetahuan ilmiah. Peneliti-peneliti kualitatif menyatakan bahwa
pengamatan harus alamiah (naturalistik): pengamat harus larut dalam situasi
realistik dan alami yang sedang berlangsung, dan harus mengamati perilaku
sebagai yang muncul dalam wujud yang sebenarnya. Walaupun hal ini dalam
pelaksanaannya sangat sulit dan rumit.
Sedang Bachtiar (dalam Koentjoroningrat, 1977: 139)
intinya menyatakan bahwa dalam pengetahuan ilmiah mengenai segala sesuatu yang
diwujudkan oleh alam semesta, pengamatan merupakan teknik yang pertama-tama
digunakan dalam penelitian ilmiah. Selanjutnya dinyatakan berbeda dengan
pengamatan yang dilakukan sehari-hari, pengamatan sebagai cara penelitian
menuntut dipenuhinya syarat-syarat tertentu yang merupakan jaminan bahwa hasil
pengamatan memang sesuai dengan kenyataan yang menjadi sasaran penelitian.
Syarat-syarat tersebut adalah peneliti harus berusaha membandingkan dengan
hasil pengamatan orang lain dalam masalah yang sama dan dalam keadaan yang
sama, apabila ternyata mendapatkan hasil yang tidak sama, maka harus diperiksa
kembali dimana kesalahannya. Untuk menguji kebenaran suatu pengamatan, peneliti
dapat mengulang pengamatannya kemudian membandingkan dengan hasil pengamatan
pertama. Walaupun hal ini tidak selalu dapat dilakukan karena ada peristiwa
yang hanya sekali terjadi, sehingga tidak dapat diamati lagi. Catatan penulis: untuk membandingkan
hasil pengamatan dari seorang peneliti dengan peneliti lain adalah sangat sulit
karena belum tentu mendapatkan peneliti dalam masalah yang sama dengan subjek
yang sama. Oleh karena itu peneliti wajib membandingkan wajib penelitiannya
dengan hasil pengamatan significant
others yaitu individu yang dinilai berwibawa, dipercaya, disegani oleh
subjek yang diteliti sehingga persepsinya terhadap subjek yang diteliti
dianggap benar atau sesuai dengan kenyataannya.
Menurut Suparlan (1997: 103) metoda pengamatan
digunakan untuk memperoleh informasi mengenai gejala-gejala yang dalam
kehidupan sehari-hari dapat diamati. Hasil pengamatan biasanya didiskusikan
oleh si peneliti dengan warga masyarakat yang bersangkutan untuk mengetahui
makna yang terdapat dibalik gejala-gejala tersebut. Selanjutnya menurut
Suparlan (1994: 62) intinya terdapat anggapan sementara pihak bahwa pengamatan
dinilai bukan suatu metoda penelitian yang ilmiah karena sederhana, tidak rumit
teknik-tekniknya dan tidak susah memahami dan menggunakannya. Padahal apabila
digunakan sesuai persyaratannya akan memperoleh data yang tepat dan dapat
dipertanggung jawabkan. Suparlan selanjutnya mengemukakan bahwa dalam
penelitian ilmiah yang menggunakan metoda pengamatan, si peneliti hendaknya
memperhatikan 8 (delapan) hal sebagai berikut:
a)
Ruang atau tempat: setiap gejala (benda,
peristiwa, orang, hewan) selalu berada dalam ruang atau tempat tertentu. Bahkan
keseluruhannya dari benda atau gejala yang ada dalam ruang yang menciptakan
suatu suasana tertentu patut diperhatikan oleh si peneliti, sepanjang hal itu
mempunyai pengaruh gejala-gejala yang diamatinya.
b)
Pelaku: pengamatan terhadap pelaku
mencakup ciri-ciri tertentu yang dengan ciri-ciri tersebut sistem kategorisasi
yang berpengaruh terhadap struktur interaksi dapat terungkapkan.
c)
Kegiatan: dalam ruang atau tempat
tersebut para pelaku tidak hanya berdiam diri saja tetapi melakukan
kegiatan-kegiatan, yaitu tindakan-tindakan yang dilakukan, yang dapat
mewujudkan adanya serangkaian interaksi di antara sesama mereka.
d)
Benda-benda atau alat-alat: semua
benda-benda atau alat yang berada dalam ruang atau tempat yang digunakan oleh
para pelaku dalam melakukan kegiatan-kegiatannya atau ada kaitannya dengan
kegiatan-kegiatannya haruslah diperhatikan dan dicatat oleh si peneliti.
e)
Waktu: setiap kegiatan selalu berada
dalam suatu tahap-tahap waktu yang berkesinambungan. Seorang peneliti harus
memperhatikan waktu dan urut-urutan kesinambungan dari kegiatan, atau hanya
memperhatikan kegiatan tersebut dalam satu jangka waktu tertentu saja dan tidak
secara keseluruhan.
f)
Peristiwa: dalam kegiatan-kegiatan yang
dilakukan oleh para pelaku, bisa terjadi sesuatu peristiwa diluar
kegiatan-kegiatan yang nampaknya rutin dan teratur itu atau juga terjadi
peristiwa-peristiwa yang sebenarnya penting tetapi dianggap biasa oleh para
pelakunya. Seorang peneliti yang baik harus tajam pengamatannya dan tidak lupa
untuk mencatatnya.
g)
Tujuan: dalam kegiatan-kegiatan yang
diamati bisa juga terlihat tujuan-tujuan yang ingin dicapai oleh para pelakunya
sebagaimana terwujud dalam bentuk tindakan-tindakan dan ekspresi muka dan gerak
tubuh atau juga dalam bentuk ucapan-ucapan dan ungkapan-ungkapan bahasa.
h)
Perasaan: pelaku-pelaku juga dalam
kegiatan dan interaksi dengan sesama para pelaku dapat terlihat dalam
mengungkapkan perasaan dan emosi-emosi mereka dalam bentuk tindakan, ucapan,
ekspresi muka dan gerakan tubuh. Hal-hal semacam ini juga harus diperhatikan
oleh si peneliti.
Dari berbagai pendapat beberapa tokoh tentang
pengamatan (observasi) maka dapat disimpulkan bahwa pengamatan (observasi)
dalam konteks penelitian ilmiah adalah studi yang disengaja dan dilakukan
secara sistematis, terencana, terarah pada suatu tujuan dengan mengamati dan
mencatat fenomena atau perilaku satu atau sekelompok orang dalam konteks
kehidupan sehari-hari, dan memperhatikan syarat-syarat penelitian ilmiah.
Dengan demikian hasil pengamatan dapat dipertanggung jawabkan kebenarannya.
Agar hasil pengamatan dapat dipertanggung jawabkan
kebenarannya maka hasil pengamatannya hendaknya dibandingkan dengan hasil
pengamatan peneliti lain tentang orang atau fenomena yang sama dan dalam
situasi yang sama pula. Dapat juga dilakukan dengan mengulangi pengamatannya
atau melengkapi dengan menggunakan teknik lain misalnya wawancara dan
lain-lain. Atau dapat pula dilakukan dengan membandingkan dengan hasil
pengamatan dari significant others.
Jelaslah bahwa prinsip triangulasi dalam penelitian kualitatif harus
ditegakkan.
b.
Ciri-ciri
Observasi
1)
Persyaratan lain disamping diterapkannya
prinsip triangulasi, maka agar hasil observasi dapat dipertanggung jawabkan
kebenarannya perlu adanya latihan untuk melakukan observasi, dan telah
dimilikinya secara mantap pengetahuan teoritis atau konseptual dalam bidang
atau masalah yang diobservasi oleh si peneliti. Atau dengan kata lain peneliti
telah memiliki kepekaan teoritis (theoretical
sensitivity).
2)
Pengamatan dapat dimanfaatkan
sebesar-besarnya dalam penelitian kualitatif karena mempunyai keunggulan
sebagai berikut:
a)
Pengamatan yang dilakukan sendiri oleh si
peneliti dapat diperoleh kebenaran yang meyakinkan, karena si peneliti dapat
secara langsung mengecek kebenaran informasi.
b)
Pengamatan memungkinkan si peneliti mampu
memahami situasi yang rumit yaitu jika si peneliti ingin memperhatikan beberapa
tingkah laku sekaligus atau tingkah laku yang kompleks.
c)
Dengan pengamatan dimungkinkan melihat
dan mengamati sendiri, kemudian mencatat perilaku dan kegiatan sebagaimana yang
sebenarnya.
3)
Dalam kasus-kasus tertentu dimana teknik
komunikasi lainnya tidak dimungkinkan, pengamatan menjadi alat yang sangat
bermanfaat, misalnya mengamati bayi yang belum dapat berbicara, atau mengamati
orang yang menderita cacat; tuna rungu/tuna wicara, tuna netra, dan lain-lain.
Perlu mendapatkan perhatian bagi peneliti muda (mahasiswa S-1 yang sedang
menyusun Skripsi dengan pendekatan kualitatif) tujuan pengamatan adalah
menangkap makna fenomena sebagaimana pemahaman subjek yang diteliti terhadap
fenomena tersebut. Merasakan apa yang dirasakan dan dihayati oleh subjek yang
diteliti, bukan apa yang yang dirasakan dan dihayati oleh si peneliti.
4)
Menggaris bawahi pendapat Poerwandari
(1998: 62) yang menyatakan bahwa pengamatan diarahkan pada kegiatan
memperhatikan secara akurat, mencatat fenomena yang muncul, dan
mempertimbangkan hubungan antara aspek dalam fenomena tersebut. Ini berarti
pengamatan harus dilakukan dengan teliti dan cermat, dengan demikian pengamatan
tidak dapat dilakukan secara bersamaan dengan wawancara, karena tidak mungkin
pengamatan yang dilakukan bersamaan waktu dengan wawancara akan mendapatkan hasil
teliti dan cermat.
5)
Mengacu pendapat dari Kerlinger (1986
terjemahan Simatupang, 1990: 857) yang menyatakan pengamatan dalam konteks
penelitian kualitatif situasi yang diamati harus realistik dan alami
(naturalistik), maka pendapat Banister dkk (1994 dalam Poerwandari, 1998: 62)
yang menyatakan observasi dapat berlangsung dalam konteks laboratorium
(eksperimental) maupun konteks alamiah, maka pernyataan bahwa observasi dapat
berlangsung dalam konteks laboratorium (eksperimental) harus diartikan observasi
tersebut dilakukan dalam rangka penelitian kuantitatif. Disini eksperimen
direncanakan dan dilaksanakan oleh si peneliti. Subjek yang diteliti dalam
eksperimen penelitian kuantitatif berperan sebagai objek eksperimen. Observasi
dapat pula dilakukan dalam penelitian kualitatif apabila eksperimen disusun dan
dilakukan oleh peneliti lain, si peneliti mengamati subjek yang diteliti dalam
eksperimen tersebut dalam situasi apa adanya. Subjek yang diteliti tidak
menjadi objek eksperimen dan tidak tahu kehadiran observer (eksperimen dengan
laboratorium berkaca).
6)
Agar dapat berfungsi sebagai metoda dalam
penelitian ilmiah pengamatan harus dilakukan sesuai persyaratannya. Apabila hal
tersebut dilakukan maka akan memperoleh data yang tepat dan dapat dipertanggung
jawabkan (Suparlan, 1994: 62). Peneliti dalam penelitian ilmiah dengan
menggunakan teknik pengamatan harus memperhatikan 8 (delapan) hal, yaitu: a)
ruang atau tempat, b) pelaku, c) kegiatan, d) benda-benda atau alat-alat, e)
waktu, f) peristiwa, g) tujuan, h) perasaan subjek yang diteliti.
7)
Mengacu pendapat beberapa penulis Flick
(2002: 136) menyatakan terdapat 7 (tujuh) tahap dalam pelaksanaan observasi,
yaitu:
a)
Melakukan seleksi terhadap seting
penelitian.
b)
Mendefinisikan apa yang dapat
didokumentasikan dalam observasi dan dalam setiap kasus.
c)
Melakukan latihan bagi peneliti tentang
aturan-aturan yang harus ditaati dalam melakukan pengamatan sesuai fokus-fokus
penelitian yang direncanakan.
Catatan penulis: fokus
penelitian dapat berubah sesuai kondisi dilapangan.
d)
Mendiskripsikan apa yang akan dilakukan
dilapangan.
e)
Memfokuskan observasi pada aspek-aspek
yang relevan dengan pertanyaan penelitian.
f)
Menyeleksi apa yang diobservasi dengan
mengutamakan aspek-aspek pokok.
g)
Mengakhiri observasi apabila tujuan
observasi telah tercapai artinya apa yang akan diobservasi tidak dapat
dikembangkan lagi karena telah sesuai dengan teori yang mendasari, dan tidak
akan mendapatkan data-data baru lagi yang memberikan pengetahuan baru.
2. Pengamatan Terlibat (Participant
Observation)
Menurut Suparlan (1994: 7) dalam penelitian etnografi,
pengamatan terlibat merupakan metoda yang utama digunakan untuk pengumpulan
bahan-bahan keterangan kebudayaan disamping metoda-metoda penelitian lainnya.
Sedang pendapat penulis pengamatan terlibat merupakan teknik pengumpulan
informasi (data) yang sangat penting dalam penelitian kualitatif untuk bidang
psikologi, karena agar dapat menghayati perasaan, sikap, pola pikir yang
mendasari perilaku subjek yang diteliti secara mendalam tidak cukup memadai
apabila hanya dilakukan dengan wawancara. Keterlibatan langsung si peneliti
dalam kehidupan sehari-hari dari subjek yang diteliti dapat memungkinkan
hal-hal tersebut tercapai. Selanjutnya menurut Suparlan berbeda dengan
metoda-metoda pengamatan lainnya, sasaran dalam pengamatan terlibat adalah
orang atau pelaku ( subjek yang diteliti). Karena itu juga keterlibatannya
dengan sasaran yang ditelitinya berwujud dalam hubungan-hubungan sosial dan
emosional. Hal tersebut dilakukan dengan melibatkan dirinya dalam kegiatan dan
kehidupan pelaku yang diamatinya sesuai dengan kacamata kebudayaan dari para
pelakunya sendiri. Hal ini sejalan dengan pandangan psikologi karena perilaku
manusia tidak mungkin lepas dari nilai-nilai budaya yang melatar belakanginya.
Bahwa budaya merupakan jaringan makna atau nilai ini dikemukakan oleh Clifford
Greetz (1992) dalam bukunya yang berjudul: “Tafsir Kebudayaan”.
Sedang definisi pengamatan terlibat (participant observation dari Denzin
(1989: 157-8 dalam Flick, 2002: 139)) sebagai berikut: “Pengamatan terlibat
didefinisikan sebagai suatu strategi lapangan yang secara simultan (serempak)
mengkombinasikan analisis dokumen, mewawancarai para responden dan
informan-informan, observasi dan partisipasi (keterlibatan) langsung dan
instrospeksi (“Participant observation
will be defined as a field strategy that simultaneously combines document
analysis, interviewing of respondents and informants, direct participation and
observation, and instrospection”).
Jorgensen (dalam Flick, 2002: 139) membedakan pengamatan
terlibat (participant observation)
dengan pengamatan tidak terlibat (non-participant
observation) dalam 7 (tujuh) hal, sebagai berikut:
a.
Pengamatan terlibat ditujukan pada minat
khusus atau nilai-nilai/makna-makna kemanusiaan dan interaksi antar manusia
seperti pandangan dari perspektif orang-orang yang berada di dalam atau bagian
situasi dan seting khusus. (“A special
interest in human meaning and interaction as viewed from the perspective of
people who are insiders or members of particular situations and settings”).
b.
Lokasi/tempat disini dan sekarang dari
seting dan situasi kehidupan sehari-hari sebagai dasar penelitian dan metoda.
(“Location in the here and now of
everyday life situations and setting as the foundation of inquiry and method”).
c.
Suatu bentuk teori dan penyusunan teori
yang menekankan interpretasi dan pemahaman tentang eksistensi manusia. (”A form of theory and theorizing stressing
interpretation and understanding of human existence”).
d.
Suatu proses penelitian yang logis yang
terbuka-tertutup, fleksibel, memberi kesempatan dan memerlukan redefinisi yang
tetap dari apa yang menjadi permasalahan, berdasarkan pada fakta-fakta yang
dikumpulkan dalam seting yang kongkret dari eksistensi manusia. (“A logic and process of inquiry that is open-ended,
flexible, opportunistic, and requires constant redefinition of facts gathered
in concrete setting of human existence”).
e.
Suatu yang mendalam, kualitatif,
pendekatan dan disain studi kasus. (“An
in-depth, qualitative, case study approach and design”).
f.
Kinerja/performansi dari peranan orang
yang terlibat yang meliputi pemantapan dan pemeliharaan hubungan-hubungan
dengan warga setempat dilapangan, dan (“The
performance of a participant role or roles that in volves establishing and
maintining relationships with natives in the field; and”).
g.
Menggunakan observasi langsung dengan
metoda-metoda untuk mengumpulkan informasi lainnya. (“The use of direct observation along with other methods of gathering
information”).
Dari penjelasan-penjelasan tersebut dapat disimpulkan
bahwa pengamatan terlibat (participant
observation) adalah studi yang
disengaja dan dilakukan secara sistematis, terencana, terarah pada suatu tujuan
dimana pengamat atau peneliti terlibat langsung dalam kehidupan sehari-hari
dari subjek atau kelompok yang diteliti. Dengan keterlibatan langsung dalam
kehidupan sehari-hari tersebut menyebabkan terjadinya hubungan sosial dan
emosional antara peneliti dengan subjek yang diteliti, dampaknya si peneliti
mampu menghayati perasaan, sikap, pola pikir yang mendasari perilaku subjek
yang diteliti terhadap masalah yang dihadapi.
Untuk memperdalam wawasan pembaca tentang pengamatan
terlibat akan diuraikan seluk beluk pengamatan terlibat dari pandangan Suparlan
(1997: 100-101). Dikemukakan bahwa dalam kegiatan penelitian dengan
menggunakan metoda pengamatan terlibat
si peneliti bukan hanya mengamati gejala-gejala yang ada dalam kehidupan
sehari-hari masyarakat yang diteliti, tetapi juga melakukan wawancara,
mendengarkan, merasakan, dan dalam batas-batas tertentu mengikuti
kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh mereka yang ditelitinya. Wawancara yang
dilakukannya bukanlah wawancara formal, yang biasa dilakukan dengan menggunakan
kuesioner, tetapi sebuah wawancara yang terwujud sebagai dialog yang spontan
berkenaan dengan suatu masalah atau topik yang kebetulan sedang dihadapi oleh
pelaku. Justru yang spontan inilah yang objektif dan sahih karena tidak
direkayasa terlebih dulu oleh para informan (pengumpul informasi yaitu pembantu
peneliti untuk mengumpulkan informasi). Inti dari metoda pengamatan terlibat
adalah mengumpulkan informasi melalui pancainderanya. Metoda ini berbeda dengan
metoda pengamatan yang hanya menggunakan indera mata saja, atau dengan metoda
wawancara dengan pedoman yang hanya menggunakan telinga untuk mendengarkan apa
yang dipikirkan atau dirasakan oleh informan.
Keterlibatan peneliti di dalam kehidupan masyarakat
yang diteliti mungkin dapat dilakukan kalau si peneliti tersebut diterima oleh
masyarakat yang ditelitinya. Salah satu prasyarat untuk dapat diterima oleh
masyarakat yang diteliti adalah kejujuran dalam menjelaskan siapa dirinya, dan
memberikan penjelasan tersebut dengan secara masuk akal.
Selanjutnya dijelaskan bahwa metoda pengamatan
digunakan untuk memperoleh informasi mengenai gejala-gejala yang dalam
kehidupan sehari-hari dapat diamati. Hasil pengamatan biasanya didiskusikan
oleh si peneliti dengan warga masyarakat yang bersangkutan untuk mengetahui
makna yang terdapat dibalik gejala-gejala tersebut. Hasil-hasil pengamatan
biasanya mencakup setting dari
lingkungan hidup, lokasi, dan kondisi fisik dan sosial dari unsur-unsur yang
ada dalam masyarakat tersebut. Selanjutnya menurut Spindler (1982: 6 – 7 dalam
Suparlan 1997: 108 – 110) pedoman umum yang harus diperhatikan dalam
melaksanakan pengamatan terlibat, diantaranya:
a.
Pengamatan-pengamatan yang dilakukan
harus kontekstual. Peristiwa-peristiwa yang signifikan harus dilihat dalam
kerangka hubungan dari setting
(latar) yang sedang diteliti di dalam konteks-konteks yang lebih luas dan yang
terletak di luar setting tersebut.
b.
Hipotesa-hipotesa dan
pertanyaan-pertanyaan penelitian harus muncul sejalan dengan berlangsungnya
penelitian yang dilakukan dan berada dalam setting
untuk diamati. Ketentuan untuk memutuskan yang mana yang signifikan untuk
dipelajari sebaiknya ditunda sampai tahap orientasi dari penelitian lapangan
tersebut telah selesai dilalui.
c.
Pengamatan berlangsung lama dan
berulang-ulang. Rangkaian peristiwa-peristiwa harus diamati lebih dari satu
kali.
d.
Pandangan warga setempat (the native view) yaitu pandangan dari
setiap orang yang terlibat di dalam setting
sosial mengenai kenyataan harus diungkapkan melalui inferensi-inferensi dari
pengamatan dan melalui berbagai bentuk penelitian etnografi: wawancara,
prosedur-prosedur lainnya yang dipilih (termasuk penggunaan sejumlah alat bantu
penelitian), dan bahkan kalau perlu dapat menggunakan kuesioner walaupun harus
dengan secara hati-hati.
Catatan penulis: walaupun hal tersebut
di atas dimaksudkan untuk penelitian etnografi, tetapi menurut penulis berlaku
juga untuk penelitian bidang-bidang studi yang lain, termasuk psikologi.
Selanjutnya menurut Suparlan (1994: 72 - 79) terdapat
bermacam-macam keterlibatan si peneliti dalam pengamatan terlibat, yaitu:
- Keterlibatan pasif. Dalam kegiatan pengamatannya, si peneliti tidak terlibat dalam kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh para pelaku yang diamatinya, dan dia juga tidak melakukan sesuatu bentuk interaksi sosial dengan pelaku atau para pelaku yang diamati. Keterlibatannya dengan para pelaku terwujud dalam bentuk keberadaannya dalam arena kegiatan yang diwujudkan oleh tindakan-tindakan pelakunya.
Contoh. Seorang peneliti yang ingin
mengetahui bagaimana pola tindakan warga Jakarta
untuk memperoleh pelayanan fasilitas yang terbatas ditempat umum. Kasus yang
diamati adalah ditempat penjualan karcis kereta api untuk luar kota di stasiun Gambir. Cara yang
dilakukannya adalah: Dia cukup datang ke stasiun kereta api Gambir, berdiri
diruang tempat adanya loket penjualan karcis untuk luar kota . Di papan pengumuman terdapat
jadual-jadual pemberangkatan masing-masing kereta api dan jam-jam penjualan
karcis. Si peneliti tidak harus ikut berdiri dimuka loket dan membeli karcis
untuk dapat keterangan yang diperlukan. Dengan demikian si peneliti cukup
berdiri terpisah dari orang-orang yang sibuk berusaha memperoleh karcis, tetapi
dia juga tidak betul-betul terpisah dari para pelaku yang diamatinya karena ia
berada dalam arena kegiatan-kegiatan yang sedang diamatinya. Dalam keadaan
demikianlah si peneliti digolongkan sebagai pengamat dengan keterlibatan yang
pasif.
- Keterlibatan
Setengah-setengah. Dalam
kegiatan pengamatannya, si peneliti mengambil suatu kedudukan yang berada
dalam dua hubungan struktural yang berbeda, yaitu antara struktur yang
menjadi wadah bagi kegiatan-kegiatan yang diamatinya dengan struktur
dimana dia sebagian dari dan menjadi pendukungnya. Dalam kedudukan
demikian, peranannya adalah mengimbangi antara peranan yang harus
dimainkan di dalam struktur yang ditelitinya dengan struktur yang dalam mana
dia menjadi salah satu unsurnya.
Contoh. Seorang mahasiswa kriminologi yang hendak mengadakan penelitian
mengenai kehidupan nara
pidana disebuah Lembaga Pemasyarakatan; tidak mungkin untuk dapat mengadakan
pengamatan dengan cara hidup dipenjara sama dengan nara pidana (atau salah satu kategori nara pidana sesuai dengan
masa hukuman dan kejahatan yang telah dilakukannya) lainnya. Pertama, kehidupan sebagai nara
pidana terlalu berat bagi mahasiswa tersebut, karena dalam kehidupan di Lembaga
Pemasyarakatan masih juga terkandung unsur-unsur kekerasan dan kekejaman dalam
segala seginya. Kedua, akan terjadi kesukaran untuk menempatkan
kedudukan si mahasiswa dalam struktur sosial yang berlaku dalam lembaga
tersebut, yang dapat merugikan usaha-usahanya untuk memperoleh
keterangan-keterangan yang diperlukan. Justu dia dikenal sebagai mahasiswa oleh
para nara
pidana itu maka kemungkinan besar dia lebih banyak untuk dapat memperoleh
keterangan yang diperlukan dibandingkan kalau dia betul-betul sebagai nara pidana dalam
kegiatan penelitiannya. Dalam kedudukan sebagai mahasiswa, dalam satu segi dia
“orang luar” lebih banyak “dipercaya” untuk mengamati kegiatan-kegiatan mereka
secara sewajarnya dibandingkan kalau dia berperan sebagai nara pidana atau
sebagai petugas Lembaga Pemasyarakatan. Dalam keadaan demikian dia akan tetap
mempertahankan peranannya sebagai peneliti atau pengamat yang terlibat
setengah-setengah.
- Keterlibatan
Aktif. Dalam kegiatan
pengamatannya, si peneliti ikut mengerjakan apa yang dikerjakan oleh para pelakunya
dalam kehidupan sehari-harinya. Kegiatan-kegiatan tersebut dilakukannya
untuk dapat betul-betul memahami dan merasakan (meng-internalisasikan) kegiatan-kegiatan dalm kehidupan
mereka dan aturan-aturan yang berlaku serta pedoman-pedoman hidup yang
mereka jadikan sandaran pegangan dalam melakukan kegiatan-kegiatan
tersebut.
Contoh. Seorang peneliti yang berusaha untuk membuat etnografi salah satu suku
bangsa terasing di Indonesia ,
yaitu Orang Sakai yang hidup di wilayah Propinsi Riau, telah menggunakan
pengamatan terlibat. Dalam kegiatan penelitiannya, dia hidup/tinggal bersama
dengan Orang Sakai yang ditelitinya ditempat pemukiman mereka. Secara bertahap
dia berusaha untuk dapat memperoleh bahan-bahan keterangan yang diperlukan,
yang antara lain adalah turut aktif mengerjakan kegiatan-kegiatan yang
dilakukan oleh Orang Sakai yang ditelitinya. Misalnya, untuk memperoleh bahan
keterangan mengenai sistem mata pencaharian, khususnya dalam hal ini cara-cara
mereka menjerat hewan hutan, menangkap ikan, dan sebagainya, maka si peneliti
tersebut ikut dalam kegiatan-kegiatan menjerat hewan di hutan, menangkap ikan
(dengn berbagai tekniknya) di sungai, di rawa-rawa dan digenangan air, dan
sebagainya. Dalam kerangka pembicaraan mengenai tahap-tahap kegiatan dalam
penelitian dengan menggunakan metoda pengamatan terlibat, sebenarnya Pengamatan
Keterlibatan Aktif dapat dilihat sebagai satu tahap perantara untuk mencapai
tahap berikutnya yaitu Pengamatan Terlibat Sepenuhnya atau Lengkap.
- Keterlibatan
Penuh atau Lengkap. Pada
waktu si peneliti telah menjadi sebagian dari kehidupan warga masyarakat
yang ditelitinya, artinya dalam kehidupan warga masyarakat tersebut
kehadiran si peneliti dianggap biasa dan kehadirannya dalam
kegiatan-kegiatan para warga telah dianggap sebagai suatu “keharusan”,
maka pada waktu tersebut si peneliti sebenarnya telah mencapai suatu tahap
keterlibatan yang penuh atau lengkap. Dalam keadaan demikian, sebenarnya
kedudukan dan peranan si peneliti telah didefinisikan dalam struktur
sosial yang berlaku, oleh para warga itu sendiri. Sebenarnya tidak mudah
untuk mencapai tahap ini, dan pencapaian tersebut sebagian terbesar
tergantung pada kemampuan si peneliti untuk dapat memanipulasi
kondsi-kondisi yang dipunyainya dalam kaitannya dengan situasi dan kondisi
yang dihadapinya yang bersumber pada situasi penelitiannya. Dalam banyak
hal seorang peneliti yang menggunakan metoda pengamatan terlibat dapat
mencapai tahap ini; yaitu setelah memakan waktu yang cukup lama dalam
hubungan si peneliti dengan warga masyarakat yang bersangkutan dan setelah
warga masyarakat tersebut merasa bahwa si peneliti bukan orang yang
“jahat” bahkan orang-orang yang “baik”.
Berkenaan
dengan tahap pengamatan terlibat yang penuh atau lengkap ini, perlu dicatat
bahwa tidak semua peneliti dengan menggunakan pengamatan terlibat dapat
menggunakan cara teknik pengamatan terlibat penuh atau lengkap. Hal ini
disebabkan oleh adanya kenyataan bahwa tidak semua sasaran penelitian itu
memungkinkan dilakukannya penelitian dengan menggunakan teknik pengamatan
terlibat penuh. Ada
sasaran-sasaran penelitian yang cukup membahayakan (baik dari segi fisik maupun
segi sosial dan kejiwaan) bagi para peneliti yang ingin menggunakan teknik
keterlibatan yang sepenuhnya. Contohnya adalah penelitian terhadap atau mengenai
kehidupan orang homo sek oleh seorang peneliti laki-laki yang tidak
tergolong sebagai orang homo sek; juga penelitian terhadap kehidupan nara pidana Lembaga
Pemasyrakatan (seperti contoh yang telah dikemukakan terdahulu).
Disamping pengamatan terlibat, menurut Suparlan
terdapat 2 (dua) macam pengamatan yang lain, yaitu pengamatan biasa dan
pengamatan terkendali, berikut penjelasannya:
- Pengamatan
Biasa. Metoda ini menggunakan
teknik pengamatan yang mengharuskan si peneliti tidak boleh terlibat dalam
hubungan-hubungan emosi pelaku yang menjadi sasaran penelitiannya. Contoh
penelitian dengan menggunakan metoda pengamatan biasa dengan sasaran
manusia adalah seorang peneliti yang mengamati pola kehidupan para pelawak
yang muncul dipanggung televisi RI. Si peneliti dalam hal ini tidak ada
hubungan apapun dengan para pelaku yang diamatinya. Hal yang sama juga
dapat dilihat pada contoh dimana si peneliti mengamati pola kelakuan para
pejalan kaki di Jalan Salemba Raya (dimuka gedung UI) dari jembatan penyeberangan
yang ada disitu.
Penggunaan metoda pengamatan biasa, biasanya selalu
digunakan untuk mengumpulkan bahan-bahan keterangan yang diperlukan berkenaan
dengan masalah-masalah yang terwujud dari sesuatu peristiwa, gejala-gejala dan
benda, contohnya adalah seorang peneliti yang hendak memperoleh keterangan
berkenaan dengan pengaruh kenaikan harga BBM baru-baru ini terhadap harga beras
dipasaran ibukota Jakarta. Pertama dia harus mengidentifikasi tempat-tempat
dimana beras dijual (pasar biasa, yang dibedakan lagi dalam penjual grosir,
penjual eceran; di warung-warung yang tersebar di kampung-kampung di kota Jakarta ; dan di supermarket-supermarket).
Untuk kemudahan dia menentukan untuk memilih supermarket sebagai sasaran tempat
penjualan beras yang diamati, yang mudah melakukannya karena ada tertera harga
beras dikantong pembungkusnya. Dalam melakukan pengamatannya, dia akan
menentukan jangka waktu pengamatan, ambil contoh misalnya selama tujuh hari
yang dimulai pengamatannya satu hari setelah diumumkannya kenaikan BBM
tersebut. Selama tujuh hari si peneliti cukup mendatangi
supermarket-supermarket yang ada di Jakarta ,
mencatat harga beras sesuai dengan kategori (beras Cianjur kepala, Cianjur
slip, Raja lele, dan lain-lain sebagaimana yang terdapat dijual supermarket-supermarket
tersebut). Dalam kegiatan penelitiannya ini dia sama sekali tidak ada hubungan
emosional ataupun perasaan dengan beras yang diamati harganya.
Dalam pengamatan
biasa, seringkali dalam kegiatan-kegiatan pembuatan peta sesuatu kampung seorang
peneliti juga menggunakan alat yang dapat membantunya untuk melakukan
pengamatan atas gejala-gejala dan benda secara lebih tepat. Alat ini sebenarnya
berfungsi untuk membantu ketajaman penglihatan matanya. Dengan alat ini tidak
ada keterlibatan emosi dan perasaan dengan sasaran pengamatannya.
- Pengamatan
Terkendali. Dalam pengamatan
terkendali, si peneliti juga tidak terlibat hubungan emosi dan perasaan
dengan yang ditelitinya; seperti halnya dengan pengamatan biasa. Yang
membedakan pengamatan biasa dengan pengamatan terkendali adalah para
pelaku yang akan diamati, diseleksi dan kondisi-kondisi yang ada dalam
ruang atau tempat kegiatan pelaku itu diamati dikendalikan oleh si
peneliti. Contohnya, sebuah eksperimen untuk mengukur tingkat ketegangan
jiwa (anxiety) para pelaku pemain catur. Dua orang
pemuda yang umurnya sama, begitu juga latar belakang pendidikan, kondisi
sosial, kebudayaan dan suku bangsanya sama, serta sama-sama belum pernah
bermain catur karena belum mengetahui aturan-aturan dan cara bermainnya
dipilih. Kedua orang ini melalui penataran terbatas, diberi pelajaran
bagaimana bermain catur. Isi pelajaran catur yang diberikan dan waktu
pelajaran adalah sama. Setelah persiapan-persiapan tersebut dianggap
mencukupi, sesuai persyaratan-persyaratan yang dibuat oleh peneliti, maka
kedua orang tersebut lalu disuruh bermain di dalam sebuah ruang kaca yang
tidak tembus penglihatan keluar. Bersamaan dengan itu masing-masing pemain
pada tubuhnya juga ditempeli macam-macam kabel yang berguna untuk mencatat
frekuensi detak jantung, denyut nadi, temperatur tubuh, perkeringatan, dan
hal-hal lain yang diperlukan. Dalam keadaan demikian si peneliti berada di
luar ruang tempat kedua pelaku tersebut bermain catur. Si peneliti
mengamati dan mencatat jalannya permainan (dari tahap pembukaan sampai
dengan akhir permainan), tindakan-tindakan kedua pelaku. Hasil
pengamatannya dan catatan-catatan yang dibuat oleh mesin keduanya
dianalisa sesuai dengan tujuan penelitiannya. Dalam penelitian seperti
ini, si pengamat sama sekali tidak mempunyai hubungan dalam bentuk apapun
selama pengamatan dilakukan dengan para pelaku yang diamatinya.
3. Pengertian Wawancara dan
Kriteria Penyusunan Pertanyaan
a.
Pengertian
wawancara
Menurut Kartono (1980: 171) interview atau wawancara adalah
suatu percakapan yang diarahkan pada suatu masalah tertentu; ini merupakan
proses tanya jawab lisan, dimana dua orang atau lebih berhadap-hadapan secara
fisik.
Dalam proses interview terdapat 2 (dua) pihak dengan
kedudukan yang berbeda. Pihak pertama berfungsi sebagai penanya, disebut pula
sebagai interviewer, sedang pihak
kedua berfungsi sebagai pemberi informasi (Information
supplyer), interviewer atau
informan. Interviewer mengajukan
pertanyaan-pertanyaan, meminta keterangan atau penjelasan, sambil menilai
jawaban-jawabannya. Sekaligus ia mengadakan paraphrase (menyatakan kembali isi
jawaban interviewee dengan kata-kata
lain), mengingat-ingat dan mencatat jawaban-jawaban. Disamping itu dia juga
menggali keterangan-keterangan lebih lanjut dan berusaha melakukan “probing” (rangsangan, dorongan).
Pihak interviewee
diharap mau memberikan keterangan serta penjelasan, dan menjawab semua
pertanyaan yang diajukan kepadanya. Kadang kala ia malahan membalas dengan
mengajukan pertanyaan-pertanyaan pula. Hubungan antara interviewer dengan interviewee
itu disebut sebagai “a face to face
non-reciprocal relation” (relasi muka berhadapan muka yang tidak timbal
balik). Maka interview ini dapat dipandang sebagai metoda pengumpulan data
dengan tanya jawab sepihak, yang dilakukan secara sistematis dan berdasarkan
tujuan research (Kartono, 1980: 171).
Menurut Banister dkk (1994 dalam Poerwandari 1998: 72 - 73)
wawancara adalah percakapan dan tanya jawab yang diarahkan untuk mencapai
tujuan tertentu. Wawancara kualitatif dilakukan bila peneliti bermaksud untuk
memperoleh pengetahuan tentang makna-makna subjektif yang dipahami individu
berkenaan dengan topik yang diteliti, dan bermaksud melakukan eksplorasi
terhadap isu tersebut, suatu hal yang tidak dapat dilakukan melalui pendekatan
lain.
Menurut Denzin & Lincoln (1994: 353) interview merupakan
suatu percakapan, seni tanya jawab dan mendengarkan. Ini bukan merupakan suatu
alat yang netral, pewawancara menciptakan situasi tanya jawab yang nyata. Dalam
situasi ini jawaban-jawaban diberikan. Maka wawancara menghasilkan pemahaman
yang terbentuk oleh situasi berdasarkan peristiwa-peristiwa interaksional yang
khusus. Metoda tersebut dipengaruhi oleh karakteristik individu pewawancara,
termasuk ras, kelas, kesukuan, dan gender. (“The interview is a conversation, the art of asking questions and
listening. It is not neutral tool, for the interviewer creates the reality of
the interview situation. In this situation answers are given. Thus the
interview produces situated understandings grounded in specific interactional
episodes. This method is influenced by the personal characteristies of the
interviewer, including race, class, ethnicity, and gender”).
Menurut Kerlinger (terjemahan Simatupang, 1990: 770 – 771)
wawancara (interview) adalah situasi peran antar-pribadi berhadapan muka (face to face), ketika seseorang –yakni
pewawancara- mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang dirancang untuk memperoleh
jawaban-jawaban yang relevan dengan masalah penelitian, kepada seseorang yang
diwawancarai, atau informan.
Wawancara tak standar bersifat lebih luwes dan terbuka.
Meskipun pertanyaan yang diajukan oleh maksud dan tujuan penelitian, muatannya,
runtunan dan rumusan kata-katanya terserah pada pewawancara. Biasanya tidak
digunakan skedul. Singkatnya wawancara tak standar atau wawancara tak
terstruktur merupakan situasi terbuka yang kontras dengan wawancara standar
atau terstruktur yang tertutup. Ini tidaklah berarti bahwa wawancara tak
standar adalah suatu yang gampang-gampangan saja. Wawancara jenis ini pun
haruslah direncanakan secara cermat sebagaimana halnya wawancara standar. Dalam
hal ini yang kita perhatikan memang hanya wawancara standar. Akan tetapi,
diakui bahwa banyak masalah penelitian sering kali membutuhkan tipe wawancara
kompromi, yakni pewawancara diizinkan untuk menggunakan pertanyaan-pertanyaan
alternatif yang dinilainya cocok untuk responden tertentu dan pertanyaan
tertentu.
Dari penjelasan-penjelasan tersebut dapat disimpulkan
wawancara (interview) merupakan suatu
kegiatan tanya jawab dengan tatap muka (face to face) antara
pewawancara (interviewer) dengan yang diwawancarai (interviewee) tentang masalah yang diteliti, dimana pewawancara bermaksud
memperoleh persepsi, sikap dan pola pikir dari yang diwawancarai yang relevan
dengan masalah yang diteliti. Karena wawancara itu dirancang oleh pewawancara,
maka hasilnya pun dipengaruhi oleh karakteristik pribadi pewawancara.
Wawancara dibedakan
menjadi 2 (dua) yaitu wawancara terstruktur dan wawancara tidak terstruktur.
Terstruktur apabila pertanyaan yang diajukan pewawancara dilakukan secara ketat
sesuai daftar pertanyaan yang telah disiapkan. Tidak terstruktur apabila
pertanyaan yang diajukan bersifat fleksibel tetapi tidak menyimpang dari tujuan
wawancara yang telah ditetapkan.
b.
Wawancara
Mendalam
Dalam wawancara dikenal adanya teknik wawancara mendalam (in depth interview). Berikut akan
disampaikan pandangan Malo yang mengacu pada pandangan para ahli penelitian
kualitatif, yang disampaikan pada Pelatihan Metoda Kualitatif
PAU-IS-Universitas Indonesia 10 Nopember 1998 sebagai berikut:
Pada prinsipnya teknik wawancara merupakan teknik dimana
penelitian dan responden bertatap muka langsung di dalam wawancara yang
dilakukan. Peneliti mengharapkan perolehan informasi dari responden mengenai
suatu masalah yang ditelitinya, yang tidak dapat terungkap melalui penggunaan
teknik kuesioner. Oleh karena itu maka di dalam pelaksanaan wawancara mendalam,
pertanyaan-pertanyaan yang akan dikemukakan kepada responden tidak dapat
dirumuskan secara pasti sebelumnya, melainkan pertanyaan-pertanyaan tersebut
akan banyak bergantung dari kemampuan
dan pengalaman peneliti untuk
mengembangkan pertanyaan-pertanyaan lanjutan sesuai dengan jawaban responden.
Dengan perkataan lain di dalam wawancara mendalam berlangsung suatu diskusi terarah diantara peneliti dan responden
menyangkut masalah yang diteliti. Di dalam diskusi tersebut peneliti harus dapat mengendalikan diri, sehingga
tidak menyimpang jauh dari pokok masalah serta tidak memberikan penilaian mengenai benar atau salahnya pendapat atau
opini responden. Melihat jenis pertanyaan yang digunakan dalam teknik
wawancara mendalam maka jenis pertanyaan yang digunakan adalah pertanyaan terbuka. Dibandingkan dengan
pertanyaan tertutup, jenis pertanyaan terbuka mempunyai kelebihan-kelebihannya
misalnya memungkinkan perolehan variasi jawaban sesuai dengan pemikiran
responden; responden dapat memberikan jawabannya secara lebih terinci serta
responden diberikan kesempatan mengekspresikan caranya dalam menjawab
pertanyaan. Serentak dengan itu terdapat pula kelemahan pertanyaan terbuka,
misalnya: kemungkinan terdapatnya jumlah yang cukup besar dari jawaban yang
tidak relevan serta jawaban responden yang tidak standar atau baku sehingga mempersulit pengolahan data.
Seringkali pula peneliti harus pandai-pandai menanyakan responden untuk
memperoleh jawaban misalnya dengan mempergunakan teknik-teknik probing (mengorek jawaban responden agar
terarah pada tujuan penelitian).
c.
Kriteria
Penulisan Pertanyaan
Menurut Kerlinger (terjemahan Simatupang, 1990: 776 – 778)
berdasarkan pengalaman dalam penelitian telah dikembangkan kriteria atau tata
aturan penulisan pertanyaan. Terdapat 7 (tujuh) hal yang harus diperhatikan
dalam menyusun pertanyaan, sebagai berikut:
1)
Apakah
pertanyaan ini berkaitan dengan masalah penelitian dan sasaran-sasaran
penelitian ? Kecuali pertanyaan-pertanyaan untuk memperoleh informasi
faktual dan sosiologis, semua pertanyaan dalam pedoman wawancara harus
mempunyai fungsi tertentu dalam masalah penelitiannya. Ini berarti bahwa
kegunaan setiap pertanyaan adalah untuk memancing informasi yang dapat
digunakan untuk menguji hipotesis/pertanyaan penelitian.
2)
Tepatkan
tipe pertanyaan ini ? Ada
informasi tertentu yang dapat diperoleh dengan sebik-baiknya bila menggunakan
pertanyaan-pertanyaan terbuka –alasan perilaku, itikad/niat, dan sikap.
Sebaiknya informasi lain tertentu dapat diperoleh dengan lebih cepat dan
efisien bila kita menggunakan pertanyaan tertutup. Jika yang diminta responden
hanyalah menyatakan pilihan yang lebih disukai di antara dua alternatif atau
lebih, sedangkan alternatif-alternatif itu dapat diungkapkan secara jernih,
sungguh tidak efisien bila kita menggunakan pertanyaan terbuka.
3)
Apakah
butir pertanyaan itu jelas dan tidak mengundang tafsir majemuk ? Suatu
pertanyaan yang tidak ambigu adalah yang tidak memungkinkan atau mengundang
tafsir yang berlainan serta jawaban yang berbeda-beda sebagai hasil dari tafsir
majemuk itu. Pertanyaan yang bersifat ambigu apabila pertanyaan itu menyodorkan
2 (dua) kerangka acuan atau lebih. Contoh: “Bagaimana perasaan anda mengenai
pengembangan suatu sistem transit kilat antara pusat kota dengan daerah pemukiman perkotaan, dan
pengembangan kembali wilayah pemukiman di pusat kota ?” Andaikan responden tidak mengalami
kesulitan oleh kerumitan dan alternatif-alternatif yang diajukan oleh
pertanyaan itu, dia tidak akan dapat menjawab dengan menggunakan satu kerangka
pikir dan pemahaman yang sama mengenai apa yang diinginkan oleh penanya.
Ambiguitas dapat pula muncul dalam pertanyaan-pertanyaan yang jauh lebih
sederhana, misalnya: “Bagaimana kehidupan anda bersama keluarga anda tahun ini
?” Ini dapat membingungkan responden untuk menjawab karena tidak jelas hal apa
yang ingin diketahui oleh peneliti, apakah hal keuangan, kebahagiaan,
perkawinan, kesehatan, status atau apa?
4)
Apakah
pertanyaan itu menggiring responden untuk memberikan alternatif jawaban
tertentu? Pertanyaan semacam ini tidak menjamin adanya validitas (untuk
penelitian kualitatif disebut kredibilitas). Misalnya anda membuat pertanyaan:
“Apakah anda telah membaca tulisan-tulisan tentang situasi pendidikan di daerah
ini ?” Anda mungkin akan mendapatkan jawaban “Ya” oleh sebagian besar dari
responden, bila ditujukan kepada sekelompok responden. Mengapa ? Karena
pertanyaan ini mencerminkan tidak baik apabila orang tidak membaca artikel
mengenai situasi pendidikan di daerah itu.
5)
Apakah
pertanyaan ini menuntut pengetahuan dan informasi yang tidak dimiliki oleh
reponden ? Untuk menjaga agar tidak ada jawaban yang tidak valid karena
kurangnya informasi, akan bijaksana apabila kita menggunakan
pertanyaan-pertanyaan saringan. Sebelum responden ditanya pendapatnya tentang
UNESCO, seyogya ditanya lebih dahulu apakah dia mengetahui apa UNESCO itu dan
apa artinya. Terdapat kemungkinan pendekatan lain. Seyogyanya diberikan
penjelasan singkat terlebih dulu tentang UNESCO, baru kemudian responden
diminta pendapatnya tentang UNESCO.
6)
Apakah
pertanyaan ini menuntut ihwal yang bersifat pribadi dan peka sehingga responden
mungkin menolak menjawabnya ?
Diperlukan teknik-teknik khusus untuk memperoleh informasi yang bersifat
pribadi, peka, atau kontroversial. Pertanyaan tentang penghasilan misalnya dan
hal-hal lain yang bersifat pribadi hendaknya diletakkan di bagian belakang
dalam wawancara, yaitu setelah tercapai kedekatan dan keakraban/hubungan yang
baik (rapport) antara pewawancara dengan responden.
Apabila menanyakan sesuatu yang secara sosial tidak disetujui, hendaknya anda
tunjukkan bahwa sebagian orang berpandangan tertentu, sementara orang-orang
lain berpandangan yang sebaliknya. Janganlah sampai membuat responden
menyangkal atau menolak dirinya sendiri.
7) Apakah pertanyaan ini menyiratkan
hal-hal yang dianggap baik atau buruk oleh masyarakat ? Orang cenderung untuk memberikan jawaban
yang sesuai dengan yang dipandang baik oleh umum, jawaban-jawaban yang
menunjukkan atau mencerminkan kesetujuan pada tindakan-tindakan atau hal-hal
yang umumnya dinilai baik. Misalnya menanyakan kepada seseorang mengenai
perasaannya terhadap kanak-kanak. Setiap orang diharap mengasihi anak-anak.
Jika kita tidak hati-hati, kita akan mendapatkan jawaban stereotip atau klise
mengenai anak-anak dan kasih sayang. Juga, jika kita menanyakan apakah
seseorang menggunakan hak pilihnya, kita harus hati-hati karena setiap orang
diharapkan menggunakan hak pilihnya. Begitu pula jika kita menanyakan
kepadaorang tentang reaksinya terhadap kelompok minoritas, kita menghadapi
resiko mendapatkan jawaban yang tidak valid (kredibel). Kebanyakan orang yang
berpendidikan, entah bagaimana sikap mereka yang sesungguhnya, menyadari bahwa
prasangka terhadap minoritas merupakan sesuatu yang tidak dibenarkan.
Demikianlah maka pertanyaan yang baik adalah yang tidak mengarahkan responden
untuk mengungkapkan sentimen-sentimen yang dipandang baik secara sosial belaka.
Sementara itu kitapun hendaknya tidak mengajukan pertanyaan tertentu sehingga
responden terpojok untuk memberikan jawaban yang secara sosial dipandang tidak
baik.
Pengarahan atau
instruksi yang perlu diperhatikan oleh pewawancara (interviewers) meliputi
pedoman-pedoman sebagai berikut:
a. Tidak pernah “terjebak” dalam
penjelasan yang panjang dari studi itu; gunakan penjelasan standar yang diberikan
pengawas. (“Never get involved in
long explanations of the study; use standard explanation provided by
supervisor”).
b. Tidak pernah menyimpang dari
pengantar studi, urutan pertanyaan atau rumusan pertanyaan. (“Never deviate from the study introduction,
sequence of questions, or question wording”).
c. Tidak pernah membiarkan
individu lain melakukan interupsi wawancara, jangan membiarkan individu lain
menjawab untuk responden, atau memberikan saran, atau pandangannya pada
pertanyaan itu. (“Never let another
person interupt the interview; do not let another person answer for the
respondent or offer his or her opinions on the questions”).
d. Tidak pernah menyarankan suatu
jawaban atau setuju atau tidak setuju dengan suatu jawaban. Jangan memberikan
kepada responden suatu ide dari pandangan pribadi anda pada topik dari
pertanyaan atau survey. (“Never
suggest an answer or agree or disagree with an answer. Do not give the
repondent any idea of your personal views on the topic of questions or survey”).
e. Tidak pernah menafsirkan arti
suatu pertanyaan, cukup hanya mengulangi pertanyaan dan memberikan instruksi
atau klarifikasi seperti yang diberikan dalam latihan atau oleh pengawas. (“Never interpret the meaning of a question;
just repeat the questions and give instructions or clarifications that are
provided in training or by supervisors”).
f. Tidak pernah memperbaiki,
seperti menambahkan kategori-kategori jawaban, atau membuat perubahan susunan
kata-kata. (“Never improvise, such
as by adding answer categories, or make wording changes”) (Denzin & Lincoln, 1994: 364).
Daftar
Pertanyaan BAB IV
1.
Jelaskan pengertian Observasi menurut
Kartini Kartono ! Jelaskan pula syarat-syarat agar Observasi dapat menjadi
teknik pengumpulan data dalam penelitian ilmiah !
2.
Bagaimana pandangan Poerwandari tentang
Observasi ?
3.
Menurut Patton, persyaratan apa yang
harus dipenuhi agar observasi menghasilkan data yang akurat ?
4.
Menurut Moleong terdapat beberapa pokok
persoalan dalam membahas observasi, diantaranya Manfaat Pengamatan (observasi),
Macam Pengamatan dan Derajat Pengamat. Jelaskan kedua pokok persoalan tersebut
!
5.
Jelaskan prosedur operasionalisasi
observasi menurut Friedrichs yang disetujui oleh Flick !
6.
Terdapat 7 (tujuh) tahap observasi
menurut Adler dan Adler, Denzin, Spradley dalam Flick (2002: 136). Jelaskan 7
(tujuh) tahap observasi tersebut !
7.
Jelaskan observasi menurut Kerlinger !
8.
Bagaimana perbedaan pengamatan yang
dilakukan sehari-hari dengan pengamatan sebagai cara penelitian ilmiah menurut
Bachtiar ?
9.
Menurut Suparlan agar observasi dapat
memperoleh data yang tepat sesuai tujuan penelitian dan dapat dipertanggung
jawabkan kebenarannya, peneliti hendaknya memperhatikan 8 (delapan) hal.
Jelaskan kedelapan hal tersebut !
10. Dari berbagai pendapat para ahli tentang observasi, bagaimana
kesimpulan yang anda dapat tarik tentang observasi dari pendapat para ahli
tersebut. Jelaskan !
11. Dari pendapat beberapa ahli tentang observasi, dapat ditarik kesimpulan
tentang ciri-ciri observasi. Jelaskan ciri-ciri observasi tersebut !
12. Jelaskan pengertian Pengamatan Terlibat (Participant Observation)
menurut Suparlan !
13. Jorgensen membedakan Pengamatan Terlibat (Participant Observation)
dengan Pengamatan Tidak Terlibat (Non-Participant Observation). Jelaskan
perbedaan tersebut !
14. Menurut Spindler terdapat pedoman umum yang harus diperhatikan
dalam melaksanakan Pengamatan Terlibat. Jelaskan pedoman umum tersebut !
15. Menurut Suparlan terdapat 4 (empat) macam keterlibatan peneliti dalam
Pengamatan Terlibat. Sebutkan dan jelaskan keempat macam keterlibatan dalam
Pengamatan Terlibat !
16. Menurut Suparlan disamping Pengamatan Terlibat terdapat 2 (dua) macam
pengamatan yang lain. Sebutkan dan jelaskan pengamatan lain diluar Pengamatan
Terlibat !
17. Buatlah Pedoman Pengamatan dan Pedoman Pengamatan Terlibat tentang
suatu masalah, dengan mengacu teori yang mendasarinya, serta memperhatikan
syarat-syarat pengamatan sebagai teknik pengumpulan data dalam penelitian
ilmiah, serta perbedaan-perbedaan Pengamatan Biasa dengan Pengamatan Terlibat !
18. Bagaimana pengertian Wawancara (Interview) menurut Kartini
Kartono, jelaskan!
19. Jelaskan menurut Banister masalah yang bagaimana sehingga Wawancara
dipergunakan sebagai teknik pengumpulan data yang tepat dalam penelitian
kualitatif !
20. Terdapat 2 (dua) tipe Wawancara yaitu Wawancara terstruktur dan
Wawancara tak terstruktur !
21. Apa yang dimaksud dengan Wawancara Mendalam (In-depth interview)
? Jelaskan ! Hal-hal apa yang harus diperhatikan oleh peneliti dalam
pelaksanaan Wawancara Mendalam agar dapat tercapai tujuannya ?
22. Menurut Kerlinger terdapat 7 (tujuh) hal yang harus diperhatikan dalam
menyusun pertanyaan dalam melaksanakan Wawancara. Jelaskan 7 (tujuh) hal
tersebut !
23. Menurut Denzin & Lincoln terdapat 6 (enam) pengarahan (instruksi)
yang harus diperhatikan oleh pewawancara (interview) dalam melaksanakan
Wawancara. Jelaskan 6 (enam) instruksi tersebut !
24. Buatlah Pedoman Wawancara tentang suatu masalah, dengan mengacu teori
yang mendasari masalah tersebut, dan memperhatikan 7 (tujuh) hal yang harus
diperhatikan menurut Kerlinger, serta 6 (enam) pengarahan/instruksi yang
dikemukakan oleh Denzin & Lincoln !
BAB V
GROUNDED THEORY DAN
PENGODEAN (CODING)
1. PENGERTIAN DAN CIRI-CIRI GROUNDED THEORY
a.
Pengertian Grounded Theory
Penjelasan
Creswell (1995:…) tentang grounded theory adalah sebagai berikut: “In
this approach, researchers are responsible for developing other theories that
emerge from observing a group. The theories are “grounded” in the group’s
observable experiences, but researchers add their own insight into why those
experiences exist. In essence, grounded theory attempts to “reach a theory or
conceptual understanding through stepwise, inductive process.”
Intinya: “Dalam pendekatan ini,
peneliti bertanggung jawab untuk mengembangkan teori-teori lain yang muncul
dari pengamatan terhadap suatu kelompok. Teori-teori itu bersifat “grounded”
dalam pengalaman-pengalaman kelompok yang diamati; tetapi peneliti menambahkan
pemahamannya sendiri ke dalam pengalaman-pengalaman itu. Esensinya, grounded
theory berusaha mencapai suatu teori atau pemahaman konseptual melalui
proses bertahap dan induktif.”
Tentang tujuan
dan perspektif grounded theory, Creswell menjelaskan: – “The phrase
“grounded theory” refers to a theory that is develop inductively from a corpus
of data. If done well, this means that the resulting theory at least fit one
dataset perfectly. This contrasts with theory derived deductively from grand
theory, without the help of data.”
– “Grounded theory takes a case rather than
variable perspective, although the distinction is nearly impossible to draw.
This means in part that the researcher takes different cases to be wholes, in
which the variable interact as a unit to produce certain outcomes. A
case-oriented perspective tends to assume that variables interact in complex
ways, and is suspicious of simple additive models, such as ANOVA with main
effects only.”
Intinya: – Grounded
theory mengacu pada teori yang dikembangkan secara induktif dari data.
Apabila grounded theory dilakukan dengan baik teori yang dihasilakn cocok
dengan data. Teori ini berbeda dengan teori yang dihasilkan secara deduktif
dari grand theory, tanpa bantuan data.
– Grouded theory lebih
mengambil perspektif studi kasus daripada perspektif variabel, meskipun
pembedaan ini hampir tidak dapat dibuat. Hal ini untuk sebagian berarti
peneliti mempelajari kasus untuk menjadi keseluruhan, di dalamnya
variabel-variabel berinteraksi sebagai unit untuk membuahkan hasil-hasil
tertentu. Perspektif orientasi kasus cenderung mengasumsikan bahwa
variabel-variabel berinteraksi secara kompleks, dan curiga dengan model-model
aditif seperti ANOVA dengan hanya akibat utama saja.
Selanjutnya,
penjelasan lanjutan tentang tujuan dan perspektif grounded theory
sebagai berikut: “Although not part of the grounded theory rhetoric, it is
apparent that grounded theorists are concerned with or largerly influenced by
emic understandings of the world: they use categories drawn from respondents
themselves and tend to focus on making implicit belief systems explicit.”
Intinya: “Meskipun bukan bagian
dari retorika grounded theory, jelaslah bahwa teoretikus-teoretikus grounded
theory memperhatikan atau dipengaruhi secara luas oleh pemahaman-pemahaman
emik tentang dunia, mereka menggunakan kategori-kategori dari responden mereka
sendiri, dan cenderung memfokuskan pada penyusunan sistem kepercayaan implisit
menjadi eksplisit.”
Menurut Strauss dan Corbin (1990: 23) grounded theory:
“is one that inductively derived from the study of the phenomenon it
represents. That is it discovered, develoved, and provisionally verified
through systematic data collection and analysis data pertaining to that
phenomenon. Therefore, data collection, analysis, and theory stand in
reciprocal relationship with each other. One does not begin with a theory, than
prove it. Rather, one begins with an area of study and what is relevant to that
area is allowed to emerge”.
Kutipan
tersebut mempunyai arti: grounded theory adalah teori yang diperoleh
dari hasil pemikiran induktif dalam suatu penelitian tentang fenomena yang ada.
Grounded theory ini ditemukan, dikembangkan dan dibuktikan melalui
pengumpulan data secara sistematis dan analisis data yang terkait dengan
fenomena tersebut. Oleh karena itu kumpulan data, analisis dan teori saling
mempengaruhi satu sama lain. Peneliti tidak mulai dengan suatu teori kemudian
membuktikannya, tetapi memulai dengan melakukan penelitian dalam suatu bidang,
kemudian apa yang relevan dengan bidang tersebut dianalisis.
Selanjutnya menurut Strauss dan Corbin (1990: 23) terdapat 4
(empat) kriteria utama untuk menilai apakah suatu grounded theory
dibangun dengan baik. Empat kriteria tersebut adalah: 1) kecocokan (fit),
2) dipahami (understanding), 3) berlaku umum (generality), 4) dan
pengawasan (controll).
Dikatakan cocok (fit) apabila suatu teori itu tepat
untuk kenyataan sehari-hari dari bidang yang benar-benar diteliti, dan cermat
diterapkan untuk bermacam-macam data. Bila demikian itu berarti cocok (fit)
untuk bidang yang benar-benar diteliti. Hal ini seperti dijelaskan oleh Strauss
dan Corbin sebagai berikut: “If theory is faithful to the everyday reality
of substansive area and carefully induced from diverse data, then it should fit
that substansive area”.
Dikatakan dipahami (understanding) apabila grounded
theory menggambarkan kenyataan (realitas), ini juga berarti bersifat
komprehensif dan dapat dipahami baik oleh individu-individu yang diteliti
maupun oleh peneliti pada waktu melaksanakan studi dilapangan. Hal ini seperti
yang dijelaskan oleh Strauss dan Corbin sebagai berikut: “Because it represents
that reality, it should also be comprehensible and make sense both to the
persons who were studied and those practicing in the area”.
Dikatakan berlaku umum (generality) jika data yang
menjadi dasar grounded theory itu komprehensif dan interpretasi-interpretasinya
bersifat konseptual dan luas, maka grounded theory itu menjadi cukup
abstrak dan mencakup variasi-variasi yang memadai sehingga mampu diaplikasikan
untuk beragam konteks yang berkaitan dengan fenomena yang diteliti. Dengan
demikian teori itu berlaku umum (generality). Hal ini seperti yang
dijelaskan Strauss dan Corbin sebagai berikut: “If the data upon which it is
based are comprehensive and the interpretation conceptual and broad, then the
theory should be abstract enough and include sufficient variation to make it
applicable to a variety of contexts related to that phenomenon”.
Dikatakan pengawasan (controll) karena grounded
theory memberikan pengawasan berkenaan dengan kegiatan-kegiatan yang
mengarah pada fenomena. Hal ini disebabkan karena hipotesis-hipotesis yang
mengajukan hubungan antar konsep - yang selanjutnya dapat digunakan sebagai
pembimbing penelitian – secara sistematik diambil dari data aktual yang
berhubungan hanya pada fenomena. Hal ini seperti dijelaskan Strauss dan Corbin
sebagai berikut: “Finally, the theory should provide controll with regard to
action toward the phenomenon. This is because the hyphotheses proposing
relationship among concepts – which later way be used to guide action – are
systematically derived from actual data related to that (and only that)
phenomenon”.
Mengenai pendekatan yang digunakan dalam grounded theory dijelaskan
oleh Strauss dan Corbin sebagai berikut: “Grounded theory adalah suatu
penelitian kualitatif yang menggunakan seperangkat prosedur yang sistematis
untuk menyusun secara induktif teori tentang suatu fenomena. Penelitian
tersebut akan menghasilkan rumusan teoritis tentang suatu realitas, yang
terdiri dari sejumlah atau sekelompok tema-tema yang mempunyai kaitan secara
tidak ketat. Melalui cara ini, konsep dan hubungan tema-tema tersebut tidak
hanya dapat diberlakukan secara umum, tetapi juga diuji sementara”. Hal ini
seperti yang dijelaskan oleh Strauss dan Corbin sebagai berikut: “The
grounded theory approach is a qualitative research method that uses a
systematic set a procedures to develop an inductively derived grounded theory
about a phenomenon. The research findings constitute a theoritical formulation
of the reality under investigation, rather than consist of a set of number, or
a group of loosely related themes.
Through this metodology, the concepts and relationships among them are not only
generated but they are also provisionally tested. The procedures of the
approach are many and rather specific, as you will see”.
Sedang tujuan dari grounded theory adalah menyusun
teori yang tepat dan memberi gambaran yang jelas tentang bidang yang diteliti.
Peneliti-peneliti bekerja dalam tradisi yang demikian, dan berharap teori yang
mereka bangun dapat dikaitkan dengan teori-teori lain dalam disiplin
masing-masing dan implikasinya dapat berguna dalam penerapannya. Hal ini
seperti yang dijelaskan Strauss dan Corbin sebagai berikut: “The purpose of
grounded theory method is, of course, to build theory that is faithful to add
illuminates the area under study. Researchers working in this tradition also
hope that their theories will ultimately be related to others within their
respective disiplines in a cumulative fashion, and that the theory’s implications will have useful application”.
Untuk melakukan penelitian grounded theory diperlukan
adanya kepekaan teori (theoretical sensitivity). Bahkan kepekaan teori
sering diasosiasikan dengan grounded theory (Theoretical sensitivity
is a term frequently associated with grounded theory) (Strauss dan Corbin,
1990: 41). “Kepekaan teori mengacu kualitas pribadi dari seorang peneliti. Ini
diindikasikan adanya suatu kesadaran terhadap kehalusan makna (subtleties)
dari data. Seseorang sampai pada suatu situasi penelitian dengan bermacam-macam
tingkat kepekaan, dan hal ini tergantung dari apa yang dipelajari sebelumnya
dan pengalaman yang relevan dengan suatu bidang. Hal ini juga dapat
dikembangkan lebih jauh selama proses penelitian. Kepekaan teoritis mengacu
pada sifat pemahaman yang dimiliki, kemampuan memberi makna pada data,
kemampuan untuk memahami, kemampuan memisahkan hal yang berkaitan dari hal-hal
yang tidak berkaitan. Ini semua dilakukan dengan istilah-istilah konseptual
lebih dari istilah-istilah kongkret. Kepekaan teori memampukan seseorang
mengembangkan sesuatu menjadi teori dari dasar, dikonseptualisasikan secara
mantap dan terintegrasi secara baik ……”. Hal ini seperti dijelaskan Strauss dan
Corbin sebagai berikut: “Theoretical sensitivity refers to a personal
quality of the researcher. It indicates an awareness of the subleties of
meaning of data. One can came to the research situation with varying degrees of
sensitivity depending upon previous reading and experience with or relevant to
an area. It can also be developed further during the research process.
Theoretical sensitivity refers to the attribute of having insight, the ability
to give meaning to data, the capacity to understand, and capability to separate
the partinent from that which isn’t. All this is done in conceptual rather than
concrete terms. It is theoretical sensitivity that allows one to develop a
theory that is grounded conceptually dense, and well integrated....(Strauss
& Corbin, 1990: 41 – 42)”.
Selanjutnya dijelaskan bahwa kepekaan teoretik berasal dari
sejumlah sumber. Salah satu sumber adalah literatur yang meliputi: bacaan
teori, penelitian dan berbagai macam dokumen (misalnya biografi publikasi
tentang pemerintahan). Dengan dimilikinya keakraban dengan publikasi-publikasi
tersebut, akan dimiliki latar belakang informasi yang kaya dan sensitif
terhadap kejadian dalam fenomena yang sedang dipelajari. Hal ini seperti
dijelaskan Strauss dan Corbin sebagai berikut: “Theoretical sensitivity
comes from a number of sources. Once sources is literature, which include
readings on theory, research and document (e.q biographies, government
publications) of various kinds. By having some familiarity with these
publications, you have a rich background og information that “sensitizes” you
to what is going on with the phenomenon you are studying”.
Dari penjelasan-penjelasan tersebut di atas dapat ditarik
kesimpulan bahwa grounded theory adalah suatu yang bersifat
konseptual atau teori sebagai hasil pemikiran induktif dari data yang
dihasilkan dalam penelitian mengenai suatu fenomena. Atau suatu teori yang
dibangun dari data suatu fenomena dan dianalisis secara induktif, bukan hasil
pengujian teori yang telah ada. Untuk menganalisis data secara induktif
diperlukan kepekaan teori (theoretical sensitivity).
Agar hasil analisis secara induktif terhadap data fenomena
tersebut dapat dikatakan sebagai grounded theory harus memenuhi 4
(empat) kriteria sebagai berikut: 1) cocok (fit) yaitu apabila teori
yang dihasikan cocok dengan kenyataan sehari-hari sesuai bidang yang diteliti,
2) dipahami (understanding) yaitu apabila teori yang dihasilkan
menggambarkan realitas (kenyataan) dan bersifat komprehensif, sehingga dapat
dipahami oleh individu-individu yang diteliti maupun oleh peneliti, 3) berlaku
umum (generality) yaitu apabila teori yang dihasilkan meliputi berbagai
bidang yang bervariasi sehingga dapat diterapkan pada fenomena dalam konteks
yang bermacam-macam, 4)
pengendalian (controll) yaitu apabila teori yang dihasilkan mengandung
hipotesis-hipotesis yang dapat digunakan dalam kegiatan membimbing secara
sistematik untuk mengambil data aktual yang hanya berhubungan dengan fenomena
terkait.
- Ciri-ciri Grounded theory
Dari penjelasan-penjelasan Strauss dan Corbin tentang grounded
theory tersebut di atas juga dapat ditarik kesimpulan tentang ciri-ciri grounded
theory sebagai berikut:
1)
Grounded theory dibangun dari data
tentang suatu fenomena, bukan suatu hasil pengembangan teori yang sudah ada.
2)
Penyusunan teori tersebut dilakukan
dengan analisis data secara induktif bukan secara deduktif seperti analisis
data yang dilakukan pada penelitian kuantitatif.
3)
Agar penyusunan teori menghasilkan teori
yang benar disamping harus dipenuhi 4 (empat) kriteria yaitu: cocok (fit),
dipahami (understanding), berlaku umum (generality), pengawasan (controll),
juga diperlukan dimilikinya kepekaan teoretik (theoretical sensitivity)
dari si peneliti. Kepekaan teori adalah kualitas pribadi si peneliti yang
memiliki pengetahuan yang mendalam sesuai bidang yang diteliti, mempunyai
pengalaman penelitian dalam bidang yang relevan. Dengan pengetahuan dan
pengalamannya tersebut si peneliti akan mampu memberi makna terhadap data dari
suatu fenomena atau kejadian dan peristiwa yang dilihat dan didengar selama
pengumpulan data. Selanjutnya si peneliti mampu menyusun kerangka teori
berdasarkan hasil analisis induktif yang telah dilakukan. Setelah dibandingkan
dengan teori-teori lain dapat disusun teori baru.
4)
Kemampuan peneliti untuk memberi makna
terhadap data sangat diperngaruhi oleh kedalaman pengetahuan teoretik,
pengalaman dan penelitian dari bidang yang relevan dan banyaknya literatur yang
dibaca. Hal-hal tersebut menyebabkan si peneliti memiliki informasi yang kaya
dan peka atau sensitif terhadap kejadian-kejadian dan peristiwa-peristiwa dalam
fenomena yang diteliti.
2. PENGODEAN (CODING)
a. Pendahuluan
Manfaat coding adalah untuk merinci, menyusun konsep (conceptualized)
dan membahas kembali semuanya itu dengan cara baru. Ini merupakan cara yang
terkendali dimana teori dibangun dari data. Konseptualisasi atau membangun konsep
atau teori berdasarkan data ini merupakan hal yang sangat khusus dari proses coding
dalam mengembangkan suatu grounded theory. Hal ini juga membuat berbeda
dari analisis-analisis lain seperti yang telah dikemukakan dalam bab
pendahuluan. Perbedaan tersebut merupakan upaya memperluas cara yang
memungkinkan peneliti mendapatkan beberapa tema atau mengembangkan deskripsi
kerangka teoritis yang terkait dengan konsep-konsep.
Menurut Strauss dan Corbin (1990: 57) prosedur analisis dalam
grounded theory dirancang sebagai berikut:
a)
Membangun teori lebih dari sekedar
menguji pada teori (“Build rather than only tes theory”).
b)
Memberikan proses penelitian suatu
kepastian/keketatan yang diperlukan untuk membuat teori menjadi ilmu
pengetahuan “yang baik” (“Give the research process the rigor necessary to
make the theory “good” science”).
c)
Membantu penganalisaan yang bebas dari
bias-bias dan asumsi-asumsi yang terbawa, dan yang dapat berkembang selama
proses penelitian berlangsung (“Help the analysist to break through the biases
and assumptions brought to, and that can develop during the research process”).
d)
Memberikan dasar atau alas (grounding),
membangun keterpaduan, dan mengembangkan kepekaan dan integrasi yang dibutuhkan
untuk menghasilkan teori yang kaya, tersusun secara ketat (tightly woven),
eksploratoris yang lebih mendekati kenyataan/realitas yang ada (“Provide the
grounding, build the density, and develop the sensitivity and integration
needed to generate a rich, tightly woven, explanatory theory that closely approximates
the reality it represents”).
Menurut Strauss dan Corbin terdapat 3 (tiga) macam/jenis
proses analisis data (coding) yaitu Open Coding, Axial Coding,
dan Selective Coding. Agar teori yang dibangun berdasarkan data itu
tidak salah, ketiga macam coding tersebut harus dilakukan secara
simultan dalam penelitian.
1)
Open Coding: adalah proses
merinci, menguji, membandingkan, konseptualisasi, dan melakukan kategorisasi
data (The process of breaking down, examining, comparing, conceptualizing,
and categorizing data).
2)
Axial Coding: adalah suatu
perangkat prosedur dimana data dikumpulkan kembali bersama dengan cara baru
setelah open coding, dengan membuat kaitan antara kategori-kategori. Ini
dilakukan dengan memanfaatkan landasan berpikir (paradigma) coding yang
meliputi kondisi-kondisi, konteks-konteks, aksi strategi-strategi interaksi dan
konsekuensi-konsekuensi. (Axial Coding: A set of procedures where by data
are put back together in new ways after open coding, by making connections
between categories. This is done by utilizing a coding paradigm involving
conditions, context, action/interactional strategies and
consequenses-consequenses).
3)
Selective Coding: adalah proses
seleksi kategori inti, menghubungkan secara sistematis ke kategori-kategori
lain, melakukan validasi hubungan-hubungan tersebut, dan dimasukkan ke dalam
kategori-kategori yang diperlukan lebih lanjut untuk perbaikan dan
pengembangan. (Selective Coding: The process of selecting the core category,
systematically relating it to other categories, validating those relationships,
and filling in categories that need futher refinement and development).
Dalam Bab IV terdahulu telah
disinggung serba sedikit tentang prosedur pengodean (coding) dan adanya
3 (tiga) macam coding. Dalam Bab V berikut ini prosedur coding
dan 3 (tiga) macam coding akan diuraikan lebih rinci, dan dalam
uraian-uraian selanjutnya kata yang digunakan adalah coding. Namun
sebelum uraian tentang prosedur dan macam-macam coding, akan diuraikan
lebih dulu mengapa coding dalam penelitian kualitatif sangat penting.
b. Kata-kata Lebih Padat Makna Dibandingkan Angka-angka
Miles &
Huberman (1992: 86 – 87) menyatakan pendapat yang intinya dapat dikemukakan
sebagai berikut: Dalam penelitian kualitatif data dan analisis data berupa
kata-kata, bukan angka-angka. Kata-kata lebih padat makna yang terkandung,
tetapi sering memiliki makna ganda. Hal ini menyebabkan sulit untuk bekerja
dengan kata-kata. Seperti kata “board” (bahasa Inggris) dapat diartikan dewan
yaitu badan yang dapat membuat keputusan, tetapi dapat juga berarti selembar
papan kayu. Sebaliknya angka-angka lebih cepat diproses untuk mendapatkan
maknanya. Oleh karena itu tidak mengherankan apabila kebanyakan peneliti lebih
senang bekerja dengan angka-angka, atau kata-kata yang dikumpulkan, segera
diubah dalam bentuk angka-angka. Apabila hanya memfokuskan semata-mata pada
angka-angka, perhatian akan bergeser dari substansi kepada hitungan, dengan
demikian akan kehilangan keseluruhan makna kualitatifnya. Menurut Miles &
Huberman selanjutnya apabila angka-angka yang berasal dari kata-kata menjadi
tidak bermakna, biasanya tidak ada cara yang sangat memuaskan untuk membuat
lebih dimengerti kecuali kembali pada angka-angka. Menurut Miles & Huberman
pemecahan atas masalah ini adalah tetap menggunakan angka-angka dan kata-kata
secara bersama dalam melakukan analisis data dalam penelitian kualitatif.
Perlu
diperhatikan bahwa angka-angka yang dimaksudkan oleh Miles & Huberman
tersebut bukan berarti angka-angka hasil analisis statistik atau skor dari data
yang dikumpulkan agar dapat dilakukan analisis statistik, melainkan angka-angka
dalam rangka melakukan coding.
Sedang
menurut penulis kata-kata dalam rangka membuat coding (berarti melakukan
analisis data) harus dikaitkan dengan konsep yang mengandung makna tertentu.
Suatu konsep mengakomodasikan beberapa kata, misalnya konsep manajemen
mengakomodasikan kata merencanakan, mengatur, melaksanakan, mengawasi, memberi
perintah dan lain-lain. Konsep ini selanjutnya diperlukan guna menyusun
kategori-kategori, yang selanjutnya dari kategori-kategori tersebut dapat
disusun atau dirumuskan ciri-ciri. Dalam konteks penelitian grounded,
dari ciri-ciri kemudian ciri-ciri tersebut dapat diletakkan dalam garis
dimensinya, yang selanjutnya dapat dirumuskan grounded theory setelah
beberapa tahap yang lain dilakukan. Jelaslah disini dengan kata-kata lebih
mudah untuk dikaitkan dengan konsep yang mengandung makna. Atau dengan kata
lain kata-kata lebih padat makna dibandingkan dengan angka-angka.
c. Pengertian dan Prosedur Coding
a)
Pengertian Coding
Coding
pada dasarnya merupakan proses analisis data, yaitu data dirinci,
dikonseptualisasikan dan diletakkan kembali bersama-sama dalam cara baru. Ini
merupakan proses sentral dimana teori-teori dibentuk dari data (….data are
broken down, conceptualized, and put back together in new ways. It is the
central process by which theories are built from data”) (Strauss and
Corbin, 1990: 57).
b)
Prosedur Coding
Apa yang menjadikan proses coding
sedemikian menarik dalam pengembangan grounded theory ? Apa yang
membuatnya berbeda dari metoda-metoda analisis yang lain ? Yaitu bahwa metoda
ini mempunyai tujuan yang lebih luas, tidak hanya memungkinkan peneliti
memberikan beberapa tema, atau mengembangkan kerangka kerja deskriptif yang
teoritis berdasarkan konsep-konsep yang terjalin secara longgar. Prosedur
analisis grounded theory juga dirancang untuk:
1)
Membangun teori,
bukan sekedar melakukan pengujian pada teori (“Build rather than only test
theory”).
2)
Memberikan suatu
kepastian/ketepatan yang diperlukan dalam proses penelitian untuk membangun
teori ilmu pengetahuan yang lebih baik (“Give the research process the rigor
necessary to make the theory “good” science”).
3)
Membantu analis
mengatasi bias-bias dan asumsi yang terbawa dan dapat berkembang selama penelitian
(“Help the analysist to break through the biases and assumptions brought to,
and that can develop during the research process”).
4)
Memberikan dasar (grounding),
membangun kepadatan makna (density), dan mengembangkan kepekaan dan
integrasi yang diperlukan untuk menghasilkan teori yang jelas, kaya, terjalin
dengan ketat, yang sangat mendekati realitas yang diwakilinya. (“Provide the
sensitivity and integration needed to generate rich, tightly woven, explanatory
theory that closely approximates the reality it presents”) (Strauss and
Corbin, 1990: 57).
Untuk
mencapai tujuan atau maksud tersebut diperlukan adanya keseimbangan antara
kreativitas, ketepatan (rigor), ketekunan dan kepekaan teoritik (theoretical
sensitivity). Ini merupakan kombinasi beberapa kualitas yang tidak mudah,
namun semuanya itu jelas diperlukan kapan pun penelitian dilakukan. Meskipun
biasanya tidak dapat diharapkan bahwa peneliti pemula dapat menghasilkan temuan
besar, tetapi dengan usaha keras dan ketekunan peneliti akan mampu memberikan
kontribusi pada bidang kajiannya.
Analisis
dalam grounded theory terdiri atas 3 (tiga) tipe utama coding,
yaitu: a) pengodean terbuka (open coding), b) pengodean aksial (axial
coding), c) pengodean
selektif (selective coding).
Sebelum diuraikan
lebih lanjut apa itu pengodean, terdapat 4 (empat) hal penting yang harus
diketahui, yaitu:
1)
Melakukan analisis
sesungguhnya adalah membuat interpretasi. Ada alasan yang bagus untuk itu,
seperti yang dikemukakan oleh Diesing (1971: 14) seorang filsuf ilmu
pengetahuan: “Sesungguhnya ilmu pengetahuan ilmiah sebagian besar merupakan
penemuan atau pengembangan, bukan peniruan; konsep, hipotesis, dan teori tidak
ditemukan dalam keadaan sudah dibuat oleh kenyataan tetapi harus dibangun”. (Doing
analysis is, in fact, making interpretations and there is good reason for this.
As Diesing (1971: 14), a philosopher of science says: “Actually scientific
knowledge is in large part invention or development rather than an imitation;
concepts, hypotheses, and theories are not found ready-made in reality but must
be constructed”).
2)
Walaupun ditetapkan
prosedur dan teknik tetapi sama sekali tidak dimaksudkan agar peneliti hanya
terpaku pada prosedur dan teknik tersebut. Diesing (1971: 14) mengemukakan:
“Prosedur tidak bersifat mekanistis atau otomatis, bukan pula sebuah algoritma
yang dijamin dapat memberikan hasil. Prosedur dan teknik hanya diterapkan
secara fleksibel menurut situasi, dan berbagai alternatif tersedia dalam tiap
langkah” (The second is that while we set these procedures and techniques
before you, we do not at all wish to imply rigid adherence to them. Again to
quote Diesing (1971: 14) “The procedure are not mechanical or automatic, nor do
they constitute an algorithm quaranted to give results. They are rather to be
applied flexibly according to circumstances; their order may vary and
alternatives are available at every step”).
3)
Teknik umum yang
merupakan inti dari semua prosedur pengodean untuk membantu penggunaan prosedur
agar menjadi fleksibel adalah pengajuan pertanyaan. Peneliti harus
mengajukan pertanyaan selama melakukan penelitian. Agar fenomena dapat dipahami
dengan baik, peneliti dituntut mengajukan banyak pertanyaan, berkaitan dengan
fenomena yang sedang dikaji, termasuk ciri-ciri, dimensi, dan komponen-komponen
paradigma fenomena tersebut. (“In fact, one general technique that is
central to all coding procedures and that help to ensure your flexible use of
those procedur is the asking questions. You should be asking questions all
along the course of your research project. As you read the next chapters, you
will see so many questions being asked about the phenomena under study, and
about their various properties, dimensions, paradigm components, and so forth,
that is some reasons you wishes to keep track of them you would be hard pressed
to do so ……”).
Catatan penulis: pertanyaan penelitian dalam
penelitian kualitatif tidak hanya digunakan dalam upaya mendapatkan pemahaman
yang mendalam dari permasalahan yang diteliti, tetapi dalam konteks grounded
theory, pertanyaan digunakan dalam rangka menemukan konsep-konsep yang sama
guna penyusunan kategori-kategori, menemukan ciri-ciri yang sama guna
penyusunan dimensi-dimensi sebagai dasar-dasar penyusunan teori.
4) Sangat
disarankan untuk mempelajari semua prosedur pengodean secara lebih rinci.
Setiap prosedur harus dimengerti sebelum menuju proses selanjutnya, dengan
demikian dimiliki pemahaman yang lebih baik. Apabila prosedur ini dipahami dan
dipraktekkan dengan baik, maka pengodean itu akan menjadi alat penelitian yang
benar-benar efektif. (“We strongly recommend that after reading the chapters
on coding (rapidly if you wish), that then you study each in great detail.
These chapters (5 – 10) cover basic analytic procedures and their logic. Each
procedure must be understood before proceeding to the next, otherwise your
overall understanding of them will be less secure than you would wish. Once
grasped and practiced they become really effective research tools”).
d. Pengodean
Terbuka (Open Coding)
a) Istilah-istilah yang akan
digunakan
Sebelum diuraikan tentang seluk beluk
pengodean terbuka, akan diuraikan lebih dulu pengertian pengodean terbuka, dan
beberapa istilah yang akan dipergunakan dalam penjelasan pengodean terbuka,
yaitu:
1)
Konsep; merupakan label konseptual yang diberikan pada kejadian-kejadian,
peristiwa-peristiwa yang berlainan, dan hal-hal lain fenomena lainnya. (“Concepts;
conceptual labels placed on discrete happenings, events, and other instances of
fenomena”).
2)
Kategori; merupakan klasifikasi konsep. Klasifikasi ini dibuat pada waktu
konsep-konsep diperbandingkan satu dengan yang lain yang terkait dengan
fenomena yang sama. Kemudian konsep-konsep tersebut dikelompokkan secara
bersama-sama dalam suatu tingkat yang lebih tinggi, yaitu konsep yang lebih abstrak
yang disebut kategori. (“Category: A classification of concepts. This
classification is discovered when concepts are compared one against another and
appear to pertain to similar phenomenon. Thus the concepts are grouped together
under the higher order, more abstract concept called a category”).
3)
Pengodean: proses analisis data. (“The process of analyzing data”).
4)
Pencatatan kode: hasil pengodean. Ini merupakan sebuah bentuk memo. (“Code Notes;
The products of coding. These are one type of memo”).
5)
Pengodean
terbuka: proses perincian, pengujian, perbandingan,
pengonsepan dan pengkategorian data. (“Open Coding; The process of breaking
down, examining, comparing, conceptualizing and categorizing data”).
6)
Ciri-ciri: atribut atau karakteristik yang berkenaan dengan suatu kategori. (“Properties;
attributes or characteristics pertaining to a category”).
7)
Dimensi: lokasi ciri sepanjang suatu garis kontinum. (“Dimensions; Location
of properties along a continum”).
8)
Dimensionalisasi: proses perincian karakteristik ke dalam dimensi-dimensinya. (“Dimensionalizing;
The process of breaking a property down into its dimensions”). (Strauss
& Corbin, 1990: 61).
Dalam uraian selanjutnya akan
dikemukakan contoh konkret bagaimana melakukan pelabelan, penyusunan dan
penamaan kategori, pengembangan kategori menurut ciri dan dimensi.
b) Pelabelan Fenomena
Strauss & Corbin memberikan
contoh tentang pelabelan fenomena sebagai berikut:
Anda berada dalam sebuah restoran
yang cukup mahal tetapi populer. Restoran tersebut terdiri dari bangunan
bertingkat tiga. Tingkat pertama untuk bar, tingkat dua untuk ruang makan
kecil-kecil, tingkat tiga untuk ruang makan utama dan dapur. Dapur tersebut
terbuka, sehingga anda dapat melihat apa saja yang sedang terjadi. Anda melihat
ada seorang wanita berpakaian merah. Ia hanya berdiri di dapur, tetapi menurut
akal sehat tidak mungkin pemilik restoran menggaji seseorang hanya untuk
berdiri. Rasa ingin tahu anda terusik, dan anda memutuskan untuk melakukan
analisis induktif untuk mencari tahu apa sesungguhnya pekerjaan wanita
tersebut.
Anda memperhatikan bahwa wanita
tersebut sedang memperhatikan secara serius sekeliling dapur, juga tempat para
juru masak (koki) bekerja dan wanita tersebut juga memperhatikan secara seksama
apa yang sedang terjadi. Lalu anda memberikan label “memperhatikan” (“watching”).
Selanjutnya datang seseorang padanya dan mengajukan pertanyaan, dan wanita
berbaju merah tadi menjawab. Anda memberi label “penyampaian informasi” (“information
passing”). Wanita tersebut tampak memperhatikan segala sesuatu yang ada di
dapur dan diruang makan lalu anda memberikan label “pemerhati” (“attentiveness”).
Wanita berbaju merah tadi berjalan dan memberi tahu seseorang petugas yang
membawa makanan sehingga anda memberi label “penyampaian informasi” (“information
passing”). Walaupun ia berdiri ditengah-tengah kegiatan para pekerja, ia
tidak tampak melakukan intervensi misalnya mengambil alih pekerjaan dari para
pekerja, sehingga anda memberi label “tidak mengintervensi” (“unintrusiveness”).
Selanjutnya wanita tersebut berjalan memperhatikan setiap orang dan segala
sesuatu, sehingga anda memberi label “memonitor” (“monitoring”).
Kelihatannya ia memperhatikan kualitas pelayanan, memperhatikan
bagaimana pelayan berinteraksi dengan pelanggan, memperhatikan bagaimana
pekerja merespon pelanggan, waktu pelayanan, berapa lama waktu yang
diperlukan pelanggan duduk sampai menyampaikan pesanan, memperhatikan pekerja
mengantar makanan, memperhatikan respon pelanggan, kepuasan pelanggan terhadap
pelayanan yang diterima.
Selanjutnya pelayan datang dengan
pesanan untuk pesta besar, wanita berbaju merah tadi bergerak untuk
membantunya, ia “menawarkan bantuan” (“providing assistance”). Wanita
tadi tampak seolah-olah ia tahu betul apa yang sedang ia lakukan, dan ia
mempunyai kompetensi/kemampuan untuk itu, ini berarti ia “berpengalaman” (“experienced”).
Ia berjalan menuju tembok dekat dapur
dan memperhatikan apa yang ada pada jadwal, berarti ia melakukan “pengumpulan
informasi” (“information gathering”).
c) Penemuan dan Penamaan Kategori
Selanjutnya label-label dari berbagai
konsep tersebut harus dikelompokkan ke dalam konsep yang lebih abstrak. Konsep
yang lebih abstrak ini mencakup seluruh konsep sejenis yang di bawahnya (kurang
abstrak). Proses pengelompokkan konsep yang sama disebut kategorisasi.
Contoh konkret kegiatan-kegiatan wanita berbaju merah tersebut di atas yang
melakukan kegiatan memperhatikan (watching) sekeliling dapur, memberikan
informasi (information passing) kepada para pengunjung, memperhatikan (attentiveness)
segala sesuatu yang ada di dapur dan di ruang makan. Memonitor (monitoring)
yaitu memperhatikan setiap orang dan segala sesuatu yang terjadi, termasuk
memperhatikan kualitas pelayanan, memperhatikan bagaimana petugas
berinteraksi dengan pelanggan, petugas merespon pelanggan, waktu pelayanan,
berapa lama waktu yang diperlukan pelanggan mulai dari duduk sampai
menyampaikan pesanan. Juga memperhatikan petugas mengantar makanan,
memperhatikan respon pelanggan, kepuasan pelanggan terhadap pelayanan yang diterima.
Semua kegiatan tersebut di atas dapat dikategorisasikan ke dalam konsep yang
lebih abstrak yaitu memonitor (monitoring). Sedang bahwa wanita yang
berbaju merah mempunyai kemampuan atau kompetensi sehingga ia diberi label
“berpengalaman” (“experienced”) tidak dapat dimasukkan ke dalam kategori
monitoring.
Di samping melakukan monitoring,
wanita berbaju merah juga melakukan kegiatan menilai dan memperhatikan
atau menjaga jalannya pekerjaan. Karena pekerjaannya berkaitan dengan
makanan, maka menilai dan menjaga jalannya pekerjaan tersebut diberi label pengatur
makanan. Selanjutnya label “pengatur makanan”, label “tidak
mengintervensi” dan label “berpengalaman” dikategorisasikan ke dalam
konsep yang lebih abstrak yaitu “pengaturan makanan yang baik”. Kategori
“pengaturan makanan yang baik” dan kategori “monitoring” dapat
dikategorisasikan ke dalam konsep yang lebih abstrak lagi yaitu “pengawas
restoran yang baik”, karena pekerjaan memonitori dan mengatur makanan dilakukan
dalam konteks rumah makan atau restoran.
d) Penyusunan Kategori berdasarkan Ciri-ciri
dan Dimensi
Selanjutnya pengembangan kategori
menurut ciri-ciri (properties) dan dimensi-dimensi dilakukan sebagai
berikut: Ciri dan dimensi merupakan hal yang penting untuk dipahami dan
dikembangkan karena ciri dan dimensi itu membentuk dasar untuk membuat hubungan
antara kategori dengan subkategori. Ciri dan dimensi ini juga diperlukan untuk
melakukan analisis guna mengembangkan atau membangun grounded theory.
Contoh ciri dan dimensi dari kegiatan wanita berbaju merah dapat dijelaskan
sebagai berikut:
Telah diketahui ternyata bahwa wanita
berbaju merah adalah bukan wanita misterius tetapi wanita yang memiliki profesi
pengatur makanan. Kegiatan-kegiatan wanita berbaju merah diberikan kategori
“pengatur makanan” paling tidak memberi kesan ia bukan pelanggan yang mungkin
juga berbaju merah. Dari kategori dapat dirinci dalam subkategori dari jenis
pekerjaannya, yaitu: mengamati, memantau, membantu, melihat jadwal,
memberikan informasi, dan lain sebagainya. Selanjutnya dari setiap
subkategori misalnya subkategori mengamati dapat dilihat dari frekuensinya,
durasi waktunya, bagaimana pekerjaan itu dilakukan, siapa saja yang terlibat,
dan lain sebagainya. Dari segi frekuensi dapat didimensionalkan dengan membuat
pertanyaan: “Seberapa sering ia mengamati pekerjaan tersebut ?“ Dari pertanyaan
dapat diperoleh jawaban sering sekali, sering, jarang, jarang sekali dan
lain sebagainya. Mengamati juga dapat dilihat dari dimensi intensitasnya.
Apakah intensitasnya rendah atau tinggi. Mengamati juga dapat
dilihat dari dimensi durasi waktunya yaitu: lama atau sebentar.
Demikian juga subkategori memberikan informasi dapat dilihat dari
dimensi sedikit atau banyak informasi yang diberikan, dimensi cara
memberikan informasi: dengan cara tertulis atau lisan, secara terbuka
atau tertutup, dengan suara lantang atau lembut.
Dari uraian tersebut di atas, yaitu
proses pemberian label dari peristiwa atau kejadian menjadi kategori yaitu
abstraksi pada tingkat yang lebih tinggi, kemudian konsep yang lebih abstrak
lagi, kemudian subkategori, selanjutnya ciri-ciri dan dimensi dapat digambarkan
dalam skema sebagai berikut:
Skema
Proses Pemberian Label, Kategori, Konsep yang lebih Abstrak, Subkategori,
Ciri-ciri dan Dimensi
e. Pengodean
Berporos (Axial Coding)
a) Istilah-istilah yang akan
digunakan
Sebelum membahas Axial Coding,
akan diuraikan terlebih dahulu pengertian beberapa istilah yang dipergunakan
dalam operasionalisasi Axial Coding, yaitu:
1)
Pengodean Berporos (Axial
Coding) adalah seperangkat prosedur dimana data disatukan kembali secara
baru setelah pengodean terbuka, dengan membuat hubungan diantara
kategori-kategori. Hal ini dilakukan dengan menggunakan model pengodean yang
meliputi kondisi, konteks, tindakan/strategi interaksi, dan konsekuensi.
(“Axial Coding: A set of procedures where by data are put back
together in new ways after open coding, by making connections between
categories. This is done by utilizing a coding paradigm involving conditions,
context, action/interactional strategies, and consequences”).
2)
Kondisi Sebab-Akibat
(Causal Conditions): Peristiwa, insiden, kejadian yang mengarah pada
terjadinya atau perkembangan fenomena. (“Causal Conditions: Events,
incidents, happenings that lead to lead to the occurance or development of the
phenomenon”).
3)
Fenomena (phenomenon):
Gagasan utama, kejadian, peristiwa, insiden tentang seperangkat tindakan atau
interaksi yang teratur atau berhubungan. (“Phenomenon: The central idea,
event, happening, incident about which aset of actions or interactions are
directed at managing handling, or to which the set of actions is related”).
4)
Konteks (Context):
Seperangkat ciri khusus yang berkaitan dengan suatu fenomena, yaitu; lokasi
peristiwa atau kejadian yang berhubungan dengan fenomena sepanjang rentang
suatu dimensi. Konteks, mewakili (merepresentasikan) serangkaian kondisi
tertentu yang didalamnya terdapat strategi interaksi/strategi tindakan yang
diambil. (“Context: The specific set of properties that pertain to a
phenomenon: that is, the locations of events or incidents pertaining to a
phenomenon along a dimentional range. Context represents the particular set of
conditions within which the action/interactional strategies are taken”).
5)
Kondisi yang
mempengaruhi (Intervening Conditions): Kondisi struktural yang membuat
strategi tindakan/interaksi terjadi, yang berkaitan dengan fenomena.
Kondisi-kondisi ini memperlancar atau menghambat strategi yang diambil dalam
suatu konteks khusus. (“Intervening Conditions: The structural conditions
bearing on action/interactional strategies that pertain to a phenomenon. They
facilitate or constrain the strategies taken within a specific context”).
(Strauss & Corbin, 1990: 96-97).
b) Proses Pengodean
Seperti telah diuraikan di muka
pengodean terbuka (Open Coding)
merinci data sehingga memungkinkan si peneliti menyusun kategori, ciri-cirinya
dan lokasi dimensinya. Pengodean Berporos (Axial
Coding) mengatur data-data itu kembali secara bersama dalam cara-cara yang
baru dengan membuat hubungan di antara kategori dan subkategorinya. Di sini
belum dibahas tentang hubungan beberapa kategori utama untuk membentuk
formulasi teoritis yang menyeluruh (hal ini akan dibahas dalam Pengodean
Selektif (Selective Coding),
melainkan masih terbatas pada pengembangan suatu kategori, tetapi melebihi
pengembangan ciri-ciri dan dimensinya.
Dalam Axial Coding fokus pembahasan adalah membuat spesifik/khusus suatu
kategori dari segi kondisi-kondisi yang muncul, yaitu konteks (serangkaian ciri-ciri yang khusus) yang terkait; tindakan
atau strategi interaksi yang dilakukan dan dikendalikan; dan konsekuensi dari strategi-strategi
tersebut. Upaya mencari kekhususan/spesifikasi tersebut, (konteks, strategi dan
konsekuensi) adalah merupakan penyusunan
subkategori. Subkategori pada hakekatnya juga merupakan kategori tetapi
dilihat dari kekhususannya/spesifikasinya. Pada Open Coding telah dimulai meletakkan data-data secara bersama-sama
dalam suatu bentuk yang berhubungan. Walaupun Open Coding dan Axial Coding merupakan prosedur analisis yang
berbeda, tetapi sebenarnya pada waktu si peneliti melakukan proses analisis, ia
dapat menggunakan salah satu alternatif dari kedua macam coding tersebut. (“Though
open and axial coding are distinct analytic procedures, when the researcher is
actually engaged in analysis he or she alternates between the two modes”).
Sebelum dibahas mengenai bagaimana
membuat spesifikasi dari kategori melalui Axial
Coding, ada beberapa hal yang perlu diketahui, yaitu:
1)
Pada waktu melakukan
Open Coding berbagai macam kategori
diidentifikasi. Misalnya suatu kategori mempunyai kekhususan yang bersifat kondisi, sementara kategori lain
menunjukkan tindakan/strategi interaksi,
kategori lain menunjukkan konsekuensi
dari tindakan/ strategi interaksi.
2)
Label-label
konseptual yang ada tidak harus selalu ditempatkan pada kategori kondisi,
strategi dan konsekuensi. Tetapi apabila memang menghadapi fenomena atau
peristiwa yang dapat dibedakan seperti itu sebaiknya dilakukan penyusunan
subkategori seperti itu, misalnya: Ada subjek yang sakit/menderita sakit (kondisi), subjek tadi mengalami demam (fenomena), lalu ia minum amoxilin (strategi), setelah beberapa saat ia merasa baik (konsekuensi). Sehingga tersusun tiga
subkategori yaitu subkategori kondisi, fenomena, strategi dan konsekuensi.
3)
Dengan tersusunnya
subkategori-subkategori, maka dapat disusun ciri-ciri seperti durasi, tingkatan dan intensitas. Dari durasi, tingkatan dan intensitas ini dapat ditentukan lokasi
dimensinya dan lokasi dimensi ini terkait dengan penyusunan teori.
4)
Dalam Axial Coding, subkategori-subkategori
dihubungkan dengan kategori-kategori melalui sebuah model yang disebut “model hubungan” (penulis).
Selanjutnya akan diuraikan tentang
“Model Hubungan” dan contohnya. Dalam Grounded
Theory subkategori dihubungkan dengan suatu kategori dalam seperangkat
hubungan yang menunjukkan kondisi sebab akibat, fenomena, konteks,
kondisi-kondisi yang mempengaruhi, tindakan/strategi interaksi, dan
konsekuensi. Model Hubungan tersebut dapat digambarkan sebagai berikut:
(A)
KONDISI SEBAB AKIBAT
à (B) FENOMENA à
(C) KONTEKS à (D) KONDISI YANG MEMPENGARUHI à
(E) TINDAKAN
/ STRATEGI INTERAKSI à (F)
KONSEKUENSI
Akan
dijelaskan masing-masing subkategori-subkategori tersebut sebagai berikut:
1)
Fenomena
Fenomena
adalah gagasan utama, kejadian, peristiwa, tentang seperangkat
tindakan/interaksi atau yang teratur, atau berhubungan. Untuk mengidentifikasi
fenomena dilakukan dengan mengajukan pertanyaan: “Data ini mengacu kepada hal
apa ?” “Tindakan atau interaksi itu tentang hal apa ?”
2)
Kondisi Sebab Akibat
Istilah ini
mengacu kepada peristiwa atau kejadian yang mengarah pada terjadinya atau
perkembangan suatu fenomena. Sebagai misal, apabila kita tertarik dengan
fenomena rasa sakit, kita mungkin menemukan bahwa rasa sakit itu disebabkan
oleh kaki patah atau sakit encok. Kejadian seperti itu menyebabkan atau membawa
pengalaman rasa sakit. Dengan “Model Hubungan”, pengalaman rasa sakit dapat
digambarkan sebagai berikut:
Kondisi Sebab Akibat
Kaki patah atau
menderita Fenomena sakit
Encok
Selanjutnya
kita dapat lebih spesifik mendiskripsikan kondisi sebab akibat kaki patah,
yaitu mengidentifikasi ciri-cirinya dan lokasi dimensional dari ciri-ciri
tersebut. Kondisi kaki patah tersebut misalnya keretakannya lebih dari satu, misalnya ada dua, dan salah satu keretakannya lebih serius.
Selanjutnya penderita kaki patah tersebut ternyata misalnya tidak mengalami
kelumpuhan, sehingga sistem syarafnya tetap berfungsi. Dengan demikian dapat
dibedakan bagian kaki yang mana yang lebih serius atau lebih terasa sakit. Ini
berarti kita dapat melihat ciri-cirinya serta dimensi khusus dari kondisi sebab
akibat kaki patah. Secara singkat kondisi sebab akibat kaki patah tersebut
dapat dikemukakan ciri-cirinya, yaitu: keretakannya banyak (lebih dari satu),
ternyata keretakannya ada 2 misalnya, jadi bersifat ganda dan ternyata misalnya
ada bagian kaki yang retak mempunyai rasa sakit yang lebih serius. Dan dapat
digambarkan pula dimensinya misalnya intensitasnya tinggi, durasinya terus
menerus, lokasinya kaki bagian bawah. Sehingga apabila digambarkan didapatkan
diagram sebagai berikut:
|
Kondisi Sebab Akibat
Kaki Patah
Ciri Kaki Patah Dimensi
Khusus Rasa Sakit
- Keretakan yang banyak intensitas tinggi
- Keretakan ganda durasi terus menerus
- Adanya rasa sakit lokasi kaki bagian bawah
3)
Konteks
Sebuah
konteks merepresentasikan serangkaian ciri khusus yang berkenaan dengan
fenomena, yaitu lokasi kejadian yang berkaitan dengan fenomena sepanjang
rentang dimensional. Konteks pada waktu yang sama juga merupakan seperangkat
kondisi khusus yang di dalamnya terdapat tindakan/strategi interaksi digunakan
untuk mengatur, menangani, menjalankan dan merespon fenomena khusus.
Untuk
menjelaskan masalah konteks ini mari kita kembali pada contoh kaki patah. Kaki
patah menunjuk rasa sakit. Apabila kita hanya mengetahui hal itu saja atau
apabila pengetahuan kita terbatas pada hal itu saja maka kita mengalami
kesulitan untuk mengobatinya. Kita harus mengetahui sebab-sebabnya sehingga
kaki menjadi patah, demikian seluk beluk rasa sakitnya agar dapat ditangani.
Demikian pula dengan kaki yang patah, kita perlu mengetahui secara khusus kapan
kaki itu patah, bagaimana patahnya yaitu jumlah dan jenis keretakannya. Tentang
rasa sakit, kita perlu tahu bagian mana yang lebih serius rasa sakitnya,
bagaimana kronologisnya, durasinya, lokasinya, intensitasnya dan lain
sebagainya.
Hal
tersebut apabila disusun dalam diagram adalah sebagai berikut:
Kondisi Sebab Akibat Fenomena
- Kaki Patah Rasa
sakit
Ciri Kaki Patah Dimensi-dimensi Khusus
dari Rasa Sakit
- Keretakan yang banyak intensitas tinggi
- Keretakan ganda durasi terus menerus
- Adanya rasa sakit lokasi kaki bagian bawah
- Patah dua jam lalu kronologi lebih awal
- Jatuh dijalan yang licin memperoleh
bantuan segera
Konteks Penanganan Rasa Sakit
Dalam kondisi dimana rasa sakit:
Terus menerus, intensitas tinggi, berada di kaki bagian bawah, lebih
awal dirasakan, dan bantuan didapatkan segera;
4)
Kondisi yang mempengaruhi
Kondisi ini
berfungsi untuk memperlancar atau menghambat tindakan/strategi interaksi yang
dilakukan dalam konteks yang khusus. Contoh kondisi yang mempengaruhi dapat
dilihat dalam uraian berikut: Anda sakit dan membutuhkan pengobatan, tetapi
hanya dapat diperoleh pada Rumah Sakit yang jaraknya jauh. Ini berarti anda
tidak dapat segera mendapatkan pengobatan, anda harus berpacu untuk mendapatkan
pengobatan dengan jarak yang jauh. Kondisi intervening berkaitan dengan
tindakan/strategi interaksi. Kondisi dapat dalam bentuk: waktu, ruang, budaya,
status ekonomi, karir, sejarah, riwayat hidup individu. Kondisi-kondisi
memiliki rentangan dari yang paling dekat atau pendek sampai dengan yang paling
jauh atau panjang.
Sebagai
contoh orang yang kakinya patah. Orang tadi berada di hutan dan misalnya dia
seorang diri tanpa adanya teman, kondisi seperti ini tentu akan sangat berbeda
dalam waktu untuk mendapatkan pengobatan dibandingkan dengan orang yang berada
dikota. Hal lain yang perlu diperhatikan yaitu ciri-cirinya misalnya tentang
biodata seperti: umur, penyakit lain yang pernah dialami atau sedang dialami,
sejarah penyakit yang pernah dialami, pandangannya/persepsinya mengenai
perasaan sakitnya dan pengobatannya. Juga ciri tentang cara/teknik pengobatan
yaitu peralatan yang tersedia, prosedur pengobatannya, obat yang tersedia, dan seterusnya.
Tidak semua
kondisi dapat diterapkan untuk setiap situasi. Terserah kepada peneliti untuk
mengidentifikasi yang mana yang akan digunakan dan dirangkai dalam analisis,
yang penting untuk diingat apakah kondisi
itu memperlancar atau menghambat tindakan/strategi interaksi, dan kapan
tindakan/strategi interaksi itu dilakukan.
Dari uraian
tersebut di atas, yaitu proses dari kondisi sebab akibat, fenomena, ciri-ciri
(kaki patah) atau konteks, dimensi khusus, kemudian kondisi intervening
(kondisi yang memfasilitasi atau menghambat) apabila digambarkan dalam
skema/”Model Hubungan” adalah sebagai berikut:
Skema
/ “Model Hubungan” Kondisi Sebab/Akibat, Fenomena, Konteks, Dimensi Khusus,
Kondisi Intervening
5)
Strategi Tindakan / Strategi Interaksi
Pada
dasarnya Grounded Theory merupakan
metoda penyusunan teori yang berorientasi pada tindakan/interaksi.
Tindakan/interaksi memiliki sejumlah ciri, yaitu:
a)
Tindakan/interaksi
itu merupakan suatu proses yang bergerak secara alamiah. Jadi dapat dipelajari
berdasarkan urutan, atau berdasarkan geraknya atau perubahannya pada setiap
saat.
b)
Tindakan/interaksi
berorientasi pada tujuan atau mempunyai tujuan dan dilakukan berdasarkan
beberapa alasan untuk merespon atau menangani fenomena.
c)
Tindakan/interaksi
pada dasarnya merupakan strategi sehingga disebut sebagai tindakan/strategi
interaksi, dan bertujuan untuk merespon atau menangani fenomena. Apabila
tindakan/ interaksi ini gagal, misalnya tidak merespon fenomena, tindakan/
interaksi ini tetap penting. Misalnya seseorang yang seharusnya melakukan suatu
tindakan misalnya mencari Rumah Sakit atau dokter untuk mengobati penyakitnya
tetapi tidak melakukan, perlu dipertanyakan, mengapa ia tidak melakukannya.
Apabila
proses ini digambarkan dapat dilihat dalam diagram sebagai berikut:
Kondisi Sebab Akibat Fenomena
- Kaki Patah Rasa sakit
Ciri Kaki Patah Dimensi
Khusus dari Rasa Sakit
- Keretakan yang banyak
intensitas tinggi
- Keretakan ganda durasi terus
menerus
- Adanya rasa sakit lokasi kaki
bagian bawah
- Patah dua jam lalu kronologi lebih awal
- Jatuh di hutan
bantuan yang diperoleh menunggu
lama
potensi adanya konsekuensi tinggi
Konteks Penanganan Rasa Sakit
Kondisi di mana sakit adalah:
- Intensitas tinggi, terus menerus, berlokasi di kaki bagian bawah,
lebih awal dirasakan, bantuan didapatkan lama, dan potensi konsekuensi tinggi.
Strategi untuk Penanganan
Sakit
-
Membalut kaki
-
Pergi untuk meminta
bantuan darurat
-
Menjaga agar orang
itu tetap hangat
Kondisi Intervening
-
Kurang pelatihan
pada pertolongan pertama
-
Tidak ada selimut
-
Jaraknya jauh untuk
meminta bantuan
Dari uraian
tersebut di atas, yaitu proses dari kondisi sebab akibat, fenomena, ciri-ciri
(kaki patah) atau konteks, dimensi khusus, kemudian tindakan/strategi
interaksi, dan kondisi intervening (kondisi yang memfasilitasi/yang menghambat)
apabila digambarkan dalam skema/ ”Model Hubungan” adalah sebagai berikut:
Skema
/ “Model Hubungan” Kondisi Sebab/Akibat, Fenomena, Ciri-ciri, Dimensi khusus,
Strategi, Kondisi Intervening
Dalam
diagram tersebut terlihat dengan jelas strategi tindakan yang diambil
menghadapi kondisi sakit yang mempunyai intensitas tinggi, terus menerus,
berlokasi di kaki bagian bawah, lebih awal dirasakan dan seterusnya adalah
dengan melakukan: membalut kaki, pergi meminta bantuan darurat, mempertahankan
agar orang tersebut tetap hangat.
Dengan
kondisi tersebut di atas terdapat adanya petunjuk-petunjuk tertentu tentang
beberapa strategi, yaitu aksi yang berdasarkan pada kata kerja atau
prinsip-prinsip. Hal ini dapat dilihat dari contoh berikut. Contoh seandainya
seseorang melakukan penelitian tentang alur kerja (work flow) dalam
suatu unit Rumah Sakit dan bagaimana
peran Kepala Perawat untuk menjaga alur kerja agar berjalan sebagaimana
mestinya, kita lihat hal berikut dalam data kita:
Ketika terjadi konflik yang cukup parah di antara petugas shift malam,
dan konflik itu cukup mengganggu kinerja (performance) petugas, lalu
saya datang pada malam itu dan bekerja dengan petugas shift malam sebentar
untuk mengetahui apa yang sedang terjadi.
Contoh
tersebut merupakan suatu fenomena, yaitu alur kerja (work flow), yang
terganggu oleh adanya konflik (konteks), dan Kepala Perawat yang datang untuk
bekerja pada shift malam, sehingga ia dapat mengetahui apa yang sedang terjadi
(ini merupakan tindakan/ strategi untuk merespon alur kerja yang terganggu).
6)
Konsekuensi
Tindakan atau interaksi yang diambil untuk
merespon atau menangani suatu fenomena akan mendapatkan hasil atau konsekuensi.
Hal ini mungkin tidak selalu dapat diprediksi. Kegagalan mengambil tindakan
atau interaksi juga mendapat hasil atau konsekuensi walaupun mungkin negatif.
Konsekuensi mungkin menjadi aktual tetapi
juga menjadi potensial, dapat terjadi pada waktu sekarang atau waktu yang akan
datang. Konsekuensi dari seperangkat tindakan mungkin menjadi bagian dari
konteks atau kondisi intervening, yang mempengaruhi serangkaian tindakan/
interaksi berikutnya.
Contoh tentang kaki patah yang dialami dalam
hutan, dan dia bersama-sama dengan teman-teman yang telah mendapatkan pelatihan
tentang pertolongan pertama, kemudian teman-temannya menyangga kakinya,
membalutnya, selanjutnya pergi minta bantuan. Konsekuensi dari strategi
tindakan tersebut dapat mengurangi rasa sakitnya.
c) Menghubungkan kategori dengan
kategori yang lain
Selanjutnya
akan diuraikan bagaimana cara menghubungkan suatu kategori dengan kategori
lainnya. Untuk mengetahui hubungan kategori satu dengan kategori lain, si
peneliti perlu mengajukan pertanyaan, misalnya: “Apakah kategori pengurangan
rasa sakit berhubungan dengan rasa sakit sebagai konsekuensi strategi tindakan
yang diambil untuk mengobati rasa sakit ?” Pertanyaan ini tidak mengarah ke coding terhadap peristiwa atau kejadian khusus, juga tidak mengarah ke ciri
khusus atau dimensi khusus. Tetapi mengarah pada label konsep dari suatu
kategori apakah berhubungan dengan label konsep kategori yang lain. Demikian
pula misalnya seorang yang mempunyai penyakit encok, kemudian ia menggunakan
strategi tertentu untuk menyembuhkan rasa sakitnya. Peneliti akan membuat
pertanyaan: “Pada kondisi rasa sakit, strategi tindakan apa yang ia gunakan untuk
mengurangi rasa sakitnya”.
Setelah
peneliti mengajukan pertanyaan tersebut, peneliti kembali ke data untuk
mengetahui secara pasti strategi tindakan untuk mengurangi rasa sakit pada
penderita encok dengan melihat hasil interview,
atau hasil observasi atau hasil analisis dokumen. Selanjutnya setelah dari data
didapatkan strategi tindakan untuk mengurangi rasa sakit pada penderita encok,
misalnya dengan pijat
refleksi, maka
peneliti dapat membuat pernyataan semacam hipotesis, yaitu: “Apakah seseorang menderita
penyakit encok, rasa sakitnya akan hilang kalau melakukan pijat refleksi”.
Selanjutnya
peneliti mencari bukti-bukti dengan data yang ada untuk mendukung pernyataan
tersebut. Pada waktu yang sama peneliti juga mencari data-data yang tidak
mendukung pernyataan tersebut. Mungkin peneliti akan mendapatkan data bahwa ada
orang yang tidak melakukan apa-apa tetapi mendapatkan kesembuhan. Ada juga yang
melakukan strategi yang lain di luar pijat refleksi, ternyata memperoleh
kesembuhan. Tetapi ada pula yang melakukan strategi pijat refleksi ternyata
tidak mendapatkan kesembuhan. Temuan-temuan tersebut tidak harus dibuang.
Temuan-temuan tersebut menambahkan variasi dan pendalaman pemahaman. Walaupun
data menunjukkan adanya variasi, persamaan bahkan perbedaan sehingga dihasilkan
pendalaman pemahaman, tetapi tetap dapat dilihat tingkat kecenderungannya.
Kesimpulan tentang strategi didasarkan pada strategi yang memiliki tingkat
kecenderungan yang tinggi.
Pada
saat peneliti membandingkan peristiwa, peneliti bertujuan untuk mengetahui
dimana setiap ciri dapat ditempatkan pada dimensi yang tepat. Dengan demikian
peneliti akan memperoleh kepadatan konseptual dan akan dapat dihindari
banyaknya variasi. Atau dengan kata lain diperoleh kepadatan konseptual,
memiliki spesifikasi dan variasi yang terbatas sehingga konsep ini dapat
diterapkan dalam berbagai fenomena yang ada.
Dari
keseluruhan uraian tentang Axial Coding
dapat disimpulkan bahwa Axial Coding
merupakan proses menghubungkan subkategori dengan kategori. Proses tersebut
merupakan pemikiran induktif dan deduktif yang kompleks yang terdiri dari
beberapa tahap.
Hal ini dilakukan dengan membuat
perbandingan dan mengajukan pertanyaan seperti pada Open Coding. Tetapi
dalam Axial Coding lebih terfokus pada menemukan dan menghubungkan
kategori melalui “Model Hubungan”. Dalam Axial Coding dapat dikembangkan
tiap kategori (fenomena) berdasarkan hubungan sebab akibat, dapat ditempatkan
lokasi dimensi khusus dari fenomena terkait dengan cirinya, konteksnya,
tindakan/strategi interaksi yang digunakan untuk merespon atau mengelola
fenomena, dan konsekuensi dari tindakan/strategi interaksi yang dilakukan.
f. Pengodean
Selektif (Selective Coding)
a) Istilah-istilah yang
digunakan
Sebelum uraian tentang Selective
Coding akan dikemukakan beberapa definisi istilah yang dipergunakan dalam
penjelasan tentang Selective Coding, yaitu:
1)
Cerita: Narasi
deskriptif mengenai fenomena utama dari suatu studi (“Story: A descriptive
narrative about the central phenomenon of the study”).
2)
Jalan Cerita:
Konseptualisasi cerita. Ini merupakan kategori inti. (“Story Line: The
conceptualization of the story. This is the core category”).
3)
Pengodean Selektif:
Proses menyeleksi kategori inti, secara sistematis menghubungkannya dengan
kategori yang lain, memvalidasi hubungan tersebut, dan mengisi
kategori-kategori yang memerlukan perbaikan dan pengembangan lebih lanjut. (“Selective
Coding: The process of selecting the core category, systematically relating it
to other categories that need further refinement and development”).
4)
Kategori Inti:
Fenomena inti dari semua kategori lain yang terintegrasi (“Core Category:
The central phenomenon around which all the other categories are integrated”).
(Strauss & Corbin, 1990: 116).
b) Proses Pengodean
Dalam uraian tentang Proses Pengodean
masalah Cerita (Story) dan Jalan Cerita (Story Line) tidak
diuraikan karena sudah terintegrasi dalam uraian Proses Pengodean.
Tujuan dari Selective Coding
adalah mengintegrasikan kategori untuk membentuk sebuah grounded theory.
Pekerjaan tersebut cukup sulit tetapi tidak berarti tidak dapat dikerjakan.
Pengintegrasian kategori pada dasarnya tidak banyak berbeda dengan Axial
Coding, hanya dalam melakukan analisis, tingkat keabstrakannya lebih
tinggi. Sebenarnya dalam Axial Coding dibangun dasar atau patokan bagi Selective
Coding. Dengan telah dilakukan Axial Coding kategori telah disusun
berdasarkan ciri-ciri dan dimensi-dimensinya, yang tersusun dalam “Model
Hubungan”, sehingga memberikan kepadatan dan kekayaan kepada kategori.
Selanjutnya dapat disusun konsep-konsep dengan menghubungkan kategori-kategori
berdasarkan pertanyaan: “Apa yang sedang dikaji ?, Apa yang ditemukan ?,
Kesimpulan apa yang dapat ditarik ? Dari konsep-konsep yang disusun dengan
menggunakan dasar pertanyaan-pertanyaan tersebut akan dihasilkan grounded
theory.
Sebagai ilustrasi tentang prosedur
yang harus ditempuh akan diberikan contoh sebagai berikut: Studi ini terfokus
pada bagaimana 20 orang wanita dengan penyakit kronis menangani
kehamilannya. Mereka akan diwawancarai sejak awal kehamilannya sampai
dengan 6 (enam) minggu setelah kelahiran. Wawancara terstruktur sebanyak 4
(empat) sampai 5 (lima) kali untuk setiap wanita. Wawancara dilakukan setiap 3
(tiga) bulan selama kehamilan, kemudian wawancara juga dilakukan setiap minggu
selama 6 (enam) minggu setelah kelahiran. Dan diakhiri 1 (satu) kali wawancara
pada 6 (enam) minggu setelah kelahiran. Disamping itu sebagai tambahan juga
dilakukan wawancara informal pada waktu menunggu kelahiran. Apabila suami hadir
pada waktu wawancara, suami juga diwawancarai dan diobservasi. Apabila mungkin,
peneliti juga menemani wanita-wanita tersebut. Dari hasil penelitian
menunjukkan bahwa terdapat beberapa penyakit yang diderita wanita-wanita hamil
tersebut, di antaranya: diabetes, lever, ginjal, hipertensi. Beberapa wanita
mengalami kombinasi beberapa penyakit dan kronis, seperti diabetes dengan
ginjal. Seorang wanita mengalami transpalansi ginjal. Peneliti melakukan kajian
apakah kombinasi beberapa penyakit kronis menyebabkan tingginya resiko
kehamilan. Apakah wanita-wanita hamil tersebut dirinya sendiri memainkan peran
aktif menangani resiko kehamilan ?.
Sebagai telah dikemukakan di depan
bahwa tujuan Selective Coding adalah mengintegrasikan kategori ke dalam
kategori inti dengan melakukan analisis yang tingkat keabstrakannya lebih
tinggi. Dengan Axial Coding, kategori-kategori telah disusun berdasarkan
ciri-ciri dan dimensinya, yang tersusun dalam “Model Hubungan”, sehingga
memberikan kepadatan dan kekayaan kepada kategori. Selanjutnya dapat disusun
konsep-konsep dengan menghubungkan kategori-kategori berdasarkan pertanyaan:
“Apa yang sedang dikaji ?, Apa yang ditemukan?, Kesimpulan apa yang dapat
ditarik ?, Dari konsep-konsep yang disusun dengan menggunakan dasar
pertanyaan-pertanyaan tersebut akan dihasilkan grounded theory.
Selanjutnya akan dijelaskan bagaimana
cara mengintegrasikan kategori-kategori ke dalam kategori inti. Secara singkat
yaitu dengan cara melakukan konseptualisasi dengan analisis yang tingkat
keabstrakannya lebih tinggi. Untuk itu peneliti pertama-tama perlu menyusun
suatu catatan atau memo yang berkaitan dengan jawaban atas pertanyaan: “Apa yang
menonjol dari hasil kajian atau penelitian ini ?“ “Mana yang oleh peneliti
dianggap menjadi masalah utama ?”. Akan diberi contoh tentang wanita hamil
yang mempunyai penyakit kronis. Dari hasil menyusun kategori-kategori
berdasarkan “Model Hubungan”, yang dilanjutkan dengan menyimpulkan kondisi,
tindakan/strategi dalam penanganan kondisi, dan konsekuensi dari adanya
strategi yang diambil, peneliti membuat catatan atau memo yang berisi rangkaian
hubungan kategori sebagai berikut:
“Tiap-tiap
kehamilan yang ditangani dari resiko atas kehamilan atau penyakit yang
dideritanya, berarti hal ini dipedulikan, dan apabila tidak ditangani berarti
tidak dipedulikan. Wanita-wanita yang menangani resiko atas kehamilan dan
penyakitnya bertujuan mendapatkan bayi yang sehat. Hasil yang diinginkan yaitu
melahirkan bayi sehat tampaknya menjadi kekuatan utama yang memotivasi mereka
untuk melakukan apapun yang perlu untuk meminimalkan resiko. Namun, mereka
bukanlah penerima layanan yang pasif, tetapi mereka memainkan peran penting
dalam proses penanganan resiko. Mereka tidak hanya bertanggung jawab untuk
memantau kehamilan dan penyakitnya, tetapi juga memutuskan untuk menentukan
cara hidup (regimens) yang harus diikuti. Mereka juga mempertimbangkan
bahaya atau akibat pada bayi yang disebabkan minum obat tertentu dengan dosis
yang tinggi selama kehamilan. Mereka berusaha membuat keputusan yang benar
dengan mempertimbangkan secara hati-hati tentang resiko yang mungkin timbul.
Jika mereka berpikir dokter membuat keputusan yang salah, mereka melakukan apa
yang mereka pikir seharusnya dilakukan”.
Catatan atau memo yang dibuat oleh
peneliti tersebut merupakan fenomena yang menonjol yang disimpulkan dari hasil
wawancara dan observasi. Selanjutnya dari deskripsi tersebut kemudian dilakukan
konseptualisasi (analisis dengan tingkat abstraksi yang lebih tinggi).
Dengan melakukan analisis untuk mendapatkan konsep yang memiliki tingkat
abstraksi yang lebih tinggi, peneliti mendapatkan konsep yang diberi nama “Penanganan
Protektif” (“Protective Governing”). Penanganan (Governing)
berarti ibu yang hamil dan berpenyakit melakukan tindakan untuk mengontrol
resiko yang berkaitan dengan kehamilannya. Protektif (Protective)
mengindikasikan bahwa tindakan-tindakan itu bertujuan memberikan perlindungan.
Penentuan kategori inti ini penting untuk menemukan apakah ada wanita yang
tidak melakukan penanganan protektif. Tetapi dalam penelitian tersebut tidak
ditemukan adanya wanita yang tidak melalukan penanganan protektif.
Bagaimana cara melakukan konseptualisasi
apabila ditemukan dua fenomena yang sama pentingnya. Bagaimana cara
mengintegrasikan dua kategori sehingga tercapai integrasi kategori yang kuat
dan pengembangan kategori yang padat yang diperlukan untuk menyusun grounded
theory. Untuk mengembangkan dua kategori inti yang sama pentingnya, dan
mengintegrasikan keduanya, dan mendeskripsikan secara jelas dan teliti memang
merupakan sesuatu yang tidak mudah. Hal ini juga dialami oleh peneliti yang
sudah berpengalaman. Cara yang dapat dilakukan adalah memilih salah satu
kategori inti, dan menempatkan kategori inti yang lain sebagai cabang kategori
(a subsidiary category), kemudian menguraikan sebagai teori kedua.
Sebagai contoh dalam suatu penelitian
yang dilakukan oleh Strauss & Corbin, terdapat 2 (dua) fenomena yang muncul
secara signifikan. Satu fenomena adalah adanya penyakit yang kronis dari wanita
yang hamil, tetapi penanganannya dilakukan oleh suami. Sedang fenomena yang
kedua adalah dampak kegagalan penanganan pada biodata (kondisi biologi) pada wanita
hamil yang berpenyakit tadi. Pada waktu melakukan integrasi dua kategori inti
tersebut, pertama diputuskan untuk
memfokuskan pada masalah penyakit dan penanganannya, kedua kategori inti tentang kondisi fisik sebagai dampak kegagalan
penanganan dijadikan konsep sekunder yaitu konsep tentang cara-cara penanganan
dan dampak-dampak yang diakibatkan dari cara-cara penanganan.
Untuk mendapatkan gambaran konkret
bagaimana dua kategori inti diintegrasikan, berikut ini akan diberikan contoh
dengan cerita sebagai berikut: “Apabila seorang wanita hamil dan memiliki
penyakit kronis akan mempengaruhi kehamilannya. Ini menyebabkan timbulnya
resiko baik bagi wanita tersebut maupun bayinya. Dua puluh tahun sampai tiga
puluh tahun yang lalu, wanita hamil yang mengalami diabetes, gangguan ginjal
akan sangat beruntung apabila dapat melahirkan dengan selamat. Kondisi sekarang
dengan kemajuan teknologi kedokteran, wanita hamil yang mengalami penyakit
kronis, dapat disembuhkan sehingga tidak mengganggu kehamilannya. Wanita tadi
dengan kemajuan teknologi dapat disembuhkan dari penyakitnya, dan dapat dijaga
keselamatan bayi hingga dilahirkan. Pada dasarnya semakin parah penyakitnya,
semakin sulit menanganinya, dan semakin besar pula resiko yang menyertainya.
Yang menarik untuk dicatat ternyata wanita tadi tidak hanya mengumpulkan
isyarat (cue) dari dokter, tetapi
juga dari pengalamannya masa lalu dengan penyakit dan kehamilannya. Mereka juga
memperhatikan janinnya sendiri, menafsirkan gerakan dalam perutnya dan
memperkirakan pertumbuhan bayinya sebagai yang mereka rasakan. Semua itu
merupakan data untuk memperkirakan tingkat resiko yang mungkin dihadapi. Wanita
hamil tidak hanya mempertimbangkan resiko pada bayi, tetapi juga pada dirinya
sendiri. Misalnya ia mendapatkan obat dengan dosis yang terlalu tinggi atau
rendah, maka ia akan melakukan negosiasi dengan dokter untuk mengubah obatnya.
Apabila negosiasi tidak berhasil ia akan meninggalkan rumah sakit, atau melawan
nasehat medis, dan menyelamatkan bayinya dan dirinya dengan caranya sendiri.
Penanganan terhadap kondisi hamilnya
dan penyakit kronis yang diderita merupakan tugas wanita yang hamil tersebut
dan tim kesehatannya. Dengan memasukkan tim kesehatan ke dalam sistem perawatan
kesehatannya, berarti ia mendelegasikan sebagian dari fungsi penanganan kepada
dokter yang merawatnya termasuk kegiatan diagnosis dan penentuan perawatan.
Dalam strategi penanganan, dokter berfungsi sebagai pengawasan terhadap resiko
yang dapat timbul. Strategi penanganan bertujuan mengawasi resiko fisik baik
pada bayi maupun wanitanya sendiri, termasuk ketakutan psikologis. Ayah dari
bayi juga mempunyai peranan dalam penanganan resiko, walaupun perannya tidak
langsung, tetapi hanya sebagai pendukung. Ia hadir pada waktu wanita tersebut
memeriksakan kehamilannya, atau pada waktu keputusan harus diambil.
Kadang-kadang resiko tidak dapat dihindari, walaupun ibu dan tim kesehatan
telah bekerja keras, tetapi bayi lahir meninggal misalnya karena terjadi
komplikasi kandungan.
Dengan cerita di atas dapat disusun
kategori. Apabila tidak disusun kategori, maka tetap hanya menjadi daftar
masalah. Kategori yang muncul dari cerita tadi adalah:
-
Faktor resiko
(sumber resiko). Kategori ini disimpulkan dari hubungan antara kehamilan dengan
penyakit, yang dipandang dapat menimbulkan resiko. Sehingga hal ini menyebabkan
kebutuhan jenis penanganan khusus yang dinamakan Penanganan Protektif (Protective Governing).
-
Konteks resiko.
Kategori ini diidentifikasi sebagai kondisi yang mengarah pada tindakan.
Seperti dalam pengodean axial, konteks resiko disimpulkan dari interaksi
ciri-ciri dalam penanganan protektif. Konteksnya bervariasi menurut rangkaian
dimensi atau kombinasi dari tingkat resiko dengan keadaan kehamilan atau
penyakit.
-
Penafsiran suatu
tindakan. Kategori ini merupakan kondisi intervening antara penanganan
protektif dan konteks resiko. Ini merupakan penafsiran terhadap isyarat sebagai
sarana yang digunakan oleh wanita untuk menjelaskan tingkat resiko dari
kehamilannya. Mereka harus mengumpulkan informasi mengenai faktor resiko khusus
yang dihadapi, dan keakuratan informasi yang dikumpulkan berdasarkan
pengetahuan, pengalaman kehamilan sebelumnya, penafsiran kejadian-kejadian
selama pemeriksaan sebelum kelahiran.
-
Pengawasan merupakan
strategi yang digunakan wanita hamil untuk menangani baik resiko fisik maupun
psikologis yang menyertai kehamilannya. Walaupun penanganan resiko kehamilan
dapat melibatkan tim kesehatan dan wanita yang hamil itu sendiri, tetapi dalam
contoh ini hanya membahas peran wanita yang hamil itu sendiri. Kondisi
intervening antara penanganan resiko dengan pengawasan itu penting karena
pilihan perawatan selalu terkait dengan keinginan untuk melahirkan bayi yang
sehat. Di sini perlu adanya keseimbangan antara pilihan perawatan dengan
teknologi yang tersedia, ada tidaknya dokter ahli, dan banyak kondisi
intervening yang lain, misalnya pengalaman dengan penyakit. Kategori hasil
penanganan resiko berarti sama dengan konsekuensi atau hasil akhir dari
strategi pengawasan, yaitu meniadakan faktor-faktor resiko yang ada, sehingga
dapat mencapai kelahiran bayi yang sehat.
Uraian tersebut apabila diurutkan
adalah sebagai berikut:
Faktor resiko yang berasosiasi dengan
kehamilan dan penyakit kronis à
menimbulkan kebutuhan penanganan protektif.
Penanganan protektif dilakukan
dengan: - Penafsiran terhadap makna konteks resiko, yang disusun berdasarkan: -
Motivasi, Keseimbangan + Kondisi intervening lain à mengarah pada Strategi atas pengawasan resiko à menghasilkan penyelesaian resiko.
Dari uraian tersebut di atas, yaitu dari
adanya faktor/sumber resiko yang berasosiasi dengan kehamilan dan penyakit
kronis menimbulkan kebutuhan penanganan protektif. Penanganan protektif ini
dilakukan dengan penafsiran makna resiko yang berdasarkan: - Motivasi
(melahirkan dengan selamat) - Keseimbangan (kebutuhan perawatan dengan
teknologi yang tersedia), dan kondisi intervening lain misalnya pengalaman
melahirkan, akan menghasilkan strategi pengawasan resiko untuk meniadakan
faktor-faktor resiko sehingga dapat dihasilkan penyelesaian resiko yaitu ibu
melahirkan dengan selamat dengan bayi yang sehat. Apabila digambarkan dengan
bagan adalah sebagai berikut:
+ +
Daftar
Pertanyaan BAB V
1.
Apa yang anda ketahui tentang Grounded
Theory ? Jelaskan !
2.
Menurut Strauss dan Corbin terdapat 4
(empat) kriteria utama untuk menilai suatu Grounded Theory dibangun
dengan baik. Sebutkan dan jelaskan keempat kriteria utama tersebut !
3.
Dari penjelasan tentang Grounded
Theory dari Strauss dan Corbin dapat disimpulkan terdapat 4 (empat) ciri Grounded
Theory. Sebutkan dan jelaskan keempat ciri tersebut!
4.
Jelaskan apa yang anda ketahui tentang
Kepekaan Teori (Theoretical Sensitivity) ?
5.
Faktor-faktor apa yang mempengaruhi
terbentuknya Kepekaan Teori ? Jelaskan !
6.
Menurut Strauss dan Corbin analisis data
pada penelitian kualitatif disebut Coding, dan terdapat 3 (tiga) macam Coding,
yaitu: Open Coding, Axial Coding dan Selective Coding. Jelaskan
ketiga macam coding tersebut !
7.
Coding pada dasarnya merupakan
analisis data dalam penelitian kualitatif. Analisis data merupakan pemberian
makna terhadap fenomena atau peristiwa. Bagaimana pandangan anda terhadap
pernyataan berikut ini: “Kata-kata lebih padat makna dibandingkan angka-angka”.
Jelaskan apakah anda setuju atau tidak setuju terhadap pertanyaan tersebut,
berikan pula alasannya!
8.
Jelaskan Prosedur Coding dalam
penelitian kualitatif khususnya dalam penelitian Grounded Theory!
9.
Terdapat 4(empat) hal penting yang harus
diketahui sebelumnya melakukan Coding agar pelaksanaan Coding
dapat berjalan dengan baik. Jelaskan ke 4 hal penting tersebut!
10. Dalam Pengodean Terbuka (Open Coding) terdapat beberapa istilah
yang perlu dipahami dahulu agar memudahkan pelaksanaanya. Istilah-istilah
tersebut diantaranya: Konsep, Kategori, Ciri-ciri, Dimensi, Dimensionalisi.
Jelaskan pengertian istilah-istilah tersebut!
11. Jelaskan secara singkat tetapi padat hakekat Pengodean Terbuka (Open
Coding) !
12. Dalam Pengodean Terbuka (Open Coding) terdapat kegiatan yang
disebut “Pelabelan Fenomena” (memberikan label terhadap fenomena).
Jelaskan pengertiannya dan berikan contoh kongkret dari Pelabelan Fenomena
tersebut!
13. Demikian pula dalam Pengodean Terbuka (Open Coding) terdapat
kegiatan yang disebut “ Penemuan dan Penamaan Kategori”. Jelaskan
pengertiannya dan berikan contoh kongkret dari Penemuan dan Penamaan Kategori
tersebut!
14. Setelah Penemuan dan Penamaan Kategori ada kegiatan Penyusunan
Kategori berdasarkan Ciri-ciri dan Dimensinya. Jelaskan pengertiannya dan
berikan contoh kongkret dari Penyusunan Kategori berdasarkan Ciri-ciri dan
Dimensinya!
15. Agar dapat melaksanakan Pengodean Berporos (Axial Coding)
dengan baik, terdapat istilah-istilah yang harus dipahami lebih dahulu, sebagai
berikut; Kondisi Sebab Akibat (Causal Condition), Konteks (Contex)
dan Kondisi yang mempengaruhi (Intervening Condition). Jelaskan
istilah-istilah tersebut dan berikan contoh kongkret dari masing-masing istilah
tersebut!
16. Jelaskan secara singkat tetapi padat hakekat Pengodean Berporos (Axial
Coding) !
17. Jelaskan Proses Pengodean dalam Pengodean Berporos (Axial Coding)
penjelasan hendaknya mengandung hal-hal berikut: 1). Fenomena, 2). Kondisi
Sebab Akibat, 3). Konteks, 4). Kondisi yang mempengaruhi, 5). Strategi
Tindakan/Strategi Interaksi, 6). Konsekuensi.
18. Jelaskan kegiatan yang disebut “Menghubungkan kategori dengan kategori
lain”, penjelasan hendaknya diberikan contoh kongkret!
19. Agar dapat melakukan Pengodean Selektif (Selective Coding)
dengan baik, perlu dipahami istilah-istilah sebagai berikut: Cerita, Jalan
Cerita, Kategori Inti. Jelaskan istilah-istilah tersebut dan berikan contoh
kongkret dari masing-masing istilah tersebut!
20. Jelaskan secara singkat tetapi padat hakekat Pengodean Selektif (Selective
Coding) !
21. Jelaskan Proses Pengodean dalam Pengodean Selektif (Selective
Coding). Jelaskan pula tahap-tahapnya, dari data dapat disusun teori,
sehingga penelitian ini disebut Grounded
Theory!
DAFTAR
PUSTAKA
Bertens. K. & Nugroho. A. A. (1985). Filsafat Barat Abad XX
Jilid II. Jakarta :
Gramedia.
Creswell. J. W. (1994). Research Design Qualitantive &
Quantitative Approaches. London .
New Delhi :
Sage.
Denzin. N. K. & Lincoln. Y. S. (Editors) (1994). Handbook of
Qualitative Research. London .
New Delhi :
Sage.
Delfgaauw. B. (1987). Filsafat Abad 20 (Alih Bahasa oleh Soeyono
Soemargono). Yogyakarta : Tiara Wacana Yogya.
Flick. U. (2002). An Introduction to Qualitative Research. London : Sage.
Frankel. J. R. & Wallen. N. E. How To Design And Evaluate
Research In Education (Second Edition). New York : Mc. Graw Hill Inc.
Guba. E. G. (1990). The Paradigm Dialog. London . New
Delhi : Sage.
Greertz. C. (1992). Tafsir Kebudayaan. (Alih Bahasa oleh
Fransisco Budi Hardiman). Yogyakarta : Penerbit
Kanisius.
Kartono. K. (1980). Pengantar Metodologi Research Sosial. Bandung : Penerbit Alumni.
Keraf. S. & Mikhael Dua. (2001). Ilmu Pengetahuan Sebuah
Tinjauan Filosofis. Jakarta :
Kanisius.
Kerlinger. F. N. (1986). Asas-asas Penelitian Behavioral. Edisi
Ketiga (Alih Bahasa oleh Landung R. Simatupang). Yogyakarta :
Gajah Mada University
Press.
Koentjaraningrat. (1977). Metode-metode Penelitian Masyarakat. Jakarta : PT. Gramedia.
Mc. Carthy. T. (2006). Teori Kritis Jürgen Habermas (Alih Bahasa
oleh Nurhadi).
Miles. M. B. & Huberman. A. M. (1992). Analisis Data Kualitatif
(Alih Bahasa oleh Tjetjep Rohendi Rohidi). Jakarta . UI. Press.
Moleong. L. J. (2001). Metodologi Penelitian Kualitatif (Cetakan
Keempat Belas). Bandung :
PT. Remaja Rosdakarya.
Neuman. W. L. (1997). Sosial Research Method: Qualitative and
Quantitative Approaches. (Third Edition). Boston : USA .
Noerhadi. T. H. (1998). Filsafat Ilmu Pengetahuan. (Diktat
Kuliah). Pascasarjana Universitas Indonesia .
Poerwandari. E. K. (1998). Pendekatan Kualitatif dalam Penelitian
Psikologi. Jakarta :
Lembaga Pengembangan Sarana Pengukuran dan Pendidikan Psikologi (LPSP3)
Fakultas Psikologi Universitas Indonesia .
Qadir. C. A. (1995). Ilmu Pengetahuan dan Metodenya. Jakarta : Yayasan Obor.
Silverman. D. (1997). Qualitative Research: Theory, Method and
Practice. London :
Sage.
Smith. J. A. (2006). Qualitative Psychology A Practical Guide to
Research Methods. London :
Sage.
Spradley. J. P. (1997). Metode Etnografi (Alih Bahasa oleh
Misbah Zulfa Elizabeth). Yogyakarta : PT. Tiara
Wacana Yogya.
Strauss. A. & Corbin. J. (1990). Basics of Qualitative Research:
Grounded Theory Procedures and Techniques. London . New
Delhi : Sage.
Strauss. A. & Corbin. J. (1990). Qualitative Analysis For Social
Scientists. New York :
Cambridge University Press.
Sumaryono. E. (1993). Hermeneutik: Sebuah Metode Filsafat. Yogyakarta : Penerbit Kanisius.
Suparlan. P. (1994). Metodologi Penelitian Kualitatif. Jakarta : Program S-2
Kajian Wilayah Amerika Universitas Indonesia .
Suparlan. P. (1997). Paradigma Naturalistik dalam Penelitian
Pendidikan: Pendekatan Kualitatif dan Penggunaannya. Majalah Antropologi Indonesia . No.
53. Vol. 21. Jurusan Antropologi FISIP Universitas Indonesia .
Willig. C. (1999). Introducing Qualitative Research in Psychology.
Geen opmerkings nie:
Plaas 'n opmerking